Vira Laily, Duta Genre Tingkat Kecamatan Provinsi Jawa Timur 2023. (dok. oribadi)

Di tengah gemerlap mimpi jutaan anak muda yang berburu gelar sarjana, menjejakkan kaki di gedung-gedung megah universitas, dan menanti jabat tangan wisuda yang diidamkan, ada kisah- kisah lain yang tak kalah getir, namun menyimpan inspirasi mendalam. Ini bukan tentang mereka yang gagal, melainkan tentang mereka yang memilih untuk mengambil jalan memutar, menghadapi realita, dan dengan berani mendefinisikan ulang makna keberhasilan. Salah satunya adalah Vira Laili, atau sebut saja Vira. Sosoknya mungkin tidak akan kamu temui di baliho-baliho kampus, tapi perjuangannya adalah cerminan jutaan pemuda-pemudi lain yang sedang berpacu dengan takdir.

Tak banyak yang tahu, Vira pernah dipercaya menjadi Duta Genre Jombang, sebuah peran yang mengharuskannya tak hanya peka terhadap isu-isu remaja, tapi juga menjadi representasi semangat generasi muda dalam merencanakan masa depan secara bijak. Dari panggung-panggung sosialisasi hingga ruang diskusi sebaya, ia terbiasa berbicara tentang pentingnya pendidikan, kesehatan mental, dan pengambilan keputusan hidup yang rasional. Ironisnya, di balik segala kampanye yang ia gaungkan, ia sendiri harus bergulat dengan keputusan besar dalam hidupnya. Tapi justru di situlah letak keberanian Vira, ia tidak hanya pandai menyampaikan pesan, tapi juga menghidupinya dalam keseharian yang penuh pertaruhan. Gelar duta itu bukan sekadar simbol prestasi, tapi cermin integritas.

Baca Juga: Mengenang Djamsura, Pensiunan TNI dari Keluarga Petani

Ketika Mimpi dan Realita Bersua

Sejak awal, bagi Vira, kuliah bukan sekadar tradisi atau gengsi. Ia melihatnya sebagai jembatan menuju masa depan yang lebih baik, pintu gerbang untuk menggapai cita-cita yang telah lama ia bangun. Dengan semangat membara, ia memutuskan untuk membiayai kuliahnya sendiri. Bukan pilihan mudah, tapi ia yakin bisa menaklukkannya. Hari-harinya terbagi antara mengikuti perkuliahan yang padat dan bekerja. Mungkin sebagai freelancer, pekerja paruh waktu di stand jajanan, atau apapun yang bisa menghasilkan rupiah. Setiap rupiah yang ia dapatkan adalah hasil dari keringat dan waktu yang terkuras, waktu yang seharusnya bisa ia gunakan untuk beristirahat atau memperdalam materi kuliah.

Awalnya, semua terasa mungkin. Ia berusaha menyeimbangkan peran sebagai mahasiswa dan pekerja. Begadang untuk mengerjakan tugas setelah seharian bekerja, membaca modul di sela-sela jam istirahat, atau bahkan belajar di tempat kerja. Ia punya tekad baja, sebuah keyakinan bahwa ia bisa mengatur semua ini. Namun, hidup punya rencananya sendiri. Realita di lapangan jauh lebih kompleks daripada yang ia bayangkan di bangku sekolah. Tekanan akademis yang meningkat diiringi dengan tuntutan pekerjaan yang semakin besar.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Putus Kuliah, Pilihan atau Keterpaksaan?

“Putus kuliah karena biaya kuliah dari kerja sendiri,” ujarnya lugas. Kalimat itu bukan sekadar pengakuan, melainkan sebuah ringkasan pahit dari benturan antara idealisme pendidikan dan kerasnya tuntutan hidup mandiri. Bagi Vira, membiayai kuliah berarti mengorbankan banyak hal, termasuk kesempatan. Ia sering dihadapkan pada pilihan sulit, apakah harus menolak sebuah job penting yang artinya pemasukan bulanan terancam, ataukah memaksakan diri mengerjakan tugas kuliah yang terbengkalai dengan risiko nilai jeblok?

