
Sebenarnya Islam tidak hanya dapat dilihat sebagai realitas agama, tetapi juga sebagai realitas sejarah, budaya, dan peradaban. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa agama ini telah diturunkan selama bertahun-tahun dalam masyarakat yang telah dibangun, memiliki sejarah, tradisi, harapan, paradigma pemikiran, budaya, dan konstruksi sosialnya sendiri.
Bahasa kitab suci agama Islam, dalam hal ini Al-Quran ialah bahasa masyarakat, bahasa Arab. Bahkan komposisi bahasa al-Quran tersusun dalam bentuk yang puitis disebutkan karena alasan i’jâz (inimitability) mengingat masyarakat Arab dahulu menempatkan kemampuan berpuisi seseorang pada status sosial yang tinggi atau bahkan tertinggi. Sampai kini pun puisi-puisi Arab kuno disebut syi’r al-jahili masih terawat dengan baik sebagai salah satu acuan karya sastra Arab. Dengan demikian, agama dan budaya adalah suatu realitas yang berbeda. Keduanya menempati ‘ruang’ sendiri-sendiri.
Agama adalah kebenaran absolut dan permanen, sementara kebenaran dalam budaya bersifat relatif (nisbi), hipotetis (iftiradi), dan dinamik (yü ‘allaq bi al-quwwa). Mengingat agama adalah sesuatu yang absolut maka kebenaran agama diterima dengan kepercayaan (al-yaqin), ketulusan (al- ikhlas) dan kepasrahan (al-islam), sementara kebenaran dalam budaya diterima dengan pemahaman logika, kepatuhan, emosi dan senantiasa dalam dinamika perubahan.
Baca Juga: Gus Kikin Ajak Masyarakat Memetik Hikmah Kurban dari Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
Ketika agama berada dalam ruang budaya, karena agama dipeluk manusia dan ‘pemahaman’ agama menggunakan media intuisi, bahasa, atau logika, yang terjadi adalah tarik menarik antara kemutlakan agama di satu pihak dan relatifitas budaya di pihak lain. Mungkin keduanya akan mengalami tumpang tindih saling klaim dengan tingkat kompleksitas yang rumit atau bahkan mengalami distorsi. Tetapi dalam realitas sejarah ‘ketegangan’ antara keduanya juga acap kali melahirkan harmoni karena kebutuhan masing-masing untuk eksis dalam kehidupan universal.
Salah satu budaya dan tradisi sebuah masyarakat yang diberikan nilai-nilai Islam adalah ibadah kurban yang dilakukan oleh umat Islam di setiap 10 Dzulhidjah. Sejarah Ibadah Kurban sendiri diawali dengan sebuah tradisi yang sangat mengerikan yang dikenalkan oleh masyarakat Jurhum. Kabilah (suku) Jurhum adalah salah satu kabilah yang bermukim di Mekkah, tepatnya di lembah Bakkah, sebelum datangnya Islam. Mereka adalah kabilah yang memiliki peran penting dalam pemakmuran Ka’bah dan menjaga keamanan Bakkah. Selain itu mereka juga merupakan salah satu marga dalam suku Qahtan kuno di Semenanjung Arabia, yang juga merupakan salah satu suku Arab yang tertua.
Maka dalam memandang sebuah budaya atau tradisi menurut Dr. KH. Musta’in Syafi’i diperlukan tiga aspek penentu, yang mana apakah tradisi dan budaya tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai agama atau tidak. Tiga aspek tersebut ialah;
Pertama, bila sebuah budaya atau tradisi yang secara keseluruhannya adalah hasil dari bumi itu, dan jika saja telah cocok dengan kehendakan nilai-nilai agama yang berada di dalam Al-Qur’an dan Hadis, maka tradisi atau budaya itu harus dilestarikan.
Kedua, bila budaya dan tradisi yang berlaku di masyarakat tidak sesuai dengan nilai-nilai agama maka harus ada upaya dikoreksi, diganti atau bahkan dihapuskan.
Ketiga, bila budaya dan tradisi di tengah-tengah masyarakat masih kosong dengan nilai-nilai agama, maka sebaik mungkin diisi dan diwarnai oleh nilai-nilai agama tersebut.
Dalam sebuah catatan sejarahnya, kabilah jurhum di kenal sebagai kabilah yang setiap tahunnya biasa mengorbankan seorang manusia untuk dijadikan persembahan di hadapan Mekkah. Kemudian saat Islam datang sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, tradisi tersebut direvisi dan diubah secara total. Bahwa berkurban dengan menggunakan manusia itu tidak selayaknya dilakukan. Makanya sejak saat itulah, ibadah kurban diganti dengan hewan ternak seperti kambing, sapi, unta dan kerbau.
Baca Juga: Berbagi Kurban Wujud Peduli Kemanusiaan di Tengah Ketimpangan
Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa sejarah ibadah kurban bermula dari kisah bagaimana Nabi Ibrahim As yang hendak menyembelih Nabi Ismail As, selaku putra dabaannya yang kelahirannya telah dinantikan sampai Nabi Ibrahim berumur cukup tua.
Terdapat sebuah hikmah serta pelajaran luar biasa yang diberikan oleh Nabi Ismail kepad kita semua sebagai umat Islam. Pelajaran tersebut adalah bagaimana kepatahuan Nabi Ismail yang sangat berbakti kepada orang tuannya dan perintah Allah swt. Rasa keikhlasan yang dicontohkan oleh Nabi Ismail tersirat dari surah Ash Shaffat ayat 102. Pada ayat tersebut dikisahkan bagaiaman dialog yang sangat dramatis antara ayah dengan seorang anak dalam menjalankan perintah dan pentujuk Allah.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Jawaban dari Nabi Ismail pada dialog ini sangat luar biasa indah, yakni “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar” sebuah jawaban yang mencerimkan rasa kepatuhan absolute serta bentuk kepatuhan kepada segala hal yang diperintahkan oleh tuhan kepada hambanya. Maka sebagai seorang muslim, ibadah kurban yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, adalah sebuah cara implemntasi kita sebagai seorang hamba yang senantiasa tunduk dan patuh kepada segala perintah Allah.
Pewarta: Dimas Setyawan Saputro
Editor: Rara Zarary