
Entah ke Mana Perginya?
Suara klakson terdengar memenuhi jalanan
langit senja menyambut dengan tenang
semburat awan berwarna oranye menari di balik megahnya surau
anak-anak kecil berlarian dengan sarung dan peci dikenakannya
berebut dahulu sebelum azan berkumandang
perempuan itu terdiam
mengamati mereka dari kejauhan
bayangan sepuluh tahun lalu menyapa
katanya, berlarian menuju masjid bersama kawan adalah hal favoritnya
diingatnya kembali, memori masa kecilnya
menduduki saf pertama dengan semangatnya
hingga menangis sesenggukan– tak jadi mengaji, akibat tertidur dalam lelap
lamunan perempuan itu terhenti
dipikirannya hanya satu, entah ke mana perginya?
nyatanya, perempuan itu mengharapkan jarak yang lebih dekat
hatinya tertinggal, tapi ia berjalan untuk menjemputnya kembali
jika menjauh membuatnya semakin lupa, lantas mengapa ia merindukannya?
Setengah Cahaya
Di tengah gelapnya malam
bulan-separuh belum-sempurna, bersinar remang-remang
tampak satu-dua bintang
menemani kehadirannya
begitu pun, rintik hujan membungkus kota
datanglah hangatnya matahari
menyempurnakannya
seseorang terjatuh
ia tersesat dalam perjalanannya
meski penuh keraguan, ia memutuskan untuk tetap berjalan
menjelajahi jalanan asing yang tak pernah ia sangka
satu hal yang ia ingat: pertolongan itu pasti akan datang
Sajadah yang Masih Sama
Di sudut kamar, sajadah itu terlihat sendiri,
memunggungi punggung kursi setengah tua dengan suara khasnya
sajadah itu tampak pudar, namun masih tetap sama
sajadah itu melebarkan dirinya untuk menampung segala asa
membiarkan pemiliknya memandangi langit-langit,
untuk meminta kepada dzat maha agung
sajadah itu masih sama
ia memeluk pemiliknya tanpa syarat
meski sering tergeletak begitu saja –
ia tak pernah bosan mendengarkan keluhan
sajadah itu masih sama
tempat bersujud paling nyaman,
disaat tak ada tempat untuk berbicara
Penulis: Widya Dwi Larasati