Dua santri yang sedang belajar bersama. (foto: irsyad)

Hari ini, untuk kesekian kalinya aku pulang sekolah dengan perasaan dongkol tak terkira. Penyebabnya tetaplah sama. Tak tahan dengan ledekan teman-teman. Teman yang dulunya baik dan kompak denganku, hingga membentuk genk yang bernama Jawara, yang merupakan singkatan dari nama kami, yakni: Jayadi, Waluyo, dan Radit. Kami sering nongkrong bersama dan kompak mengenakan celana jean bolong-bolong bagian depannya. Dengan iringan gitar kami bernyanyi-nyanyi di pos ronda ujung gang.

Namun sejak aku memutuskan untuk memakai sarung dua Minggu yang lalu, suasana jadi berubah. Jayadi dan Radit tak mau lagi bergaul dengan aku. Bahkan tiap kali bertemu, mereka selalu meledekku.

“Hai, Waluyo! Ngapain sekarang kau dandan seperti bapak-bapak mau kondangan? Pakai sarung dan songkok segala. Buat nutupi rambutmu yang sekarang berketombe, ya?” ledek Jayadi.

“Atau lebih parah dari itu, kali ….” Tambah Radit.

“Apaan, Dit?”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Ya siapa tahu songkoknya itu untuk menutupi kepalanya yang sekarang botak sebelah.”

Ha ha ha ha! Jayadi dan Radit tertawa ngakak. Sementara wajahku kian memerah menahan amarah. Ingin sebenarnya aku meladeni atau bahkan melawan ledekan kedua bekas teman dekatku ini. Namun, kalau itu aku lakukan, berarti aku tidak ada bedanya dengan mereka. Padahal niatku pakai sarung dan songkok karena aku benar-benar ingin berubah jadi cowok yang soleh. Makanya aku memilih diam saja.

“Waluyo, di kampung ini kita sudah terkenal sebagai cowok gaul dan trendy, tapi sekarang kau dandan kayak gini? Memang dengan bersarung, tidak ribet tuh segala sesuatunya? Mana pakai songkok lagi,” goda Jayadi tak henti-henti.

“Atau sekadar cari muka ya, biar dibilang alim, gitu?”  tambah Radit pula.

Aku tetap diam. Sambil memegang ujung sarung, aku berlari meninggalkan kedua sahabatku itu. Di rumah, barulah aku menumpahkan kekesalan hati lewat air mata. Kalau sudah begini, ibuku yang jadi penenang hati.

“Yo, tidak perlu kau dengarkan cemooh dan olok-olok temanmu itu. Mereka berbuat begitu karena mereka belum memperoleh hidayah dari Allah. Suatu saat jika mereka sudah dibuka hatinya oleh Allah, pasti mereka justru akan mengikuti jejakmu. Ingat Yo, apa yang kau alami sekarang hanyalah cobaan. Jadikan itu sebagai cambuk agar kau tetap bertahan dalam jalan kebenaran.”

Mendengar kata-kata dan nasehat ibu yang bijak itu, aku merasa sedikit tenang. Namun, bila ingat ledekan teman-teman, rasanya aku tak sanggup lagi. Bahkan sempat terbersit keinginanku untuk menanggalkan kembali sarung dan songkokku agar bisa bergabung kembali dalam tawa dan canda dengan mereka.

****

Pagi itu, aku baru saja hendak meletakkan tas di laci bangku ketika Widianto teman satu kelasnya Jayadi datang menghampiri.

“Waluyo, kau sudah dengar belum?”

“Dengar soal apa, Wid?”

“Jayadi.”

“Jayadi??” ulangku tak mengerti.

“Iya.”

“Ada apa dengan Jayadi?”

“Ia terkena musibah.”

“Musibah apa?”

“Begini Yo, tadi malam ia bermaksud mengerjakan PR di rumahku. Ya, seperti biasa, ia keluar dengan pakaian kebesarannya yang ketat. Nah kiranya di tengah jalan ada orang jahat yang sedang mabuk dan jadi tergoda dengan penampilannya itu. Maka ia pun hampir menjadi korban pembegalan.”

“Astagfirllah hal adziim, lalu?”

“Tapi untunglah ada warga yang memergokinya. Ia pun selamat karena ditolong oleh bapak-bapak yang mau berangkat yasinan.”

“Alhamdulillah! Terus sekarang di mana dia?”

“Di Puskesmas, ia sock berat dan belum sadarkan diri.”

“Kalau begitu nanti pulang sekolah antar aku menjenguknya, ya Wid?”

“Buat apa? Sekarang ia kan sudah tak menganggapmu teman lagi. Ia juga selalu merendahkanmu.”

“Tidak apa-apa, Wid. Itu karena ia belum mendapat petunjuk dari Allah. Sekarang ia sudah mendapat teguran dari Allah, siapa tahu ia akan berubah. Lagipula kalau aku ikut mendendam, lalu apa bedanya aku sama dia?” 

“Iya, ya. Kau benar-benar cowok yang baik, Yo. Sarungmu benar-benar mencerminkan hatimu. Kau memang pantas memakainya,” puji Widianto membuat pipiku memerah jambu.

“Semua cowok pantas pakai sarung dan songkok selama tidak sekedar dijadikan hiasan semata.” Aku berkilah.

“Iya, ya tapi maaf, kalau hari ini aku belum bisa mengantarmu ke Puskesmas. Nanti aku harus mengantar ibuku belanja.”

“Ya sudah, lain waktu saja.”

“InshaAllah.” 

**** 

Aku baru saja selesai sholat ashar ketika terdengar ketukan di pintu rumah. Karena itu setelah berdoa sebentar, tanpa melepas sarung dan songkok, aku pun membuka pintu untuk tamu. Alangkah terkejutnya aku saat pintu rumah sudah terbuka. Ternyata yang datang adalah Jayadi. Satu hal yang membuatku lebih tercengang lagi, saat itu Jayadi sudah tidak lagi mengenakan pakaian belel dan ketat yang selama ini dibanggakannya. Ia tampil dengan busana muslim yang panjang, lengkap dengan sarung dan songkok pula.

Masih dengan rasa penasaran yang hebat, aku segera mengajak Jayadi masuk dan duduk di ruang tamu. Segelas air putih segera pula aku hidangkan untuk temanku itu.

“Lho, kau kan masih sakit, ada apa ke mari, Jay?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Aku hanya hanya ingin minta maaf padamu, Yo.”

“Minta maaf, soal apa?”

“Ya, soal sikapku. Selama ini aku selalu menghinamu karena kau memakai sarung dan songkok itu. Bahkan sampai mengatakan kalau kepalamu botak sebelah. Sekarang aku sadar bahwa cara berpakaian yang salah bisa mengundang musibah. Penampilanku yang terlalu norak, mengundang niat orang jahat sampai hendak membegalku. Mungkin semua itu adalah teguran dari Tuhan. Karena itu mulai hari ini, aku ingin bangkit dan mengubah semua itu. Aku akan ikuti jejakmu untuk berpakaian sesuai ajaran agama Islam dan juga bersarung.”

“Alhamdulillah, kalau kau punya niat seperti itu.”

“Ya, ini semua berkat kau, Yo. Jadi maafkan aku, ya?”

“Iya, aku sudah memaafkanmu sebelum kau memintanya. Kau tidak salah, cuma belum mengerti waktu itu.”

“Terima kasih, mulai hari ini aku akan menemanimu bersarung dan bersongkok.”

“Ya, tapi kalau mau bersarung dan bersongkok jangan karena aku, tapi karena Allah semata.”

“Iya Yo, inshaAllah aku mengerti itu.”

“Syukur, deh.”

Jayadi ikut tersenyum. Walau wajahnya masih tampak agak pucat, tapi dengan bersarung dan bersongkok senyumnya sudah enak dilihat.

Kejadian itu membuat semangatku untuk terus bersarung bangkit semakin tinggi. Aku tahu, sarung bukan sekedar penutup aurat, tapi lebih dari itu, sarung adalah cerminan jiwa dan kepribadian seorang cowok muslim. Jadi dengan bersarung dan bersongkok akan membawa konsekuensi dan tanggung jawab moral yang tinggi.

Apalagi kalau sarung dan songkok putih, sang pemakai harus berhati bersih. Tidak mudah menyerah untuk melepaskan sarungnya, meskipun orang-orang terdekat meledek dan mencela. Karena sarung putih akan menguatkan iman dan hati agar semangat hidup yang mencerminkan nilai keislaman terus bangkit dan tak pernah surut lagi.

Sebelum pamit, Jayadi memeluk diriku dengan erat seolah mengharap tambahan semangat. Semangat sarung dan songkok putih untuk membangkitkan kesadaran umat. Sejak itu selalu berkibarlah sarung putih mereka seolah mengajak semua cowok di dunia untuk memakainya.   

Agar sarung dan songkok menjadi pengikat cinta sesama manusia. Sebaik-baik teman adalah teman yang selalu mendukung ketika kita berbuat kebaikan. Sebaliknya jika ada teman yang mengajak berbuat keburukan, maka lebih baik tinggalkan! Teman yang seaqidah akan menciptakan tali persahabatan yang jauh lebih indah.



Penulis: Heru Patria