Anak kecil yang asik bergambar dan mewarnai. (sumber: lensgoai)

Namaku Salma Aleeya Firdausiyah. Tapi orang-orang memanggilku Pink. Bukan karena aku berwarna pink seperti permen kapas, tapi karena aku suka sekali warna itu. Baju kesukaanku warna pink, tas sekolahku pink, sepatu juga pink. Bahkan tempat pensilku juga warna pink. Kata Bunda, pink itu warna yang ceria dan lembut. Sama seperti aku.

Aku baru enam tahun. Sekarang aku sekolah di TK Al-Ikhlas. Ini adalah sekolah pertamaku. Tempat pertama aku mengenal dunia di luar rumah, bertemu dengan banyak teman, dan mengenal sosok yang kami sebut “Bu Guru”. Tapi, di sini, aku ingin bercerita bukan tentang pelajaran atau mainan favoritku. Aku ingin bercerita tentang perjalanan kecil yang membuat hatiku tumbuh, tentang sebuah kenangan yang tak akan pernah aku lupakan.

Hari pertama aku masuk sekolah, rasanya seperti masuk ke dunia lain. Dunia yang ramai, penuh suara tawa, dan warna-warni. Tapi anehnya, aku malah merasa takut. Banyak anak-anak berlari-lari, tertawa, bermain dengan riangnya. Tapi aku hanya berdiri diam di samping Bunda, menggenggam tangannya erat-erat. Tanganku gemetar.

“Ayo, Pink… Nanti Pink bisa main sama teman-teman,” kata Bunda, sambil membelai rambutku. Suaranya tenang, seperti pelukan hangat di musim hujan.

Aku menggeleng. Mataku mulai berkaca-kaca.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Bunda lalu membungkuk, menatapku dengan senyum terbaiknya, dan berkata pelan, “Pink anak hebat. Pink akan punya teman baru di sini.”

Kata-kata itu seperti pelangi yang muncul di langit mendung hatiku. Aku masih takut, tapi aku mencoba melangkah. Dan ternyata, Bunda benar.

Hari-hari setelah itu berjalan seperti pelangi yang memanjang. Aku mulai mengenal teman-teman baru, Keira yang suka mewarnai, Dinda yang lucu dan cerewet, Farhan yang suka berbagi bekalnya, dan tentu saja Bu Guru Rara, yang sabar dan penuh kasih. Kami menyanyi, menari, belajar huruf, membuat bentuk dari plastisin, dan mendengarkan dongeng sebelum tidur siang. Aku bahagia.

****

Tapi, seperti awan yang kadang tiba-tiba menutupi matahari, kebahagiaan itu harus terhenti. Tanpa aba-aba.

Nenekku yang tinggal bersama kami, tiba-tiba sakit. Lalu tak lama kemudian, beliau wafat. Sejak itu, dunia di rumahku berubah. Ayah terlihat lebih sibuk, jarang di rumah. Bunda sering melamun, matanya sembab. Suara tawa di rumah mulai jarang terdengar. Dan kemudian, bunda bilang bahwa kami harus pindah. Kami akan merantau.

“Kita harus pindah, Pink. Bunda dan Ayah harus bekerja lebih keras sekarang. Supaya Pink dan kakak-kakak bisa tetap sekolah,” kata Bunda dengan suara pelan saat aku bertanya kenapa aku tidak bisa sekolah lagi seperti dulu.

Aku bingung. “Kenapa aku beda sama teman-teman aku, Bun?”

Bunda tersenyum sedih. “Karena hidup itu perjuangan, Nak. Kadang kita harus memilih jalan yang tidak semua orang lalui. Tapi selama Pink tetap semangat, tetap belajar dan berdoa, insya Allah jalan itu akan jadi jalan yang baik.”

Aku hanya bisa mengangguk. Meski tidak sepenuhnya mengerti, aku tahu kami sedang menghadapi sesuatu yang sulit. Sekolahku yang dulu harus aku tinggalkan. Teman-teman yang dulu bermain bersamaku hanya bisa kulihat dalam foto. Dan aku harus belajar dari rumah, lewat layar kecil di HP Bunda, sambil duduk di ruang kontrakan baru yang sempit.

Sekolah online itu tidak mudah. Kadang sinyalnya hilang. Kadang aku tertidur karena bosan. Tapi Bunda tak pernah marah. Ia selalu mengusap kepalaku dan bilang, “Pink hebat. Pink bisa.” Kata-kata itu membuat aku ingin terus mencoba.

Waktu berjalan cepat. Dan tanpa terasa, aku kembali sekolah lagi. Kali ini di tempat yang berbeda. TK yang lebih kecil, di kota yang baru. Awalnya aku takut, seperti dulu. Tapi aku sudah pernah merasakan itu, jadi aku tahu aku bisa melewatinya lagi.

Tapi belum lama aku mulai merasa nyaman, sebuah kabar datang dari Bunda.

“Kita harus pindah lagi, Pink,” katanya suatu malam. “Ada pekerjaan baru yang lebih baik, tapi letaknya jauh dari sini.”

Hatiku seperti dihantam hujan deras. Baru saja aku merasa punya dunia baru lagi, teman baru, guru baru, mainan baru dan semua itu harus kutinggalkan lagi?

****

Hari-hari berikutnya di sekolah terasa aneh. Aku dan teman-teman sedang belajar lagu perpisahan. Lagu itu indah, tapi membuat mataku basah setiap kali dinyanyikan. Aku mencoba menyanyi dengan suara pelan, agar tak ada yang tahu aku sedang menahan tangis.

Dalam benakku, aku membayangkan wajah Bu Guru yang ramah, tawa teman-teman saat bermain, dan kenangan kecil lainnya yang terasa besar di hatiku. Aku tahu, semua ini akan menjadi bagian dari diriku, meski aku harus pergi.

“Pindah tempat bukan berarti berhenti. Justru itu petualangan baru,” kata Bunda lagi, seperti mengulang pelajaran hidup yang ia ajarkan dari dulu.

Dan aku percaya. Karena setiap kali aku takut, setiap kali aku bingung, tangan Bunda selalu menjadi tempatku berpegangan. Sama seperti hari pertama aku masuk sekolah dulu.

Aku adalah Pink. Anak TK yang sedang belajar jadi kuat. Aku sedang belajar menerima perubahan. Aku sedang belajar untuk terus berjalan meski jalannya belum selalu aku kenali. Aku sedang belajar bahwa dunia tidak selalu tetap, tapi warna-warni kenangan bisa kita bawa ke mana pun kita pergi.

Aku berjanji pada diriku sendiri, aku akan tetap semangat belajar. Aku ingin tumbuh menjadi orang yang bisa membuat Bunda dan Ayah bangga. Aku ingin masa depan yang lebih baik. Dan aku percaya, semua perjuangan hari ini akan jadi langkah menuju hari itu.

Terima kasih, Bunda… karena selalu jadi pelindungku. Terima kasih, Bu Guru… karena sudah mengajariku dengan sabar. Terima kasih, teman-teman… karena sudah membuat dunia kecilku terasa begitu besar dan menyenangkan. Semoga Allah selalu menjaga kalian semua.



Penulis: Ummu Masrurah