
Membaca ayat-ayat Al-Quran yang biasa disebut tadarrus, atau orang Jawa menyebutnya “nderes” merupakan ibadah istimewa di dalam Islam, karena bernilai ganjaran dari setiap huruf yang terlafazkan. Tak heran bila mana banyak muslim yang memiliki target khatam membaca al-Quran dalam tempo waktu tertentu. Ada yang target khatam 3 bulan sekali, atau 3 kali sebulan. Terlebih pada bulan Ramadan, di mana terdapat peringatan nuzulul Qur’an, maka tadarrus al-Quran menjadi momentum spesial.
Namun, pada bulan Ramadan ini ada sebuah dilema. Di satu sisi ada momentum tadarus al-Quran yang ganjarannya berkali-kali lipat. Di sisi lain, ada momentum thalabul ilmi (menimba ilmu), karena di bulan Ramadan banyak majelis taklim dan pesantren mengadakan pengajian berbagai kitab dari berbagai bidang keilmuan Islam.
Saya sebagai penulis juga pernah merasakan keganjalan demikian. Pada saat banyaknya jadwal ngaji kitab di pesantren, sering terbesit, “Wah ngaji kitab sebanyak ini mestinya bisa kupakai untuk membaca al-Quran beberapa juz sekaligus”. Mungkin beberapa orang juga pernah merasakan hal serupa. Lalu, sebenarnya bagaimana kita harus bersikap, apakah kita harus mengurangi ngaji kitab? Lalu bagaimana kalau beberapa dari kita adalah santri yang diwajibkan oleh lembaga untuk mengikuti pengajian kitab?
Hujjah Keutamaan Membaca Al-Quran
Membaca Al-Qur’an sampai khatam memang dianjurkan dalam Islam berdasarkan Hadis nomor 2872 yang terdapat dalam Sunan al-Tirmidzi:
Dari Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.”
Kemudian membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan memiliki keistimewaan tersendiri berdasarkan QS. Al-Baqarah (2): 185
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ
Artinya: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan batil).”
Hujjah Pentingnya Menuntut Ilmu
Namun, jangan dikira bahwa orang yang ikut mengaji kitab tidak ada dasarnya. Karena pilihan untuk mengaji kitab atau menimba ilmu ini sesuai dengan Q.S. Al-Mujadalah (58): 11:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاتٍ
Artinya: “Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu”
Sahabat Ibn Abbas menjelaskan bahwa:
درجات العلماء فوق المؤمنين بسبعمائة درجة درجة ما بين الدرجتين خمسمائة عام
Artinya: “Para ulama mempunyai derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang mukmin pada umumnya dengan selisih 700 derajat dan di antara dua derajat terpaut selisih 500 tahun.”
- Hasyim Asy’ari dalam al-Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, menafsiri ayat tersebut bahwa diangkatnya derajat orang berilmu karena dapat mengintegrasikan ilmu dan amal. Keutamaan mengaji kitab ini juga diperkuat dengan Hadis 3641 dalam Sunan Abu Dawud:
وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ على الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ على سَائِرِ الْكَوَاكِبِ
Artinya: “Sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu dibanding ahli ibadah, seperti keutamaan bulan di malam purnama dibanding seluruh bintang- bintang.”
Hal ini masuk akal karena ibadah tidak hanya sekedar ritual fisik atau ritual aktivitas lahiriah, tapi juga diperlukan integrasi batiniah untuk mencapai nilai ibadah yang lebih sempurna. Ibadah yang lebih sempurna ini tidak akan bisa dicapai tanpa seseorang memiliki ilmu. Misalnya shalat, tanpa ilmu yang mumpuni, salat akan dilaksanakan sekedar kewajiban dan gerakan ritual fisik. Berbeda jika disertai ilmu yang mumpuni, salat akan menjadi lebih sempurna. Meminjam istilahnya KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus), salat menjadi sempurna sebagai implementasi dari saleh ritual sekaligus saleh sosial.
Saleh ritual, artinya shalat seseorang memiliki komunikasi spiritual dengan Tuhan yang lebih baik. Saleh sosial, yakni mengimplementasikan QS. Al-Ankabut (29):45 bahwa sejatinya salat adalah mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, termasuk dalam kehidupan sosial.
Memilih Ngaji Al-Qur’an atau Ngaji Kitab?
Tuntutan untuk menjawab pertanyaan semacam ini sebenarnya bermasalah. Karena menjawab untuk memilih salah satu dari hal yang tidak bisa dipisahkan menjadi tidak logis. Bahkan terkadang bisa menjadi false dilemma. False dilemma merupakan kesalahan berpikir (logical fallacy) yang terjadi dengan menawarkan dua pilihan, padahal sebenernya pilihan lebih dari dua.
Perlu diketahui, bahwa Ramadan itu memiliki julukan sebagai syahr al-ijtihad (bulan ijtihad). Ijtihad sendiri bisa diartikan sebagai pengembangan intelektual. Hal ini diisyaratkan dari ayat yang pertama turun pada saat Ramadan adalah Q.S. Al-Alaq (96): 1 yang memiliki redaksi Iqra’ (bacalah).
Falsafah Islam mengajarkan kita untuk bersikap moderat (tawassuth) dan seimbang (tawazun). Moderat, artinya kita bisa bersikap mengambil jalan tengah, artinya ya memilih keduanya, karena keduanya sama-sama diperintahkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Seimbang, artinya kita harus melakukan keduanya secara seimbang.
Keseimbangan antara ibadah membaca Al-Qur’an dan menimba ilmu dengan mengaji kitab adalah sikap yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Gus Dhofir Zuhry (Kepanjen, Malang), bahwa:
“Anda boleh melakukan petualangan intelektual sejauh-jauhnya, tapi pendakian spiritual juga harus setinggi-tingginya.”
Baca Juga: Memperbaiki Hubungan Persaudaraan di Bulan Ramadan
Penulis: Izzulhaq At-Thoyyibi