Buku dan semua cerita masalalu. (sumber: pngtree)

Di tengah hiruk-pikuk kota besar yang keramaiannya tak pernah tidur, seorang pria berjalan dengan langkah berat di trotoar, tenggelam dalam keramaian. Wajahnya tak asing bagi mereka yang biasa berjalan di sekitar kawasan perkantoran itu, tetapi tak ada yang benar-benar mengenalnya. Lelaki itu adalah Handoko.

Ia melangkah tanpa tujuan, menyusuri jalan-jalan yang sudah lama ia kenal, namun rasanya semuanya berubah. Gedung-gedung tinggi, suara klakson kendaraan, hingga orang-orang yang berlalu lalang seakan tak lagi menyambutnya. Di matanya, semua tampak kabur, seperti dunia yang mulai memudar.

Lelaki berjaket coklat itu berhenti di depan sebuah toko buku kecil yang sudah berusia puluhan tahun. Pintu toko itu selalu terbuka, meski langit sering kali mendung. Ia memandangi etalase buku-buku bekas yang tergeletak di sana. Di antara tumpukan buku tua itu, ia melihat sebuah buku yang telah lama ia cari. Itu adalah buku puisi yang dulu sering dibaca oleh anak-anaknya, ketika mereka masih tinggal bersamanya. Buku itu mengingatkannya pada masa lalu—masa di mana ia masih merasa utuh, sebelum segala sesuatunya hancur.

Dulu, Handoko seorang pria yang penuh ambisi, menggenggam harapan besar untuk kehidupan keluarganya. Namun, dalam perjalanannya, ia sering melupakan mereka. Di balik kesibukannya bekerja, ia terjebak dalam gelombang perasaan yang menuntunnya untuk selalu mencari kebahagiaan pribadi, terlepas dari siapa yang ia tinggalkan.

Istrinya yang pertama, seorang wanita lembut bernama Dian, adalah cinta pertamanya. Bersama Dian, Handoko memiliki dua anak, seorang putri bernama Nisa dan seorang putra bernama Arif. Mereka adalah dunia Handoko, namun dunia itu runtuh seiring berjalannya waktu. Handoko tidak bisa lagi melihat istrinya sebagai teman hidup, dan akhirnya mereka bercerai. Dian pergi, membawa anak-anaknya, meninggalkan Handoko yang kini terdampar dalam kesepian.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Tak lama setelah itu, ia bertemu dengan wanita lain, Sari. Sari memberi warna baru dalam hidupnya, menawarkan harapan-harapan baru yang lebih cerah. Tapi, seperti sebelumnya, Handoko lupa untuk memberi perhatian pada Nisa dan Arif. Mereka menjadi lebih jauh, bahkan semakin jauh, karena Handoko terlalu asyik dengan dunianya yang baru.

*****

Tahun berlalu. Sari hamil, dan mereka memiliki seorang anak laki-laki yang diberi nama Rian. Handoko merasa seolah menemukan kebahagiaan kembali, namun kebahagiaan itu datang dengan harga yang mahal. Arif dan Nisa semakin merasa terabaikan. Mereka tumbuh dewasa tanpa pernah merasa kehangatan kasih sayang dari ayah mereka. Handoko, yang semakin terlarut dalam kehidupan barunya, tidak pernah benar-benar melihat mereka sebagai bagian dari hidupnya.

Ketika Arif dan Nisa akhirnya memutuskan untuk menjauh, Handoko merasa kecewa. Mereka tak pernah kembali. Mereka membangun kehidupan mereka sendiri, jauh dari ayah yang dulu pernah menjadi segalanya bagi mereka. Handoko ingin menghubungi mereka, tetapi tak tahu harus mulai dari mana. Kata-kata yang harus ia ucapkan terasa begitu sulit, seolah-olah jembatan yang menghubungkan mereka sudah runtuh.

Kini, Handoko berdiri di depan toko buku itu, memandangi buku yang pernah dibaca oleh anak-anaknya. Ia membuka halaman-halaman buku itu, mengenang saat-saat mereka masih duduk bersama di ruang keluarga, tertawa, dan berbagi cerita. Namun semua itu sudah menjadi kenangan. Waktu yang tak bisa kembali.

“Maafkan ayah, anak-anak,” bisik Handoko dalam hati. “Ayah terlalu banyak mencari kebahagiaan di luar sana, sampai lupa apa yang paling penting.”

Hari-hari berlalu, dan kota tetap berdengung dengan kehidupan yang terus berjalan. Handoko mencoba untuk menjalani sisa hidupnya dengan penuh kesadaran. Dia sadar bahwa banyak hal telah hilang. Setiap pagi, ia berjalan melintasi jalan yang sama, berharap suatu saat bisa bertemu dengan Nisa dan Arif. Namun, harapan itu kian memudar, seperti senja yang tenggelam di balik gedung-gedung tinggi.

*****

Suatu sore, ketika hujan turun dengan derasnya, Handoko menerima sebuah pesan singkat di teleponnya. Itu dari Nisa. Tidak ada kata-kata manis atau ungkapan yang penuh harapan, hanya dua kalimat sederhana: “Kita sudah lama tak bicara. Mungkin kita perlu bertemu.”

Handoko tidak tahu harus merespons apa. Ia merasa tubuhnya tiba-tiba kaku. Hati yang telah lama terbungkus rapat itu berdegup kencang. Akankah ini menjadi kesempatan kedua? Atau justru pengingat bahwa semua yang telah ia lakukan tidak akan pernah bisa diperbaiki?

Hujan semakin deras. Di dalam mobilnya, Handoko memandangi pemandangan kota yang tak pernah berubah. Namun, kali ini, semuanya tampak begitu asing. Jejak-jejak yang tertinggal oleh masa lalu tak bisa dihapus, meskipun ia ingin sekali memperbaikinya. Kota ini, dengan segala keramaian dan kesibukannya, mungkin bisa menyembunyikan rasa sepi yang ia rasakan. Namun, di dalam hatinya, Handoko tahu bahwa hanya dengan menghadapi masa lalu, ia bisa menemukan kedamaian.

Ia mengetik pesan balasan, “Aku akan menunggumu, Nisa. Kapan saja, di mana saja.”

Hujan di luar semakin deras, tetapi Handoko tahu bahwa mungkin, suatu saat nanti, ia bisa merangkai kembali sisa-sisa kehidupan yang telah lama hancur.



Penulis: Albii