
Sebuah Refleksi Parenting Ringan bagi Generasi Z dan Post Gen-Z (Gen Alpha)
Tak dapat dipungkiri, saat ini, semua tangan dan mata manusia terpaku pada sekotak benda mungil yang lekat dengan genggaman kita. Tak peduli tua, muda, dewasa, anak-anak, laki-laki maupun perempuan. Tak terkecuali kedua bocah kecil yang ada di rumah kami. Mereka sudah hidup di era gadget sejak lahir. Ada yang mengatakan, mereka inilah generasi digital native. Generasi yang lahir di era mata terbuka sudah melihat HP ini terbagi menjadi 2, Generasi Z atau Gen-Z yang lahir tahun 1997-2012. Lalu Generasi Post- Gen-Z atau Generasi Alpha yang lahir di atas tahun 2012. Kebetulan kedua anak kami merupakan perwakilan dua generasi itu.
Sebagai orangtua, mau tidak mau, jika ingin ‘bersahabat’ dengan anak, kita harus berusaha untuk ‘pedekate’ kepada mereka. Bukan hanya sebatas meluangkan waktu luang saja, akan tetapi juga mengontrol aktivitas mereka saat bermain di dunia maya yang tanpa batas. Tentu saja, mengontrol aktivitas anak tak semudah seperti masa lalu, sembunyi-sembunyi di balik gang seolah detektif yang mengintai sasaran. Selain kuasa atas akun dan password mereka agar kita tak mudah dibohongi, satu hal yang juga tak kalah penting dalam ‘perbestian’ dengan anak-anak kita, terutama yang beranjak remaja, yaitu dunia permainan atau game.
Bila zaman dahulu anak-anak bermain lompat tali, congklak, dakon, gateng, gobak sodor, hari ini mungkin akan tergantikan dengan permainan digital. Mulai dari permainan semacam ular, Minecraft, Roblox, hingga Free Fire, Clash of Clan dan Mobile Legend serta ribuan permainan lainnya. Tentu saja, tidak semua permainan tersebut bisa dengan mudah kita approve untuk dimainkan anak-anak kita. Inilah fungsi kontrol orangtua yang tetap ‘berkuasa’ memilihkan permainan yang layak dan tepat untuk dimainkan anak sesuai usia mereka. Namun, pada tulisan ini, penulis tidak akan membahas terlalu banyak mengenai permainan tersebut, yang mungkin akan dilanjutkan pada tulisan lainnya (bilamana Allah menghendaki).
Filosofi Game Cacing wa Akhowatuha
Semenjak mengenal dunia ‘per-bestie-an’ dengan anak, mau tidak mau sebagai orangtua yang masih terus belajar, saya berupaya untuk menyelami dunia mereka. Sebagaimana yang pernah say abaca dalam buku psikologi anak serta parenting, saya mencoba untuk ikut serta dalam permainan yang dimainkan oleh anak-anak saya. Selayaknya bestie, akhirnya mereka menganggap saya menjadi ‘bagian dari circle’ mereka karena telah ikut andil dalam beberapa permainan yang mereka mainkan. Sambil ‘mabar’ itulah, sesekali saya lontarkan pertanyaan ringan hingga nasihat kehidupan yang semoga kelak dapat selalu diingat oleh mereka.
Di antara game yang menjadi favorit mereka adalah Snake Zone.io, Hungry Game, Snake Lite, Snake Race, WormsZone.io, Snake.io dan Slink.io. Berbeda dengan anak-anak yang hanya menikmati permainan tersebut, otak saya yang terlanjur pernah membaca tentang filosofi kehidupan mulai berpikir keras bagaimana dan apa saja pelajaran yang dapat diambil dari permainan-permainan tersebut. Saya lantas menyusun beberapa analogi kehidupan yang diambil dari game tersebut untuk sesekali dilontarkan dengan bahasa paling sederhana yang cocok untuk mereka.
Gantilah analogi ‘cacing’ di bawah dengan ‘manusia’, atau ‘dirimu sendiri’ saat menghadapi kerasnya kehidupan, nak.
Filosofi Kehidupan yang Pertama
Cacing kecil, bila ingin menjadi besar, harus terus makan dan menghadapi rintangan yang ada di depannya. Sekali melenceng sedikit, cacing kecil itu akan menabrak cacing lain, menabrak tembok pembatas, maupun menabrak cacing yang lebih besar. Bila apes, cacing kecil itu malah akan menjadi santapan lezat bagi cacing besar. Cacing kecil itu adalah kita, nak.
Maknanya, bila kita masih menjadi orang biasa, rakyat kecil, orang awam, maka fokuslah pada apa yang ada di depanmu, fokuslah pada tujuan utamamu. Apakah menjadi infinity (tak terbatas), survival (bertahan diri) atau sekedar untuk memberikan kemanfaatan bagi ‘cacing kecil’ yang lain dengan menjadi cacing besar. Penuhilah kebutuhan primermu saja, tidak usah mencari yang lebih besar atau yang tidak mampu kamu capai. Karena kamu akan bertabrakan dengan orang biasa lainnya yang juga fokus kepada diri mereka sendiri.
Bila dikaitkan dengan nilai-nilai dasar Pesantren Tebuireng, prinsip ini sama dengan penerapan nilai tentang kerja keras dan tanggungjawab. Kerja keraslah untuk mencapai tujuanmu, namun tetaplah bertanggungjawab atas semua perbuatan yang kamu lakukan, karena akan berimbas pada semua langkahmu mencapai tujuanmu. Sebagai seorang muslim, tetap libatkan Allah dalam prosesmu. Agar kamu tak keluar dari apa yang menjadi perintah-Nya, dan tak melakukan apa yang menjadi larangan-Nya.
Nilai kejujuran juga dapat kalian lihat disini. Bagaimana cacing bisa tetap survival (bertahan diri) atau infinity (tak terbatas) saat cacing-cacing kecil itu hanya fokus pada diri sendiri dan tujuannya, tanpa melihat kepentingan cacing-cacing lain, dan tanpa membunuh cacing-cacing kecil lainnya. Maka cacing itu akan hidup lebih lama, menjadi survivor dan infinity. Semua dilandasi prinsip kejujuran, tidak melihat kanan kiri dan tidak saling menjatuhkan sesama. Kamu akan tetap tenang, fokus menuju tujuanmu dan hidup dengan tenang, nyaman dan aman tanpa rasa takut meskipun kamu berada dimanapun dan ditempatkan di berbagai situasi apapun nanti, karena kamu berjalan berlandaskan prinsip-prinsip kejujuran.
Filosofi Kehidupan yang Kedua
Cacing besar itu memiliki dua filosofi. Pertama, filosofi kebaikan, yaitu memberikan sisa-sisa ‘makanan’ yang tak dimakan kepada cacing-cacing kecil yang mencari makanan atau kehidupan di sekitarnya. Keberadaan cacing besar itu sangat bermanfaat bagi cacing-cacing kecil yang ada di sekitarnya. Namun, di lain sisi, cacing besar itu juga melanggar filosofi ‘percacingan’. Bagaimana tidak, cacing besar itu juga harus rela sesekali untuk mengorbankan cacing kecil lain agar dia terus menjadi cacing yang semakin besar.
Maknanya, ketika manusia sudah menjadi besar, atau memiliki nama besar, dia memiliki dua sisi yang berkebalikan. Pertama, dia akan memberi kemanfaatan bagi orang-orang di sekitarnya, contohnya Gus Dur, dengan nama besar beliau, meskipun sudah wafat, namun, beliau memberi kehidupan bagi orang-orang kecil yang berjualan di sekitar makam beliau. Kedua, ketika manusia sudah memiliki nama besar, terkadang mereka akan mengorbankan orang lain dengan tujuan agar terus menjadi orang yang ‘besar’. Contohnya ada banyak nak, sejarah tentang genosida Yahudi, NAZI, serta banyak lainnya.
Disini, kita belajar tentang nilai ikhlas dan keikhlasan dari cacing kecil. Cacing kecil berkorban ‘walau secara tidak sengaja’, untuk kebahagiaan kepentingan cacing lain yang lebih besar. Kadangkala, kita sebagai manusia juga harus belajar tentang ini, agar tidak selalu merasa menjadi korban, nak. Kita bisa berbangga karena dibalik kesuksesan manusia lain, kita ikut terlibat disana, meskipun terkadang tidak diakui. Inilah keikhlasan yang sesungguhnya.
Kita juga belajar tentang tasamuh. Bagaimana seharusnya seorang muslim menerima takdir dengan lapang hati. Namun, jika menjadi cacing yang besar, hendaklah kamu menjadi pribadi yang peduli, toleran, anti kekerasan, menghargai perbedaan serta menghargai hak orang lain. Jangan takut menjadi ‘cacing besar’, bahkan bermimpilah menjadi ‘cacing besar’ yang memberikan kemanfaatan bagi ‘cacing-cacing kecil’ di sekitarmu. Bahkan hingga saat kamu telah tiada, namamu akan selalu dikenang sebagai ‘cacing yang baik’ di kalangan sesamamu.
Filosofi Kehidupan yang Ketiga
Cacing besar itu tidak akan puas, sebelum mati. Entah karena kesalahan sendiri, menabrak pembatas, maupun menabrak cacing lain yang sama-sama besar, atau lebih besar. Cacing-caing terbesarpun akan terus mencari makanan. Bahkan beberapa cacing besar sengaja memakan cacing kecil sebagai mangsa.
Maknanya, meskipun sudah sebesar apapun, sekaya apapun manusia, nak tidak aka nada yang namanya rasa puas. Dia akan terus mencari makanan, kekayaan, dan bahkan mengorbankan orang lainnya. Dia tidak akan berhenti sampai Tuhan memanggilnya.
Inilah yang harus kita sadari nak, bahwa kita berbeda dengan cacing itu. Jangan sampai kita hanya memikirkan urusan membesarkan perut, sedangkan nantinya semua itu akan kita tinggalkan, tidak akan dibawa mati melainkan amal manusia itu sendiri. Itulah mengapa kita harus mempelajari konsep syukur dan qonaah.