“Kerjaan banyak tapi waktunya yang nggak cukup buat ngerjain… Jadi akhirnya banyak nolak job…” lanjutnya, nadanya datar namun sarat makna. Ini bukan keluhan, melainkan sebuah perhitungan rasional yang telah ia matangkan. Fenomena ini menunjukkan bahwa Vira memiliki skill dan kompetensi yang diakui di pasar kerja. Ada banyak peluang di depannya. Namun, keterbatasan waktu sebagai mahasiswa sekaligus pekerja membuatnya harus melepas potensi penghasilan yang sebenarnya sangat ia butuhkan. Ini adalah dilema yang seringkali tidak dipahami oleh mereka yang beruntung bisa fokus penuh pada perkuliahan.

Momen itu akhirnya tiba. Setelah berbagai pertimbangan, rasa lelah yang menumpuk, dan hitung- hitungan finansial yang realistis, Vira memutuskan untuk cuti. Bukan keputusan yang ringan. Ada kekecewaan, rasa takut akan pandangan orang lain, dan mungkin sedikit rasa bersalah karena “menyerah” dari jalur yang umum. “Awalnya berat banget, rasanya kayak gagal. Tapi kalau dipaksain, aku yakin hasilnya nggak akan maksimal di dua-duanya, malah bisa kolaps,” kenangnya. Ini adalah sebuah keberanian untuk mengakui keterbatasan dan membuat pilihan yang strategis, demi keberlangsungan hidup dan masa depan yang lebih jelas.

Baca Juga: Muda dan Berani! Perjalanan Bisnis Aril dari Kafe ke Brand Fashion

Menemukan Nyaman di Jalur Alternatif

Keputusan cuti itu, yang mungkin dianggap “mundur” oleh sebagian orang, justru menjadi pintu gerbang bagi Vira untuk menemukan kenyamanan dan kepastian yang lebih nyata. Ia kini bisa fokus penuh pada pekerjaannya, sebuah bidang yang ternyata sangat ia nikmati dan kuasai. Pekerjaan ini memberinya kebebasan, fleksibilitas, dan yang terpenting, stabilitas finansial yang selama ini menjadi tantangan terbesarnya.

Menjadi Freelancer Jombang Painting Grup Dalam Acara Meet Class Outdoor Di Kebun Rojo.

“Sekarang kerjaan masih nyaman,” ujarnya dengan senyum tipis. Kenyamanan itu bukan hanya tentang penghasilan yang cukup, tapi juga tentang lingkungan kerja yang mendukung, jam kerja yang lebih fleksibel, dan ruang untuk mengembangkan kreativitasnya tanpa diburu-buru tenggat tugas atau ujian. Ia bisa fokus membangun portofolio, menjalin relasi profesional, dan mengasah skill praktis yang mungkin tidak didapat di bangku kuliah secara instan. Bahkan, ada beberapa proyek yang berhasil ia selesaikan dengan gemilang, memberikan kepuasan dan validasi atas pilihannya. Ini membuktikan bahwa kapasitas dan potensi seseorang tidak hanya diukur dari seberapa cepat ia menyelesaikan pendidikan formal, tapi dari seberapa gigih ia beradaptasi dan seberapa efektif ia memanfaatkan peluang yang ada.

Mimpi Tak Pernah Padam

Meskipun saat ini ia fokus pada karier, mimpi untuk melanjutkan pendidikan tidak pernah padam. Justru, keputusan ini adalah bagian dari strategi jangka panjang. “…dan pasti akan mengambil perkuliahan lagi insyaallah,” kata Vira penuh keyakinan. Kalimat “pasti” itu bukan sekadar janji manis, tapi sebuah komitmen yang berlandaskan kematangan berpikir. Ia tahu bahwa suatu saat nanti, pendidikan formal akan tetap relevan untuk mendukung karier dan ambisinya. Namun, ia juga tahu kapan dan bagaimana cara meraihnya, tanpa harus memaksakan diri dalam kondisi yang kurang ideal.

