Seorang muslim yang sedang beribadah di masjid. (sumber: liputan6.com)

Oleh: KH. Abdul Kholiq Hasan

اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَسْلِيمًا كَثِيْرًا اتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ  فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ

بِّسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ  إِنَّاۤ أَنزَلۡنَـٰهُ فِی لَیۡلَةِ ٱلۡقَدۡرِ وَمَاۤ أَدۡرَىٰكَ مَا لَیۡلَةُ ٱلۡقَدۡر لَیۡلَةُ ٱلۡقَدۡرِ خَیۡرࣱ مِّنۡ أَلۡفِ شَهۡر تَنَزَّلُ ٱلۡمَلَـٰۤىِٕكَةُ وَٱلرُّوحُ فِیهَا بِإِذۡنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمۡر سَلَـٰمٌ هِیَ حَتَّىٰ مَطۡلَعِ ٱلۡفَجۡرِ

Jamaah Jum’at Rahimakumullah          

Di rumah Allah yang mulia ini, serta di hari yang istimewa ini, sekaligus doa-doa kita dikabulkan oleh Allah, yakni bulan penuh Rahmat, Maghfirah, dan Itqun min al-Nar (pembebasan dari Nereka). Marilah bersama-sama kita sisihkan sebentar kesibukan duniawi kita untuk evaluasi diri masing-masing, sudahkah dengan bertambahnya umur dan kenikmatan yang tak terhitung sejalan lurus dengan peningkatan ketakwaan kita kepada Allah. Karena mulia atau tidak di hadapan Allah tidak ditentukan oleh seberapa banyak harta yang kita punya, seberapa tinggi jabatan yang kita sandang, atau seberapa tampan dan kuat fisik kita. Sebab ukuran kemuliaan seorang hamba adalah nilai ketakwaannya; inna akramakum indallahi atqakum.

Allah memilih kita menjadi umat Muhammad ini adalah anugerah besar, bahkan hampir seluruh nabi menginginkan menjadi umat nabi Muhammad. Ketika Allah bercerita kepada Nabi tentang ahli ibadah, selama satu tahun penuh ia berperang di jalan Allah, baginda Nabi matur kepada Allah, “Ya Allah, saya ingin sekali umat saya seperti itu, tapi sayang umat saya adalah aqsaru a’maran wa aqsaru a’malan (mereka adalah hamba-hamba yang berumur pendek dan amalnya sedikit), sehingga semua serba minmalis.

Kemudian Allah menganugerahkan satu malam kepada umat Nabi, yang malam itu kita beribadah kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan, maka nilainya lebih baik dari seribu bulan. Tafsir Al-Shawi menyebut ukuran seribu bulan itu adalah 83 tahun lebih 4 bulan. Inilah kehebatan keutamaan yang diberikan Allah kepada kita selaku umat nabi Muhammad SAW. Mudah-mudahan kita ditakdir oleh Allah bisa menjumpai malam lailatul qadar.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seorang tokoh tasawuf, Syaikh Abu Hasan Al-Syadzili sebagaimana dikutip oleh Imam Al-Shawi melakukan penelitian sepenuh hidupnya, sehingga beliau memberikan bocoran kepada kita. Apabila Ramadhan dimulai pada hari Sabtu, maka Ramadhan jatuh pada malam 23. Akan tetapi hampir seluruh ulama’ sepakat sengaja dirahasiakan oleh Allah agar kita menghidupkan seluruh malam Ramadhan.

Bagaimana para salafushalih mengisi Lailatul Qadar? Ada dua kelompok besar yang ada dalam dunia tasawuf. Pertama, mereka adalah orang-orang merasa tidak pantas berdoa angkat tangan kepada Allah, karena bagi mereka Allah Maha Tahu apa yang terbaik. Sehingga mereka lebih menyibukkan diri berzikir, tasbih, dan innaka ‘afuwun karim tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anna ya Karim. Mereka malu untuk mohon kepada. Ini yang disebut husnul adab. Hal ini mereka dasari dengan hadis:

مَنْ شَغَلَهُ القرآن عَنْ مَسْأَلَتِي أَعْطَيْتُهُ أَفْضَلَ مَا أُعْطِي السَّائِلِينَ

Siapapun yang orang yang menyibukkan diri dengan Al-Qur’an, maka Aku berikan kepadanya apa-apa yang terbaik daripada sesuatu yang Aku berikan kepada hamba-hamba yang memohon kepada-Ku.

Jadi mereka menyibukkan diri dengan berzikir, sehingga mereka lupa untuk meminta kepada Allah.

Kelompok kedua, adalah kelompok yang berdoa dan berzikir kepada Allah. Bagi kelompok ini memohon kepada Allah tidak menjadikan mereka su’ul adab kepada Allah. Karena niat mereka memohon kepada Allah hanya melaksanakan perintah-Nya; ud’uni astajib lakum (mohonlah kepada-Ku, maka aku akan kabulkan). Apalagi di antara ayat-ayat yang berbicara tentang puasa terdapat satu ayat tentang doa, yakni:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِی عَنِّی فَإِنِّی قَرِیبٌۖ أُجِیبُ دَعۡوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِۖ فَلۡیَسۡتَجِیبُوا۟ لِی وَلۡیُؤۡمِنُوا۟ بِی لَعَلَّهُمۡ یَرۡشُدُونَ

Sehingga kaum kedua ini gemar berdoa, tetapi tidak lupa berzikir kepada-Nya. Bagi mereka berdoa bukan hanya untuk memohon kepada Allah, melainkan ciri dari hamba yang hina, sangat butuh, dan sagat fakir di hadapan-Nya. Mereka yakni bahwa doa-doa mereka akan dikabulkan, sebagaimana dawuh Syaikh Ibn ‘Atha’illah Al-Sakandari, setiap doa yang terpenuhi syarat rukun dan adabnya pada Allah kabulkan, tapi fi ma yakhtaru laka, la fi ma takhtaru li nafsika, tergantung apa yang dipilihkan Allah untuk kita, bukan yang dipilih oleh nafsu kita. fi al-waqti al-ladzi yurid, la turid, waktunya terserah Allah, bukan terserah hamba.

Sehingga ada orang yang berdoa dikabulkan langsung, akan tetapi dikabulkan di akhir hidupnya, bahkan di akhirat. Sebagaimana kisah seorang hamba ketika ditunjukkan buku amal di akhirat. Ia melihat banyak sekali amal baik, padahal ia tidak merasa melakukan kebaikan. Allah menjawab itulah penundaan doa-doamu di dunia yang Aku berikan di akhirat.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ

وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ

وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ



Transkip: Yuniar Indra Yahya