
Sejak 2018, sebuah produk politik telah digaungkan dengan munculnya Hari Santri Nasional yang diresmikan oleh Presiden RI 2014-2024, Joko Widodo. Hari santri itu ditetapkan atas dasar besarnya jasa-jasa santri dan pesantren dalam mempertahankan kemerdekaan RI sejak dipekikkannya Resolusi Jihad oleh Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Maka titik tolok eksistensi HSN, tidak lain ada peristiwa fenomenal resolusi jihad yang membangun semangat juang arek-arek Jawa Timur dan seluruh Indonesia untuk melawan sekutu.
Betapa susahnya para leluhur kita zaman itu, memekikkan takbir mempersiapkan hidup mati mereka untuk mempertahkan wilayah mereka dari klaim sekutu. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim pun tidak sekali dua kali mengeluarkan fatwa, mulai dari fatwa secara personal sebab permintaan pemimpin negeri, atau fatwa komunal bersama tokoh-tokoh NU atas dasar kompleksitas kebutuhan yang lebih urgen digadang bersama.
Mencoba membayangkan betapa kealiman Kiai Hasyim dan kejelian intelektualnya dalam merumuskan fatwa yang dapat memberikan efek komunal sebesar itu, di mana sejak September 1945 sampai Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda pada November 1949, perjuangan baik dari tantara nasional maupun kelaskaran-kelaskaran terus terjadi. Sungguhpun HSN diperingati seribu tahun berikutnya, peristiwa ini tidak dapat tergantikan.
Teringat beberapa tahun lalu, saat kami bersama Almarhum Almaghfurlah KH. Salahuddin Wahid dalam momen-momen diskusi Resolusi Jihad. Sebelumnya Resolusi Jihad karena adanya upaya sebagian orang untuk menutup-nutupinya, dianggap sebagai dongeng belaka. Bahkan ucapan itu, menurut penuturan Gus Sholah, lahir dari lisan seorang professor.
Lalu Gus Sholah berupaya menggali data, dengan keyakinan yang kuat, bahwa Resolusi Jihad bukanlah dongeng semata, tetapi peristiwa sejarah yang nyata. Seruan dari Tebuireng untuk menggali data soal Resolusi Jihad telah memantik semangat para ahli sejarah NU, untuk ikut serta berlomba mencari fakta-fakta yang tersembunyi. Maka kini sebelum HSN diresmikan, Gus Sholah telah memberikan kontribusi gerakan, mensejarahkan Resolusi Jihad. Maka didapatkan, seruan fatwa itu tidak hanya menggerakkan santri, yang bukan kaum pesantren, bahkan non muslim pun turut andil dalam perjuangan itu.
HSN dan Seremonial, Pergeseran Nilai
Saya adalah termasuk orang yang pada saat HSN diresmikan, berpemikiran sama dengan Gus Sholah bahwa itu tidak perlu dilakukan. Nama Hari santri membuat terminologi baru yang menjebak, terjebak dalam pergeseran nilai-nilai peringatan berganti menjadi perayaan. Ketakutan kami itu, tidaklah hanya isapan jempol. Masyarakat kita, adalah masyarakat keramaian, yang menyukai kemegahan, keramaian, hiruk pikuk, seremonial, dan pawai-pawai. Jika tidak dikawal dengan serius, tentu ini bisa menjadi “fatal”. Ketidaktahuan terhadap sejarah, membuat mereka lupa esensinya.
Nilai-nilai resolusi jihad itu, lambat laun semakin ke sini semakin tergantikan dengan hiruk-pikuk HSN. Nilai-nilai itu misalnya perjuangan, patriotisme, kebermanfaatan, keseriusan, intelektualitas, spiritualitas, religiusitas, hingga spirit Pembangunan manusia yang berkelanjutan berganti menjadi euphoria buta, bahkan jauh dari nilai-nilai yang disandang oleh sejarah dan peristiwa.
Di berbagai media sosial, dibagikan momen-momen menggemberikan dari perayaan yang diadakan, branding yang diagungkan dengan sangat besar “Hari Santri Nasional”, sementara Resolusi Jihad semakin sepi dari tagline yang diarusutamakan. Akibatnya yang terlihat dipermukaan hanyalah seremonial-seremonial perayaan, bukan mengkilas balik sejarah dan merefleksikannya menuju masa depan. Inilah yang menurut kami sebagai pergeseran nilai prioritas berganti dengan kesenangan-kesenangan sebentar.
Di dalam pawai-pawai yang diadakan tak sedikit yang menyediakan sound-sound sistem yang diistilahkan sekarang dengan “horeg” meramaikan jalanan, naasnya lagu yang diperdengarkan adalah lagu-lagu koplo remix, alih-alih lagu-lagu yang menambah ghirah kesantrian, religiusitas, dan nasionalisme. Apalagi, jagat perjogetan dengan berbagai gaya juga dimainkan dengan gembira sepanjang jalan start menuju finish.
