Foto Almarhum Gus Bambang di Pesantren Tebuireng. (dok. istimewa)

Setelah prosesi pemakaman almaghfurlah Gus Bambang Harimurti, pada Ahad 04 Mei 2025 di kompleks Pesantren Tebuireng, saya tidak menghadiri pengajian kirim doa pada malam hari bakda Isya’. Hari Rabu 07 Mei, saya bermimpi beliau mewujud tiga batu akik yang bercahaya dengan warna biru, merah, dan hitam. Saya berusaha merenung dan merefleksikan ulang dari pengalaman berinteraksi dengan beliau terkait tafsir mimpi, “Apa makna dari mimpi itu”. Karena belum menemukan titik terang, maka tanggal 08 Mei saya menghadiri pengajian kirim doa dengan harapan mendapat jawaban dari teka-teki mimpi itu.

Teman sekaligus guru saya, Ahmad Faozan langsung menodong saya untuk membacakan surat Yasin dengan mic. Alasannya, tokoh yang sudah diundang belum hadir. Seketika saya menolak karena masih banyak tokoh masyarakat yang hadir, atau bahkan mayoritas dari mereka adalah figur masyarakat. Finally, saya dapat menerima dan mengiyakan ketika Pak e (sapaan akrab A. Faozan) menyebutkan alasan bahwa Gus Bambang sudah lebih dari sering saya repoti. Meskipun dalam hati kecil bergumam, “Ternyata njenengan usil tidak hanya ketika masih sugeng Gus, sekarang pun masih suka ngerjain.”

Ya, bagaimanapun tidak dapat dibayangkan bila tanpa kehadiran Gus Bambang, Ma’had Jami’ah Hasyim Asy’ari dengan jumlah 200an mahasantri akan hidup berdampingan dengan sampah. Membakar gunungan sampah setiap hari di samping gedung yang mereka tempati sehari-hari. Gus Bambang dengan semua armadanya hadir untuk menerapkan satu ajaran Islam, “Ṭahārah”, kebersihan dari lahiriah menuju batiniah.

Baca Juga: Gus Bambang: Urip Mung Mampir Ngombe Kopi

Tidak hanya terkait sampah, ngobrol ngopi pun beliau layani. Istilah ngopi yang kita kenal tidak harus minum kopi, tapi bisa minum teh, es teh, kopi susu, atau minuman apa pun itu yang penting halal dan membincangkan dari yang serius hingga yang receh hahahihi, dari yang akademik hingga yang non-akademik, dari yang urusan publik hingga ke privat, dari yang bisa dinalar hingga yang di luar kemampuan nalar. Dengan usia kepala enam-an, fisik masih beliau hadirkan untuk kita yang masih kepala tiga hingga berjam-jam. Tida satu dua kali, justru kita yang malah pamit duluan karena punggung berasa bengkok.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Gus Bambang adalah bapak saya yang mengajak melihat persoalan seakan dagelan dan berasa ringan sekali. Dengan demikian, saya merasa lebih berhak membacakan Yasin untuk beliau ketimbang para figur lainnya.

Hingga pulang ke Ma’had Jami’ah (MJ) Unhasy, saya belum mendapatkan jawaban dari tiga batu akik. Jawaban satu batu akik berwarna biru disodorkan pada tengah malam. Saya tiba-tiba terbangun dan teringat mimpi tiga batu akik bercahaya dan kenangan mimpi pada tahun 2009-an akhir. Pada waktu perjalanan naik kereta yang belum terkelola baik seperti sekarang, air dalam KMC kereta masih musiman, kadang ada tapi seringkali paceklik. Pikir saya, pasti air belum tersedia karena sebelumnya KMC yang saya tuju memang betul-betul paceklik. Jadi ketika waktu Subuh tiba, saya tetap tiduran sembari duduk, shalat diqadha’ dan disempurnakan di lokasi tujuan.

Dalam tiduran, saya dibangunkan oleh orang yang gagah tegap. Beliau bilang, “Ada air, KMC kereta yang sebelah sana. Ayo ndang shalat”. Kemudian sosok tersebut berubah menjadi cahaya biru dan masuk ke kompleks makam Tebuireng sebelah utara bagian barat. Sontak saya terbangun dan melihat orang lewat depan kursi saya menuju kursinya dengan wajah dan bagian tubuh lainnya dalam keadaan basah. Berarti saya memang diminta wudhu dan shalat liḥurmatil waqti dengan lebih baik. Batu akik warna biru dalam mimpi Gus Bambang ini mengingatkan cahaya biru yang membangunkan saya untuk shalat.

Memang semasa sugeng, Gus Bambang tidak jarang menjelaskan perihal shalat itu bukan hanya gerakan lahiriah sebagaimana yang diajarkan dalam kitab-kitab fikih. Yang lebih penting dari itu adalah ḥuḍūrul qalbi, segenap jiwa. Saya sendiri tidak pernah menjumpai bagaimana praktik shalat yang demikian, tapi beliau seringkali menggaungkan itu dalam sela-sela perbincangan kami.

Hari berikutnya, 09 Mei saya hadir lagi dalam pengajian. Masih dua warna lagi yang belum terpecahkan; merah dan hitam. Tengah malam lagi-lagi terbangun karena sayup-sayup dalam tidur menjelang terbangun, batu merah berubah menjadi sosok-sosok terdekat beliau. Ada empat orang dan sangat jelas sekali wajah mereka. “Aṣḥābi kannujūm, biayyihim iqtadaitum, ihtadaitum”, para sahabatku seperti resi bintang, pada siapa saja di antara mereka mencari jalan, kalian akan mendapatkan petunjuk jalan. Bisa saja secara ide gagasan empat orang itu berseberangan, akan tetapi dalam tindak laku menapaki hidup, keempatnya bisa dibilang sangat bijak dengan ijtihad pemikiran mereka masing-masing.

Baca Juga: Guruku Kiai Insinyur

Pada malam berikutnya, warna hitam berubah menjadi buku catatan kecil. Ntah beliau memang punya buku catatan kecil atau tidak, tapi batu akik warna hitam kinclong itu berubah menjadi buku catatan kecil. Terus terang saya tidak bisa mengaitkan antara shalat, empat orang itu, dan buku catatan kecil. Tapi akan saya pertahankan dua warna, biru dan merah. Yang hitam biar menjadi misterius. Atau bisa jadi tulisan ini adalah salah satu dari lembar buku catatan kecil itu, Allahu a’lam.

Bagi saya, mimpi adalah salah satu petanda. Memang tidak semua orang menjadikan mimpi sebagai batu pijakan. Lagi, bagi saya, pikiran manusia hanya berkutat bagaimana merangkai tanda-tanda menjadi pijakan untuk bertindak. Dibilang akademik, tidak sedikit yang  mengatakan mimpi hanya sekadar bunga tidur dan non-akademik. Dibilang non-akademik, peristiwa turunnya wahyu dalam ajaran Islam salah satunya lewat mimpi.



Penulis: Yayan Musthofa, Ma’had Jami’ah Universitas Hasyim Asy’ari, 22 Mei 2025