Ilustrasi santri belajar (sumber: harianjogja)

Kitab Kuning dan Lampu Minyak

Di bawah lampu minyak yang menggigil,
aku mengeja huruf demi huruf
seperti seorang pelaut menghafal bintang,
menyusuri laut malam tanpa peta,
hanya dengan cahaya iman yang samar.

Kitab kuning
kupeluk lebih erat dari selimut musim hujan.

Ia bukan sekadar buku,
tapi kompas dalam kekalutan zaman,

ia bukan warisan kakekku,
tapi wasiat langit yang dititip lewat tinta ulama.

Setiap halaman adalah medan perang,
antara kantuk dan tekad,
antara bosan dan sabar,
dan aku adalah prajuritnya,

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

dengan pena sebagai pedang
dan akal sebagai kuda yang berlari ke ujung subuh.

Kiai mengajarku, “Ilmu itu nur,”
dan aku mengerti,
bahwa nur tidak bisa menari di hati yang gelap.

Maka kusapu jiwaku dengan istighfar,
kumandikan malam dengan tahajud,
kusimpan keluh di balik zikir yang tak bersuara.

Santri bukan hanya belajar,
kami sedang menempa nasib bangsa,
dalam diam,
dalam kitab,
dalam malam yang tak pernah lelah bersaksi.


Di Pondok, Waktu Tak Pernah Tidur

Subuh belum betul-betul terang,
tapi langkah-langkah kecil kami sudah merangkak
menuju musholla kayu beralaskan tikar tua.

Waktu di pondok berbeda,
ia tak berjalan, ia berlari,
mendahului niat, mendahului lelah,
mendahului malas yang mencoba menyelinap.

Ngaji, hafalan, setoran,
kerja bakti, talaqqi, sorogan—
semuanya beriringan seperti kereta panjang
di rel disiplin yang tak boleh miring.

Tidur kami pendek,
tapi mimpi kami panjang.
Hidup kami sederhana,
tapi cita-cita kami melampaui langit kota.

Kami belajar sabar
dari antrean kamar mandi sebelum subuh.

Kami belajar teliti
dari kesalahan i’rab dalam satu ayat.

Kami belajar cinta
dari senyum ustaz meski sakit tak kunjung reda.

Tak ada sekolah sekeras ini,
tapi juga tak ada sekolah setulus ini.

Di pondok, ilmu bukan untuk nilai,
tapi untuk jalan pulang ke Surga.


Ujung Tombak Zaman

Santri bukan peninggalan sejarah,
ia adalah mata pena yang masih menulis esok.
Sarung bukan simbol diam,
tapi bendera juang yang tak ditiup angin.

Ia berjalan tanpa sorot media,
tapi langkahnya menggetarkan zaman.

Ia bukan selebritas di layar kaca,
tapi nabi kecil dalam ranah akhlak dan makna.

Santri tahu bahwa belajar adalah jihad,
dan lembaran kitab adalah parit-parit perang.
Ia menyalin ilmu seperti menambal perahu bocor—
teliti, pelan, tak boleh salah.

Ia tidak hanya menjawab soal,
tapi juga pertanyaan hidup:
“Bagaimana menjadi manusia utuh?”
“Bagaimana berilmu tanpa congkak?”
“Bagaimana menjadi pemimpin tanpa haus tahta?”

Santri tidak kaya,
tapi ia dititipi langit.

Santri tidak populer,
tapi ia mengisi celah-celah kosong
di tubuh bangsa yang rindu makna.

Karena itu, jangan anggap kecil mereka
yang tidur di asrama sempit
dan berbuka dengan tahu goreng,
sebab merekalah
ujung tombak zaman.


Hafalan dan Hujan

Gerimis jatuh seperti bisikan,
membelai atap pondok yang rapuh
dan jendela kayu yang mulai merekah.

Aku duduk bersila,
mengulang surat-surat langit
yang kadang menyelinap dari ingatan.

Bacaan Al-Qur’an kusematkan di lidah
seperti benang menyulam luka,
pelan-pelan, sabar, dan hati-hati.

Kadang aku gagal,
terlupa satu huruf, terbalik makna.

Kadang aku kecewa,
membandingkan hafalanku dengan teman sebangku.

Tapi aku tahu,
Tuhan tidak meminta hafalan sempurna,
melainkan perjuangan yang jujur.

Al-Qur’an itu seperti pelita,
menyala perlahan,
menuntunku pulang ketika semua jalan mati.

Ayat demi ayat kutanam dalam dada,
seperti petani menanam benih
di tanah yang keras dan belum subur.

Dan bila musim panen tiba,
barangkali bukan aku yang memetiknya,
tapi anak-anakku,
atau negeri ini,
atau dunia yang sudah lelah menunggu terang.


Aku, Kitab, dan Doa Emak

Emak tak pandai membaca Arab,
tapi doanya fasih sampai ke langit.
Tiap kali aku pulang,
ia menyelipkan air mata dalam lipatan sarung.

“Aku gak bisa bantu kamu belajar, Nak,
tapi aku bisa doain kamu.”
Dan itulah bekal paling sakti
yang kubawa ke pondok.

Di kamar sempit dengan lima teman sekamar,
aku membaca kitab gundul yang tak bertitik,
mencari makna dalam hening yang pekat.

Terkadang aku hampir menyerah,
tapi suara emak membangunkanku dalam mimpi:
“Satu halamanmu adalah tabungan akhirat kita.”

Kitab itu berat,
bukan karena halamannya,
tapi karena harapan yang dibebankan padanya.

Tapi aku tidak sendiri.
Setiap doa emak,
adalah cahaya kecil
yang menuntunku pulang
dari gelapnya ujian dan malam-malam berat.

Maka meski aku tak juara lomba,
tak viral, tak kaya,
aku percaya,
di mata Tuhan dan di hati emak,
aku sudah menang.


Penulis: Achmad ‘Adzimil Burhan Al-Hanif
Editor: Rara Zarary