Namun, kita tidak menyalahkan masyarakat secara total, sebab sejak dilahirkannya HSN, memang sudah mengarah ke sana. Pemerintah dan pihak terkait juga membantu branding HSN jauh lebih besar dari pada Resolusi Jihadnya. Logo yang ditampilkan pun, tidak ada kaitannya dengan Resolusi Jihad secara lahir. Acara-acara yang diadakanpun akhirnya tidak banyak yang menambah pengetahuan tentang Resolusi Jihad atau aplikasinya bagi santri dan umat Islam dalam menyongsong masa depan.
Reaktualisasi Resolusi Jihad, Berangkat dari Esensi
Yang patut diperkenalkan kepada masyarakat adalah bagaimana mengilhami Resolusi Jihad dan perjuangan santri dan kiai dalam merebut kedaulatan. Reaktualisasi membuat kita mempelajari sejarah masa lalu, tetapi juga dapat menjembatani masa depan dengan tantangan yang jauh lebih kompleks dan bias. Kita sudah tidak lagi harus menjadi bangsa yang kagetan terhadap seremoni tapi mengembalikannya pada esensi.
Padahal era sudah masuk posnormalism, di mana hal yang dulu dianggap biasa, menjadi luar biasa, yang dulu dianggap tabu menjadi biasa, yang dulu diyakini tidak pantas, sekarang dianggap pantas-pantas saja. Informasi bisa datang silih berganti tanpa dapat disaring karena arusnhya yang terlalu deras. Belum kita berbicara tentang darurat moral, pendidikan, ekonomi, dan teknologi yang semakin canggih. Santri bisa apa? Tentu jawabannya harus dijawab oleh masing-masing santri. Belum lagi kita bicara 1 abad Indonesia nanti di 2045, dengan harapan besar generasi hari ini nanti mengisinya dengan cemerlang.
Bukan berarti perayaan tidak boleh, tetapi perlu proporsional dan pas serta tidak berlebihan. Karena yang penting bukan seberapa meriah perayaan, tapi seberapa besar tingkat penyerapan nilai-nilai resolusi jihad itu dalam kehidupan berbangsa dan beragama. Anak-anak dan santri yang diajak memperingati harus disadarkan atas tugas yang diemban seorang santri. Terlebih bagi santri Tebuireng jika memang betul-betul merupakan santri Hadratussyaikh.
Baca Juga: Resolusi Jihad, Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan
Penulis bukan anti HSN, apalagi apriori. Kami pernah menjadi panitia HSN 3 tahun berturut-turut. Namun, saat menjadi panitia, kami membranding Resolusi Jihad di atas HSN. HSN tidak ubahnya hanya waktu dan momen yang disediakan, sedangkan Resolusi Jihad adalah konten utamanya. Dari mulai cover hingga isi, harus diangkat Resolusi Jihad, kegiatannya boleh apa saja, asal tidak menyalahi nilai-nilai awal yang menjadi pondasi.
Hadratussyaikh pun mengajarkan kita tentang esensi dari sebuah perkara. Bolehlah kita sebut beliau esensialis. Saat perayaan maulid Nabi SAW misalnya beliau mewanti-wanti perayaan yang menyimpang dari esensi maulid, misalkan dengan kekerasan, kemaksiatan, dan hura-hura, alih-alih mengisinya dengan kegiatan yang berhubungan secara dekat, misal berdzikir, membaca al-Quran, bershalawat, shodaqoh, majelis ilmu, dll. Ini yang dimaksud esensi.
Penulis sempat bercanda dengan seorang kawan yang menanggapi stetemen penulis “Dulu para leluhur, santri dan kiai marathon ke Surabaya untuk perang, kini kita marathon untuk berjoget ria”. Penulis berstetemen begitu saat melihat pawai-pawai dengan sound-sound horeg berbunyi lagu Nancy Ajram, berganti lagu-lagu biduan remix koplo, ditambah lagi lagu santri pekok yang dianggap sesuai dengan tema, pokoknya ada kata santrinya.
Lalu teman penulis, menimpali, kan kita sudah tidak ada perang, ya joget jadinya. Sambil tersenyum penulis berkata, “emang dikira perang hanya perang fisik mewalan musuh secara militer dan paramiliter, bagaimana dengan perang melawan kebodohan, perang melawan kesesatan pikiran, perang melawan kemiskinan, perang melawan degradasi akhlak dan moral, perang melawan korupsi, perang melawan mafia, perang melawan kesewenangan kekuasaan, dan perang-perang terhadap masalah-masalah lain yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dan umat Islam?”.
Baca Juga: Pesan Santri untuk Pemimpin Baru Indonesia
Kita ini kadang mendefinisikan sesuatu terlalu sempit, sehingga lupa bahwa esensi itu penting dikembangkan, bukan menarik esensi dari produk pengembangan. Santan tidak bisa lagi menjadi kelapa, tapi kelapa bisa menjadi santan, es degan, jelly, kue, roti, dan masakan-masakan lain yang lezat. Perumpamaan sederhana tentang berangkat dari esensi, bukan mencarikan esensi sebagai pembenaran. Selamat memperingati 79 tahun Resolusi Jihad, selamat merayakan Hari Santri Nasional.
Penulis: M. Abror Rosyidin
Dosen PAI Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng