Buku …dan Janda Itu Ibuku karya Kang Maman Suherman. (foto: rara)

Kiranya, sudah ada berapa banyak lagu tentang ibu? Berapa ratusan juta konten yang laris mengangkat isu perempuan? Dan ada berapa jumlah kata; ibu, perempuan, istri dalam kitab suci, berita, film, buku, dan semua yang pernah kau dengar, baca, tulis, dan bahkan secara sadar terus menerus kau doakan atau nyaris kau campakkan lalu lupakan? Mampukah kau memberi harga seorang ibu, istri, atau anak perempuanmu?

“Aku langsung teringat ibuku
perempuan kenyang dihina
seorang janda yang ditinggal mati bapakku
dalam usia teramat muda…” (hlm. 7)

Sedikitnya empat pertanyaan di atas, bisa dijawab sambilalu membaca tulisan ini, disusul pernyataan setelahnya, adalah kutipan dari buku yang sedang saya ulas. Sebuah cerita yang ditulis oleh Maman Suherman, yang namanya melejit sebagai penggerak literasi pelosok Indonesia, mantan pemred media terkemuka, notulen nasional, tentunya yang paling relevan adalah penulis cerita yang katanya bergenre fiksi namun berhasil menyajikan kejamnya realita; seperti kisah dalam Novel Re dan perempuan, hingga buku ini, …dan janda itu ibuku.

Novel dengan 242 halaman ini berhasil merangkum perjalanan hidup seorang perempuan yang ia sebut ibu. Satu-satunya separuh jiwa dan nyawa yang ia miliki, setelah bapaknya yang Tentara itu dimakamkan di wilayah makam pahlawan. Bersama 4 saudaranya yang lain, ia berperang melawan ketakutan, menembus nasib-nasib “ditelantarkan” oleh kondisi.

“Ibu isi malam-malamnya di atas sajadah, berdoa dan merintih. Mungkin membayangkan apakah dia akan  mampu membopong 5 anaknya yang masih kecil-kecil, belum ada yang mandiri jauh dari tanah kelahirannya?” (hlm. 10)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Perempuan yang masih di umur 31 tahun itu, harus menanggung hidup sangat berat bersama 5 anaknya yang masih kecil. Perempuan ditinggal suami yang gugur karena tugas negara, harus menghadapi keras dan pahitnya kehidupan. Ia berjuang keras, tak kenal lelah, tak pernah menyerah walau harus berhadapan dengan stigma negatif, konstruk sosial begitu kejam yang hendak mematikan mental dan jiwanya. Ia terus hidup menjadi seorang ibu sekaligus kepala keluarga yang selalu berada di garda terdepan untuk tumbuh kembang anak-anaknya, dengan sisa warisan yang begitu minim, ia berani malu dan mati demi keluarganya.

Kehidupannya memang telah berubah drastis, berbeda sekali saat rumahnya dihuni lelaki (suami) yang tentara, -dengan- saat setelah orang berpangkat itu meninggal dunia, rasanya pangkat kehormatan itu dibawa terkubur, hingga orang-orang di sekelilingnya ikut tak menghormati keberadaan keluarganya. Alih-alih mau menghormati, perempuan (ibu) yang kini menyandang status janda muda itu ditakuti oleh perempuan di sekelilingnya, dan dijadikan bahan cemooh, fitnah tetangga dan orang-orang yang mengenalnya. Semenakutkan itukah perempuan yang berstatus janda? Bukankah ia juga tak menginginkan nasib demikian? Mengapa orang-orang suka menghakimi dan merasa paling surga?