Vira Dalam Acara Pameran Bros By Nita Di Gedung Bung Tomo Jombang.

Rencananya mungkin akan mengambil jurusan yang lebih relevan dengan pekerjaannya saat ini, atau mungkin mengambil kelas paruh waktu yang lebih fleksibel. Pengalaman di dunia kerja telah memberinya perspektif baru, membuatnya lebih memahami apa yang benar-benar ia butuhkan dari sebuah pendidikan. Ini adalah bukti bahwa pendidikan bisa menjadi perjalanan seumur hidup, bukan sekadar balapan untuk mencapai garis finis.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Menjadi Apoteker hingga International Entrepreneur

Melampaui Stigma, Mengurai Realita

Kisah Vira bukan sekadar cerita pribadi. Ini adalah cerminan dari fenomena sosial yang lebih luas. Di Indonesia, ada banyak pemuda-pemudi yang terpaksa menunda atau bahkan menghentikan pendidikan formal karena alasan ekonomi, akses, atau benturan dengan tuntutan hidup. Data dari berbagai survei menunjukkan bahwa masalah biaya dan kebutuhan untuk bekerja adalah alasan utama di balik tingginya angka putus sekolah atau kuliah di tingkat menengah ke atas.

Sebagai seorang mahasiswi, aku sering bertanya-tanya: apakah sistem pendidikan kita sudah cukup fleksibel untuk mengakomodasi mereka yang berjuang seperti Vira? Apakah ada cukup dukungan beasiswa, program kuliah part-time yang efektif, atau sistem blended learning yang bisa diakses dengan mudah? Atau, apakah kita sebagai masyarakat terlalu cepat menghakimi mereka yang memilih jalan berbeda, tanpa memahami beban di pundak mereka?

Seorang psikolog pendidikan John W. Santrock, “Siswa atau mahasiswa yang berani membuat keputusan sulit seperti cuti kuliah demi keberlangsungan hidup menunjukkan kematangan emosional dan kognitif yang tinggi. Mereka tidak impulsif, melainkan realistis dan mampu memprioritaskan kebutuhan jangka panjang. Ini bukan kegagalan, melainkan adaptasi yang cerdas.” Senada, pengamat ekonomi menambahkan, “Fenomena ini juga mencerminkan dinamika pasar kerja. Di beberapa sektor, skill dan pengalaman nyata yang didapat dari pekerjaan justru lebih dihargai daripada sekadar ijazah. Ini bukan berarti ijazah tidak penting, tapi kompetensi praktis seringkali meanjadi penentu.”

Baca Juga: Penjaga Warisan Budaya Batik Tulis Jombang

Definisi Baru tentang Sukses

Kisah Vira adalah otokritik bagi kita semua. Ini adalah undangan untuk melihat lebih dalam, melampaui stigma dan stereotip yang seringkali kita lekatkan pada mereka yang “putus kuliah.” Ia membuktikan bahwa mimpi tidak pernah mengenal batas dinding kampus. Ia bisa terus dibangun, dipupuk, dan suatu saat nanti, dituai hasilnya. Dengan atau tanpa ijazah di tangan, Vira tetaplah seorang pemimpi yang berani dan realistis, seorang individu yang mendefinisikan keberhasilan dengan caranya sendiri.

Jadi, kali berikutnya kita mendengar frasa “putus kuliah,” mari kita coba mendengar lebih dalam cerita di baliknya. Mungkin di sana, ada inspirasi yang lebih besar dari sekadar selebrasi wisuda yang gemerlap. Karena di tangan Vira, mimpi itu tetap menyala, menanti waktu yang tepat untuk bersinar lebih terang, membuktikan bahwa jalur menuju sukses itu tak pernah tunggal.



Penulis: Irsyaddiyani Mahyar
Editor: Rara Zarary