Ilustrasi relasi dengan tetangga (sumber: kompaslivestyle)

Aku berdiri di depan jendela, menatap halaman kecil yang baru saja selesai aku sapu. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi aku sudah berkeringat. Suara piring dan sendok dari dapur masih terdengar samar, anak-anak belum bangun, dan Lutfi, suamiku, sedang mengecek pesanan barang di hapenya. Seharusnya ini momen tenangku, tapi pikiranku berisik. Lagi-lagi soal tetangga.

Semalam, selepas pulang dari rapat RT, aku pulang dengan dada sesak. “Ibu Irma hanya nyumbang kue basah, padahal waktu kawinan anaknya tahun lalu, kita bantu besar-besaran,” begitu katanya Bu Rini, dengan suara cukup keras untuk didengar satu ruang.

Aku tersenyum waktu itu, menahan amarah yang menggelegak. Aku tahu, ini bukan sekadar soal kue basah. Ini tentang ekspektasi yang tak pernah habis. Tentang tradisi desa kami, balas-membalas bantuan. Kalau waktu hajatan aku dibantu sepuluh orang, maka ketika mereka punya hajatan, aku pun wajib mengerahkan sepuluh tenaga, bahkan lebih. Kalau dulu dikirimi ayam, sekarang harus balas dengan ayam dan sedikit tambahan daging.

Tapi aku bukan perempuan yang punya banyak waktu. Aku ibu dari dua anak, istri dari seorang pegawai negeri yang pendapatannya tak banyak. Aku juga pekerja kantoran yang berangkat pukul tujuh pagi dan baru sampai rumah menjelang magrib. Pagi-pagi aku menyiapkan sarapan, menyapu, menyiapkan anak-anak, memeriksa email kantor. Sore hari, aku harus bantu anak-anak belajar, masak malam, dan kalau sempat, mencuci pakaian yang menumpuk. Waktu tidurku terbatas. Tenagaku terbagi. Dan aku lelah. Tapi aku tak pernah abai.

Setiap kali ada hajatan, aku selalu menyumbang, secukupnya. Kadang dalam bentuk uang, kadang bahan makanan, kadang datang sebentar membantu masak di dapur. Tapi entah mengapa, selalu saja salah di mata tetangga.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Bu Irma itu sok sibuk.”

“Katanya kerja, tapi kok masih sempat bikin story Instagram.”

“Waktu hajatan anaknya, ramai, tapi giliran bantu orang lain, tanggung-tanggung.”

Aku mengelus dada. Kadang rasanya tak adil. Aku tidak pernah memperhitungkan berapa banyak orang datang ke hajatan anakku. Aku berterima kasih pada siapa saja yang membantu, besar atau kecil. Tapi di sini, nilai kebaikan ditentukan oleh imbalan. Dan jika tidak seimbang, maka kau akan dicap pelit, sombong, atau tak tahu balas budi.

Lutfi, suamiku, tahu aku kesal. Tapi dia juga tak bisa banyak bicara.

“Aku ngerti posisi kamu, Ma. Tapi orangtuaku juga ngomel. Katanya, kamu terlalu individualis. Kurang guyub,” katanya suatu malam, setelah kami terlibat pertengkaran kecil soal Bu Rini dan geng lamanya.

“Kalau aku bukan menantu mereka, mereka tetap omongin aku. Aku bantu semampuku, tapi bukan berarti harus ikutin semua keinginan mereka,” aku membalas dengan suara pelan, tapi tegas.

Suamiku mengangguk, tapi aku tahu dia masih bingung. Dia pria baik, tapi bukan tipe yang berani berkonfrontasi. Dia terlalu peduli dengan apa kata orang.

Aku mulai merasa jengah tinggal di sini. Di desa yang penuh harapan tak tertulis. Di mana gotong royong tak lagi tulus, tapi berubah jadi ajang hitung-hitungan. Aku merasa terasing, padahal aku sudah tumbuh di sini. Aku ingin pergi. Aku ingin hidup di tempat di mana aku bisa jadi diriku sendiri, tanpa harus terus merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi semua ekspektasi orang.

“Bagaimana kalau kita pindah, Mas?” tanyaku suatu malam, saat anak-anak sudah tidur.

“Ke mana?”

“Ke kota. Aku sudah lama dapat tawaran kerja di kantor pusat. Gajinya lebih tinggi, lingkungannya profesional. Kita bisa cari rumah kontrakan di sana. Hidup lebih sederhana, tapi tenang.”

Suamiku diam. Dia menatapku, lalu menunduk. “Aku… setuju. Aku juga capek begini terus. Tapi…”

“Apa?”

“Rehan nggak mau pindah. Dia bilang, dia nggak mau pisah dari teman-temannya.”

Aku menghela napas. Rehan, anak sulung kami yang baru kelas lima SD, memang mulai punya dunia sendiri. Sahabatnya, klub sepak bolanya, bahkan guru favoritnya, semua ada di sini. Kami sudah pernah membicarakannya dengannya, tapi dia langsung menolak.

“Aku nggak mau sekolah di tempat baru. Nggak ada teman!” katanya waktu itu, sambil menangis di kamar.

Aku mengerti. Aku juga pernah jadi anak-anak. Rasanya dipaksa meninggalkan lingkungan yang sudah akrab bukan hal mudah. Tapi aku juga ingin bahagia. Kami ingin tenang.

“Bagaimana kalau kita pindah pelan-pelan? Kita biarkan Rehan menyelesaikan tahun ajarannya di sini. Setelah itu, baru pindah. Sementara kamu bisa bolak-balik dulu tiap pekan. Aku mulai kerja di kota, pulang tiap akhir pekan. Kita siapkan pelan-pelan.”

Lelaki yang sabar itu mengangguk. “Bisa. Tapi kita harus kuat. Pasti bakal tambah omongan dari tetangga.”

Aku tertawa kecil. “Mereka selalu punya bahan omongan, bahkan kalau aku diam. Jadi lebih baik aku lakukan apa yang membuatku tenang.”

0000

Hari-hari berikutnya, aku lebih tenang. Aku tak lagi memaksa untuk ikut rapat RT. Aku tetap membantu, tapi tanpa beban. Aku belajar menerima bahwa aku tak bisa menyenangkan semua orang. Aku tak bisa jadi sempurna di mata semua tetangga.

Suatu pagi, saat mengantar kue ke hajatan Bu Rini, beliau hanya tersenyum tipis. Aku balas dengan senyum yang sama. Tak ada basa-basi, tak ada drama. Aku tak peduli lagi jika senyumku dianggap dingin. Yang penting hatiku tetap hangat untuk keluargaku.

Rencana pindah kami perlahan bergerak. Aku menerima tawaran kerja itu. Suamiku mulai mencari peluang mutasi. Rehan, meski masih keberatan, mulai memahami sedikit demi sedikit. Kami sering duduk bertiga, membicarakan sekolah baru, taman kota, dan hal-hal menyenangkan lainnya. Tidak mudah, tapi kami belajar bersama.

Aku tahu, ke mana pun kami pergi, tantangan akan selalu ada. Tapi aku ingin hidup di tempat yang membuatku bisa bernapas lega. Bukan tempat di mana niat baik pun dipelintir jadi kesalahan, apalagi harus memenuhi ekspektasi tetangga.



Penulis: Ummu Masrurah, Alumni Annuqayah, Latee II.