“Kalau dihitung-hitung, sudah berapa lama bapakmu meninggal?”
“Empat puluh satu hari, pak…”
“Katanya, ibumu masih muda?
“Iya, Pak. Baru 31…”
“Segera carikan jodoh ibumu. Usia lagi ranum-ranumnya, tidak mungkin kalau dia…” (percakapan Guru dan seorang anak janda muda itu, hlm, 19)

Apakah harga diri satu keluarga harus ikut pergi hanya karena kepergian seorang bapak? Apakah seorang perempuan yang ditinggal mati boleh dihina karena janda oleh lelaki yang tak beradab? Dikucilkan oleh perempuan lain yang tak menyadari posisi mereka bisa senasib? Mengapa nasib perempuan selalu malang begitu, yang terus-menerus dianggap berada di posisi terancam dan membahayakan? Pertanyaan dan pernyataan itu muncul menggeramkan bagi anak lelaki tertua itu, oleh penulis buku ini.

Puzzle kisah dalam buku ini menyibak realita sosial yang dipasung pada nasib perempuan. Bagaimana perempuan yang berduka masih saja ada celah dihina. Perjalanan seorang ibu membesarkan anak-anaknya sendirian penuh dengan berbagai tantangan. Dan di negara dengan sistem patriarki yang kuat, stigma terhadap janda sering kali membentuk pandangan negatif, membuat sang ibu kerap menerima hinaan karena statusnya.

Oleh sebab itu lewat karyanya, Kang Maman hendak menyampaikan pesan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh janda tetap memiliki potensi untuk tumbuh dan meraih kesuksesan, meskipun ada anggapan yang salah, walau harus menghadapi lingkungan yang bertindak salah kaprah. Melalui buku ini dan buku-buku lain yang telah ia tulis, jasa-jasa perempuan (ibu) diabadikan. Sebagai lelaki yang menjadi tokoh utama dalam novel ini, penulis mengisahkan perjalanannya yang begitu pelik, hingga ia sarjana, menjadi wartawan, notula, penulis hingga mampu menghidupharumkan nama bapak ibunya, walau dalam catatan akhir di buku ini, ia masih merasa gagal sebagai anak.

“…ibu, kabarkan maafku pada bapakku. Lelaki yang menitipkan pesan, jangan mewahkan makam bapakmu, mewahkan hati saja hati ibumu.” (hlm. 224)

Hingga ia menjadi seorang suami, lalu seorang bapak, serta menjadi manusia. Nasihat-nasihat bapak dan ibunya, agar dirinya menjadi orang yang benar, pembaca yang baik, dan laki-laki yang bertanggung jawab terus ia pegang, ia buktikan.

“Adakah rasa sakit melebihi sakit saat melahirkan? Ada. Saat dibentak oleh anak yang kulahirkan.” (hlm.1) sebuah kalimat sederhana yang begitu mendera, selalu ia sampaikan di seminar-seminar dan pertemuan jika di forum itu selalu menyinggung soal perempuan, ibu. Kekuatan cinta Ibu Kang Maman, telah mengajarkan dan membentuk diri anak-anaknya kuat dan hebat. Berarti terbuktilah, _madrasatul ula itu di tangan ibu? Jika demikian, bukankah begitu pantas perempuan yang akan dan telah menjadi ibu mendapat perhatian begitu istimewa, termasuk dalam kesehatan raga dan jiwanya, pikiran dan hatinya.

Maka, seperti apa kau telah/akan memperlakukan, perempuan? Ibumu? Istri dan anak perempuanmu? Jika bahkan ada sakitnya yang tak akan pernah bisa ditanggung oleh laki-laki, bernama melahirkan(!)

Buku ini, sekaligus pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan itu tertuju pada semua manusia, baik laki-laki dan perempuan yang akan dan harus memahami bagaimana konstruk sosial begitu memiliki pengaruh dalam kehidupan. Semua nasihat dalam buku ini tentu menyasar ke semua kalangan, walau untuk membacanya masih direkomendasikan 17+ karena beberapa studi kasus / pembahasan yang dinilai belum layak dikonsumsi anak-anak di bawah umur.



Judul Buku: …dan Janda itu Ibuku
Penulis: Kang Maman
Penerbit: Gramedia
Terbit: November 2024
Jumlah Halaman: vi + 242 hlm
ISBN: 978-602-05-3119-9
Pengulat: Rara Zarary