Sebagai penutup, kita hendak mengingat filosofi kehidupan dari Alexander the Great, Sang Penakluk dunia pada masanya. Sebelum dia wafat, ada tiga pesan penting yang disampaikan dan menjadi wasiat untuk ditunaikan.
“Pertama, ketika aku meninggal nanti, panggil seluruh dokter dan tabib terkenal di negeri ini untuk mengangkat jenazahku. Kedua, gunakan semua uang, emas permata maupun harta yang bisa kau ambil dari rumahku untuk mengiringi kepergian jenazahku. Taburkan selayaknya bunga yang mengiringi kepergianku. Ketiga, lubangi peti jenazahku dan keluarkan tanganku di lubang itu.”
Apakah Maksud di Balik Ketiga Wasiat Alexander the Great tersebut?
Pertama, bahwa kematian atau ajal akan tetap menjemput kita. Sekuat apapun kita, dengan bantuan tabib atau dokter ternama pun, tak akan sanggup menunda, mencegah maupun menghalangi datangnya ajal. Kematian akan dialami semua manusia. Kau harus siap kapanpun waktunya kau dijemput malaikat maut. Kau harus siap sebagaimana hadits yang menyatakan “Bekerjalah untuk duniamu seakan kau hidup selamanya, namun beramallah atau beribadahlah untuk akhiratmu seakan kau akan mati esok hari.” Ingatlah kalimat yang kedua, persiapkan kematian dengan amal dan iman, nak. Karena itulah ujung dan akhir dari kehidupan manusia di dunia yang fana ini.
Kedua, bahwa sebanyak apapun uang dan harta yang kita kumpulkan, ketika kita mati, semua akan tertinggal di dunia. Tidak akan kita bawa ke liang lahat. Meskipun ikut kita kuburkan ke liang lahat, semua itu tak akan ada gunanya. Sebagai seorang muslim, ketika kita meninggal, hanyalah amal, perbuatan dan perlakuan kita kepada orang lain lah yang akan kita bawa sebagai bekal di hari akhir. Harta dan uang tersebut, tentu akan dimintai pertanggungjawaban. Maka, karena kelak akan dipertanyakan, pastikan kamu mencari dan menerima uang dan harta dari jalur yang halal dan mendapat ridho-Nya, nak.
Ketiga, maksud dari melubangi peti jenazah dan mengeluarkan tanganku di lubang peti, agar semua pelayat melihat bahwa manusia datang ke dunia dengan tangan kosong, begitu pula saat pergi meninggalkan dunia, dia tidak membawa apapun. Untuk itu, sebagai umat muslim, tetap saja iman dan amal baiklah yang dapat kita bawa sebagai bekal menuju kehidupan lain yang lebih kekal abadi, kehidupan akhirat.
Demikianlah, nak. Orangtua hanya bisa menasihati. Kalaupun benar, ambillah sebagai ibrah dan hikmah. Namun apabila salah, kamu tentu dapat memilih dan memilah manakah jalan hidup yang terbaik. Karena setiap pilihan kehidupan yang kau ambil pasti akan memiliki dua konsekuensi yang dapat kau jadikan pedoman untuk berpijak dan melangkah dalam pengambilan keputusan di masa mendatang, yaitu pelajaran dan pengalaman. Dua hal itulah yang niscaya akan kau dapatkan di universitas kehidupan ini, nak.
Dunia Hanyalah Permainan
Nak, sebagaimana game yang selalu kaumainkan itu, ingatlah bahwa dunia ini hanyalah permainan. Kadangkala kau harus bersedih karena karakter yang kaumainkan di game dihancurkan orang lain, bahkan teman mabar-mu sendiri. Kadangkala kau juga merasa bahagia karena karaktermu berhasil mencapai keinginanmu. Jangan menyikapi permainan dengan serius, sehingga kau bermusuhan dengan teman mabar-mu itu. Jangan terlalu ber-euphoria saat mencapai tujuan permainanmu, karena semua itu hanyalah ilusi permainan yang sementara.
Saat menghadapi dunia nyata, letakkan HP-mu dan renungkan. Semua peristiwa di dunia ini hanyalah permainan yang diramu sedemikian rapinya oleh Sang Maha Kuasa. Jangan terlalu bersedih bila mengalami musibah, dan jangan terlalu bahagia bila menerima karunia. Musibah dan cobaan akan berakhir, sebagaimana karunia dan anugerah yang diberikan Sang Maha Kuasa kepada semua manusia. Semua itu bersifat sementara. Ingatlah, nak. Yang abadi hanyalah akhirat. Itulah yang hendaknya selalu menjadi tujuan dan motto hidupmu.
Penulis: Elisa Nurul Laili
Dosen Tetap Prodi Pendidikan Bahasa Inggris UNHASY Tebuireng Jombang. Alumni PP. Al-Hikmah Kanigoro Blitar, Alumni S-1 UIN MMI Malang, S-2 Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sedang menempuh studi Doktoral di Universitas Sebelas Maret (UNS). Penulis dapat dihubungi melalui email: [email protected] dan nomor WA: 085691237846.