Seorang ibu yang memeluk boneka kelinci milik anaknya yang sudah pergi

“Apa kita harus jual rumah, mas?”

Suara Aisyah lirih, nyaris tak terdengar, namun cukup untuk memantik api di dada suaminya.

“Kita sudah jual semuanya, Bun! Motor, sawah, bahkan cincin kawinmu,” jawab lelaki yang sudah membersamainya selama 15 tahun itu. Dengan suara meninggi yang segera diluruhkan napas panjangnya. “Apa lagi yang bisa kita jual? Rumah ini terakhir.”

Aisyah menunduk. Di matanya, perdebatan itu bukan soal rumah, bukan soal harta, tapi tentang Alibaba. Anak semata wayang mereka, yang hari itu terbaring lagi, pucat, dingin, matanya menerawang ke langit-langit. Umurnya sudah sembilan tahun, tapi tubuhnya masih sekecil bocah umur lima tahun. Nafasnya pendek-pendek. Kadang menangis tanpa sebab, kadang tertawa saat semua orang panik.

“Aku cuma… aku cuma nggak mau nyerah, mas…”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Fahmi menghampiri istrinya, tangannya menggenggam jemari yang kini kurus dan dingin. “Aku juga nggak pernah nyerah, Sayang. Tapi kita sudah ke mana-mana. Dari dukun di Pati sampai dokter spesialis di Makassar. Semua bilang sama, nggak tahu ini penyakit apa.”

Aisyah mengangguk. Ia tahu itu. Tapi seorang ibu, sekuat apapun logikanya, hatinya selalu menyimpan harapan. Bahkan harapan yang tidak masuk akal.

****

Dulu, ketika Alibaba lahir, mereka adalah keluarga yang mapan. Fahmi punya bengkel besar, Aisyah membuka warung kelontong. Rezeki mereka cukup, rumah mereka di tengah kota, dan rencana-rencana masa depan ditulis di atas kertas putih, bersih, penuh harapan.

Tapi semua berubah ketika Alibaba menangis sepanjang malam tanpa henti, di usia dua bulan. Menyusu pun ia tak mau. Badannya panas, tapi dokter bilang suhu tubuhnya normal. Ia rewel, lalu tiba-tiba diam membisu selama tiga hari, tidak bergerak, tidak berkedip.

Mereka pergi ke Puskesmas, ke rumah sakit kabupaten, lalu ke rumah sakit provinsi. Hasilnya nihil. Tidak ada diagnosa pasti. Tidak epilepsi, bukan autisme, bukan infeksi. Kadang badannya menggigil seperti terkena malaria, tapi darahnya bersih. Kadang matanya merah, seperti kerasukan. Tapi semua ustaz dan kiai yang mereka datangi hanya menggeleng, bingung.

“Kemungkinan besar ini bukan medis,” kata salah satu ustadz. “Tapi bukan mistis juga. Ini ujian yang di luar nalar manusia.”

Sejak saat itu, hidup mereka perlahan-lahan kehilangan bentuknya.

****

Fahmi menjual bengkelnya. Awalnya hanya untuk ongkos ke rumah sakit luar kota. Tapi satu perjalanan menelan satu motor. Satu pengobatan setara dengan satu emas kawin. Lama-lama, warung Aisyah gulung tikar. Barang dagangan menipis, dan hutang menumpuk.

Namun Alibaba tetap sakit.

Kadang ia duduk di pojok kamar, menangis seperti anak ketakutan. Kadang, tengah malam, ia berlari ke dapur, tertawa dan bicara dengan seseorang yang tak terlihat.

“Sakit apa anak kita ini?” tanya Aisyah suatu malam, tubuhnya gemetar, matanya sembab.

“Aku nggak tahu lagi. Tapi dia anak kita. Kita nggak boleh tinggalin dia.”

****

Tahun kelima, mereka pindah ke rumah kontrakan kecil di pinggir kota. Rumah asli mereka dijual kepada tetangga jauh. Uang hasil penjualannya habis dalam satu tahun pengobatan alternatif yang gagal.

Mereka sempat ke Banten, ke seorang tabib yang konon bisa membaca penyakit lewat suara tangisan anak. Tapi suara Alibaba hanya membuat tabib itu merinding.

“Ada yang berat dalam dirinya. Bukan jin, bukan setan. Tapi sesuatu yang lahir bersama jiwanya,” kata tabib itu.

Aisyah menangis semalaman.

Tahun ketujuh, Alibaba mulai berhenti bicara. Ia hanya memeluk boneka kelinci pemberian ibunya. Ia tak mau makan kecuali disuapi Aisyah. Tubuhnya makin kurus. Matanya makin cekung. Tapi setiap malam, sebelum tidur, ia masih berbisik, “Ibu, besok kita ke laut ya? Aku mau lihat ombak.”

Dan setiap kali itu pula Aisyah menjawab, “Iya, Nak. Besok.”

****

Sampai malam itu datang.

Langit mendung. Rumah pengap. Fahmi belum pulang dari menarik becak, pekerjaan yang kini ia jalani sejak menjual motor terakhir mereka.

Alibaba terbaring di kasur lusuh. Wajahnya pucat, napasnya berat.

Aisyah duduk di sampingnya, membelai rambut anaknya yang lemas.

“Ibu,” kata Alibaba pelan. “Aku lihat laut tadi. Di mimpi.”

“Bagus, Nak… Lautnya seperti apa?”

“Biru. Luas banget. Ada perahu kecil, dan aku duduk di atasnya. Sendiri.”

Aisyah menahan air matanya.

“Jangan sendiri, Nak. Ibu temenin, ya?”

“Tapi Ibu nggak bisa ke sana,” ucap Alibaba, tersenyum kecil. “Tempatnya jauh. Tapi aku nggak takut… Ada cahaya terang banget.”

Dan malam itu, di antara dentingan hujan di atap rumah, Alibaba pergi.

Tanpa jeritan. Tanpa suara.

Hanya keheningan.

****

Sudah dua tahun sejak malam itu. Rumah kontrakan mereka kini lebih sunyi dari sebelumnya. Aisyah duduk setiap sore di pojok jendela, memandangi foto kecil anaknya yang terselip di bingkai usang.

Kadang ia masih terbangun malam-malam, mengira mendengar suara tawa anaknya dari dapur. Kadang ia berbicara pada boneka kelinci yang masih utuh di atas lemari.

“Aku nggak bisa nyelametin dia,” bisiknya suatu sore pada suaminya. “Aku ibunya, tapi aku gagal.”

Fahmi hanya memeluknya. Keduanya tidak lagi bicara soal harapan. Hanya soal kenangan.

Hanya soal Alibaba.

****

Aisyah menulis sesuatu di ujung cerita hidup anaknya: “Maafkan Ibu, Nak. Ibu sudah pergi sejauh yang Ibu mampu, sampai Ibu kehilangan diri sendiri. Tapi Ibu tidak pernah menyesal menjadi ibumu. Terima kasih sudah memilihku. Terima kasih sudah lahir di pelukanku, meski hanya sebentar. Sekarang, tidurlah di pelukan laut yang kau lihat dalam mimpimu.”

“Tidurlah, Alibaba.”



Penulis: Ummu Masrurah