
Perempuan sederhana itu, adalah Nada Kirana. Usianya baru menginjak 21 tahun, namun matanya telah lama terbiasa dengan lelah dan harapan yang tumbuh dalam diam. Setiap harinya, Nada tidak mengenal kata menyerah, meskipun langit belum sepenuhnya cerah atau sepinya senja menyapa dengan hening.
Ramadhan kali ini terasa berbeda. Tidak hanya karena aroma takjil yang semakin sering mengisi udara sore, tapi juga karena sebuah keputusan yang telah bersemayam di dalam hati Nada sejak pagi buta. Ia ingin membeli buka puasa untuk ayah, ibu, dan adiknya. Sebuah niat yang tulus, meskipun usianya masih belia dan kemampuannya sangat terbatas.
Nada tahu, ayahnya sudah lama sekali bekerja keras sebagai buruh bangunan, tubuhnya yang kurus kering hampir selalu diliputi debu pasir dan peluh. Ibu, meskipun tak lagi muda, tetap setia mengurus rumah dan menyiapkan makanan seadanya, tanpa keluhan. Sedangkan adiknya, Dani, yang masih berumur tujuh tahun, hanya bisa menunggu dengan sabar di rumah.
“Ya Allah, mudahkan aku,” doa Nada pelan di dalam hati, sambil menyarungkan sepasang sandal jepit yang sudah usang. Dengan sepenuh hati, ia bertekad untuk melakukan segala cara yang baik dan halal agar bisa membahagiakan keluarganya.
Pagi itu, Nada berjalan kaki menuju pasar. Di sana, ia berharap dapat menemukan pekerjaan. Tak ada yang terlalu sulit baginya, karena apapun akan ia lakukan. Menjual es kelapa muda, menjadi pelayan warung nasi, atau bahkan membantu ibu-ibu berbelanja, semua ia terima dengan tangan terbuka. Yang terpenting, hasilnya cukup untuk membeli makanan berbuka puasa untuk keluarga kecilnya.
“Assalamualaikum,” sapa Nada kepada seorang ibu penjual jajanan pasar yang sedang menata dagangannya.
“Waalaikumsalam, Nak. Ada yang bisa Ibu bantu?” tanya sang ibu dengan senyum ramah, meskipun rona lelah tampak di wajahnya.
“Apa saya boleh membantu Ibu? Saya ingin bekerja, apapun yang Ibu butuhkan, Ibu. Saya butuh sedikit uang untuk membeli buka puasa keluarga saya.”
Ibu itu terdiam sejenak, menilai Nada dengan tatapan penuh pertanyaan. Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangguk. “Boleh, kamu bantu Ibu siapkan beberapa ketan bakar ini. Ibu butuh orang yang cepat bekerja.”
Nada mengangguk, lalu segera mulai membantu menyiapkan ketan bakar di atas arang yang masih menyala. Bau manis ketan yang sedang dibakar memenuhi udara, bercampur dengan aroma pedas dari rempah-rempah yang digunakan para pedagang lain. Dengan tangannya yang cekatan, Nada menata ketan bakar itu satu per satu.
Waktu berlalu begitu cepat, dan matahari perlahan mulai meninggi. Meski panasnya terik, Nada tidak mengeluh. Setiap kali ia merasa lelah, ia akan mengingat wajah ayah, ibu, dan adiknya yang sedang menunggu di rumah. Setiap kali ia merasa putus asa, suara tawa kecil Dani yang masih polos kembali menguatkan tekadnya. “Aku pasti bisa,” katanya dalam hati.
Tengah hari, ibu penjual ketan itu memberikan upah yang cukup bagi Nada—uang yang tak banyak, namun cukup berarti untuk membeli makanan berbuka. Nada segera mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan langkahnya menuju warung nasi.
“Pak, apakah ada pekerjaan untuk saya di sini?” Nada bertanya dengan harap-harap cemas pada seorang lelaki paruh baya yang tengah membersihkan meja.
Lelaki itu memandang Nada sejenak, lalu tersenyum. “Ada. Kamu bisa bantu saya melayani pelanggan sementara. Tapi ingat, jangan sampai menunda pekerjaan, ya?”
Nada mengangguk cepat, dan segera mulai membantu lelaki itu. Hari itu, ia bekerja tanpa henti. Mencatat pesanan, mengantarkan makanan, bahkan mencuci piring. Tak ada pekerjaan yang terlalu berat bagi Nada, selama itu bisa membantunya memperoleh rezeki yang halal.
Sore menjelang, dan suara adzan maghrib mulai terdengar mengalun merdu dari mesjid terdekat. Nada menyadari bahwa waktunya semakin dekat. Sudah saatnya ia pulang, namun tidak sebelum ia membeli buka puasa untuk keluarganya.
Dengan sisa-sisa uang yang ia kumpulkan dari bekerja seharian, Nada berjalan menuju warung yang menjual makanan untuk berbuka. Ia memilih beberapa potong ayam goreng, sepiring nasi, dan secangkir es buah—makanan sederhana, tapi sudah cukup untuk membuat hatinya lega.
Saat tiba di rumah, ayah dan ibu sudah duduk di meja makan, menanti. Dani masih kecil, matanya berbinar melihat apa yang dibawa Nada. “Nada, ini untuk buka puasa?” tanyanya dengan antusias.
Nada tersenyum, menatap ayah dan ibunya yang sudah kelelahan seharian. “Iya, untuk kita semua. Semoga bisa menguatkan kita untuk terus beribadah,” jawab Nada dengan mata berbinar.
Ayah mengangguk dan menatap Nada dengan penuh kebanggaan. “Kamu sudah bekerja keras, Nak. Terima kasih.”
Ibu juga tersenyum, meski wajahnya tetap terlihat letih. “Kamu memang anak yang luar biasa, Nada. Allah pasti akan memberimu balasan yang lebih baik.”
Nada hanya tersenyum dan duduk bersama mereka. Meskipun tubuhnya terasa lelah, hatinya terasa ringan. Ia merasa bahagia karena bisa memberikan sesuatu untuk orang yang ia cintai, meskipun itu hanya sekedar makanan berbuka puasa yang sederhana.
Malam itu, mereka berbuka puasa dengan penuh rasa syukur. Dalam keheningan malam, hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring dan suara tawa ringan Dani yang membuat suasana semakin hangat. Nada tahu, ini adalah kebahagiaan sederhana yang tak bisa dibeli dengan uang.
“Satu hari nanti, aku akan memberi lebih dari ini, untuk kalian semua,” bisik Nada dalam hati, menatap ayah dan ibunya yang sedang menikmati makanan dengan senyum tulus.
Perjalanan yang panjang di bawah terik matahari, dalam lelah yang tak terlihat, telah membuahkan hasil. Namun, bagi Nada, ini baru awal. Seperti Ramadhan yang mengajarkan kesabaran dan perjuangan, Nada akan terus berusaha—untuk keluarga, untuk cinta, dan untuk hidup yang lebih baik.
Penulis: Albii