
Lelaki pemimpi aksara-aksara itu adalah Ahmad Firdaus, yang sejak kecil suka sekali membaca sobekan koran di jalanan, atau koran sisa bungkung nasi. Ia selalu mencari kolom sastra, ingin membaca sebuah puisi atau cerpen, namun tak mampu jika terus berlangganan koran tiap harinya. Ia tampak membaca khusyuk secarik koran dengan visualisasi rumah kayu yang temaram.
Sambil minum sisa kopi yang sudah tampak ampasnya, daun-daun jatuh satu per satu di halaman kontrakannya, angin sedikit dingin, tetapi daun-daun membuat sore itu lebih romantic dari biasanya. Lelaki itu, bermimpi menjadi penulis. Bukan karena ingin terkenal, tapi karena itu satu-satunya cara ia merasa bisa bersuara dalam dunia yang terlalu bising untuk mendengarkannya.
Namun, mimpi itu terasa seperti menulis di atas air. Tak ada yang pernah benar-benar membaca tulisannya. Tak ada yang peduli. Di rumah, ayahnya selalu menganggap tulisan adalah kegiatan “nganggur cerdas”. Ibunya jarang bicara sejak ayahnya mulai tenggelam dalam hutang dan amarah. Dan kuliah? Firdaus kuliah di jurusan ekonomi karena beasiswa, bukan karena pilihan hati. Ia benci setiap sesi kuliah, namun tak ada ruang untuk pilihan.
Di kampus, ia seperti bayangan. Teman-teman lebih tertarik membangun koneksi bisnis atau menjadi konten kreator. Mereka tertawa bersama, berpesta, berbagi link magang, tapi tak ada yang pernah bertanya apa kabar Firdaus. Ia pernah mencoba bergabung di komunitas sastra, tapi selalu merasa tersisih. Ia tidak punya laptop bagus, tidak punya gaya hidup anak kota, dan tidak tahu bagaimana caranya “berjaringan”.
Setiap malam, Firdaus menulis di blog yang tak pernah dikunjungi. Ia menulis cerita tentang kemiskinan, tentang cinta yang dipendam, tentang keluarga yang hancur perlahan. Ia menulis untuk menjaga akalnya tetap waras. Kadang ia mengirimkan naskah ke media, tapi tak pernah dibalas. Kadang ia mencoba freelance menulis artikel, tapi klien sering menawar harga serendah-rendahnya.
“Bro, 500 kata bisa kan 10 ribu aja?” kata seseorang di DM Instagramnya. Ia pernah menulis satu artikel 2000 kata tentang dunia startup, hanya dibayar Rp50.000.
Namun Firdaus tak berhenti. Walau terkadang ia benci dirinya sendiri karena merasa tak cukup baik. Ia menulis dengan tangan gemetar karena takut tulisannya payah. Ia selalu merasa tak pantas menyebut dirinya penulis. Apa pantas disebut penulis kalau tak ada yang membaca?
***
Suatu malam, Firdaus pulang dari warung kopi tempat ia kerja paruh waktu. Langit sudah larut. Tubuhnya letih. Ia membuka laptop dan menyalakan dokumen terakhir, “Manusia yang Tak Pernah Diundang”, sebuah cerpen tentang seseorang yang selalu merasa asing di mana pun ia berada. Saat hendak menulis, tiba-tiba listrik padam. Laptop mati, dan dokumen itu belum disimpan.
Ia menunduk. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Bukan hanya karena dokumen hilang, tapi karena hari itu ayahnya menelpon dan berkata:
“Kalau cuma nulis, mending kamu kerja tetap. Jangan mimpi tinggi.”
Dan dosennya tadi siang juga berkata:
“Saudara Firdaus ini kurang aktif. Nilainya bisa jatuh kalau tak berubah.”
Semua terasa sempit. Dunia seperti lorong tanpa pintu keluar. Ia merasa gagal. Ia tak punya siapa-siapa untuk bicara. Tak ada teman dekat. Tak ada uang tabungan. Ia bingung arah.
***
Keesokan harinya, Firdaus bangun dengan kepala berat. Tapi pagi itu, ia memutuskan sesuatu. Ia akan berhenti berharap dukungan. Ia akan menulis bukan untuk siapa-siapa lagi. Ia akan menulis karena itu satu-satunya hal yang membuat hidupnya tetap bernapas.
Ia menulis ulang cerpen yang hilang semalam. Diperbaiki, dipoles. Lalu, untuk pertama kalinya, ia memberanikan diri kirim ke media nasional. Ia tahu peluangnya kecil. Tapi ia kirim dengan satu kalimat pengantar: “Saya tahu tulisan ini mungkin tak cukup baik. Tapi saya ingin mencoba percaya pada suara saya.”
Dua minggu berlalu.
Tak ada kabar.
Ia hampir lupa bahwa ia mengirimkannya, sampai suatu malam ia melihat notifikasi email.
“Kami dengan senang hati menerima cerpen Anda untuk dimuat di edisi bulan ini…”
Tangannya gemetar.
Ia membaca email itu berulang-ulang. Namanya akan terbit di media yang selama ini ia hormati diam-diam.
Ia menangis malam itu. Bukan karena akhirnya berhasil, tapi karena akhirnya ia merasa… didengar. Walau hanya sebentar.
***
Setelah itu, semangatnya bangkit pelan-pelan. Ia tetap freelance dengan bayaran kecil, tapi kini ia lebih selektif. Ia menolak proyek-proyek yang menghinakan jerih payahnya. Ia menulis lebih banyak cerpen, puisi, esai. Ia mulai mengajar anak-anak di kampungnya menulis blog. Kadang ia datang ke komunitas penulis, masih merasa asing, tapi tak lagi merasa perlu untuk cocok.
Ia belajar bahwa tak semua orang harus mengerti jalan hidupnya.
Ayahnya masih tidak paham. Ibunya masih diam. Tapi suatu hari, saat Firdaus pulang, ibunya menyodorkan koran tua.
“Ini kamu ya, Ahmad? Ibu baca ini waktu pinjam dari tetangga. Ceritanya sedih tapi indah…”
Firdaus terdiam.
Air matanya jatuh lagi. Tapi kali ini, bukan karena kesedihan. Melainkan karena untuk pertama kalinya, seseorang di rumahnya membacanya, dan mengerti.
***
Tahun berganti. Firdaus tak jadi penulis terkenal. Tapi ia terus menulis. Ia hidup dari tulisan-tulisannya. Ia menjadi editor lepas, kadang mengisi kelas daring menulis, kadang membuat konten untuk NGO kecil. Tak mewah, tapi cukup.
Ia mulai menyebut dirinya penulis, meski dengan suara pelan.
Karena ia tahu, yang membuat seseorang jadi penulis bukanlah tepuk tangan, bukan viral, bukan bahkan diterbitkan.
Tapi tetap menulis, bahkan ketika dunia sepi dan tak ada yang menunggu karyamu. Ahmad Firdaus menulis. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tak merasa hilang arah lagi.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary