
Kata orang, wanita itu sulit dimengerti. Memahami wanita seperti memecahkan teka-teki. Namun ini bukan tentang perasaannya, tapi darahnya. Problematika haid dan istihadhah adalah salah satunya. Bahkan tidak semua wanita mampu memahaminya sendiri, apalagi laki-laki. Bagi pengkaji masalah ini, tentunya tahu betul betapa rumitnya masalah ini. Sehingga membutukan ketelitian dan kedalaman perhitungan dan analisa.
Urgensi ilmu ini tidak diragukan lagi. Banyak ulama yang memberikan pendapatnya terkait pentingnya mempelajari ilmu ini. Diantaranya Imam Haramain, beliau berkata;
لاينبغي للناظر في احكام الاستحاضة ان يضجر من تكرير الصور واعادتها في الابواب
Artinya: “Tidak patut bagi pengkaji hukum-hukum istihadhah untuk merasa jenuh mengulang-ulang kasus dan mengulanginya dalam beberapa bab.”
Demikian juga Imam an-Nawawy dalam kitab al-Majmu’ mengatakan, haid dan istihadah itu terkait erat dengan banyak bidang ibadah seperti bersuci, membaca Al-Qur’an, puasa, shalat, i’tikaf, status baligh, jima’ (hubungan suami istri), talak, iddah, dan lain-lain.
Maka wajar jika ilmu ini mendapat perhatian dari para ulama. Terkait hal ini, Imam Muhammad as-Syarbini dalam kitab Mugni al-Muhtaj telah mewanti-wanti para wanita dengan mengatakan,
خَاتِمَةٌ: يَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ تَعَلُّمُ مَا تَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ أَحْكَامِ الْحَيْضِ وَالِاسْتِحَاضَةِ وَالنِّفَاسِ، فَإِنْ كَانَ زَوْجُهَا عَالِمًا لَزِمَهُ تَعْلِيمُهَا، وَإِلَّا فَلَهَا الْخُرُوجُ لِسُؤَالِ الْعُلَمَاءِ بَلْ يَجِبُ، وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ مَنْعُهَا إلَّا أَنْ يَسْأَلَ هُوَ وَيُخْبِرَهَا فَتَسْتَغْنِيَ بِذَلِكَ
Artinya: “Wajib bagi wanita untuk mempelajari ilmu yang ia butuhkan, yakni ilmu tentang hokum-hukum haid, istihadhah, dan nifas. Apabila suaminya pintar, maka wajib bagi sang suami untuk mengajari istrinya. Jika tidak, maka diperbolehkan bagi sang istri keluar rumah untuk bertanya kepada para ulama, bahkan wajib baginya keluar rumah. Dan haram bagi suaminya untuk mencegahnya. Kecuali jika suaminya berkenan bertanya kepada ulama untuk kemudian diberitahukan kepada sang istri, dan istinya merasa puas dengan itu.”
Diantara masalah yang tidak popular di kalangan wanita adalah kewajiban qodho’ sholat ketika haid itu datang atau haid itu selesai. Yang dalam istilah fiqih disebut dengan maji’ul maani’ dan zawaalul mani’. Kata mani’ dalam hal ini diartikan sesuatu yang menghalangi sah nya sholat seperti haid, nifast, gila, kafir, shobi (belum baligh).
Jika seorang wanita haid atau nifas di awal waktu sholat atau di pertengahan waktu, dan haid atau nifas tersebut menghabiskan sisa waktu yang ada, maka wajib baginya mengqodho’ sholat tersebut setelah suci dari haid atau nifas (jika ia belum melakukannya). Dengan syarat ia menjumpai kadar waktu yang memungkinkannya untuk melakukan bersuci dan sholat.
Contoh kasus, (a) Seorang wanita mengalami haid jam 12.00 siang (pas azan zuhur), dan dia belum melaksanakan sholat zuhur, maka setelah ia suci ia tidak diwajibkan mengqodho’ sholat zhuhur. Karena waktu tersebut tidak cukup memungkinkan untuk melakukan bersuci dan sholat (2) Jika seorang wanita mengalami haid jam 2 siang, dan dia belum melaksanakan sholat zuhur, maka setelah suci ia wajib mengqodho sholat zuhurnya.
Kemudian, jika darah haid atau nifas berhenti sebelum habisnya waktu sholat, meskipun sangat sebentar (kira-kira takbirotul ihrom), maka wajib melaksanakan sholat tersebut baik secara ada’ maupun qodho’ dengan syarat mani’ lain tidak kembali datang pada waktu yang memungkinkannya melakukan bersuci dan sholat.
Kemudian, wajib pula mengqodho’ sholat sebelumnya jika sholat tersebut bisa dijama’ dengan syarat mani’ lain tidak kembali datang pada waktu yang memungkinkannya melakukan bersuci dan dua shalat fardhu.
Contoh kasus, (a) Seorang wanita mengetahui darah haidnya berhenti di jam 5 sore, maka wajib baginya untuk melaksanakan sholat asar sekaligus mengqodho’ sholat zhuhur. Karena sholat asar bisa dijama’ dengan sholat zhuhur dan waktu yang tersisa memungkinkannya melakukan bersuci dan dua sholat tersebut. (2) Seorang wanita mengetahui darah haidnya berhenti di jam 5 pagi, maka wajib banginya untuk melaksanakan sholat subuh saja, tanpa harus mengqodho’ sholat isya’. Karena sholat subuh tidak bisa dijama’ dengan sholat isya’. (3) seorang wanita mengetahui darah haidnya berhenti di jam 14.55 (5 menit sebelum masuk waktu sholat ashar), maka wajib baginya untuk melaksanakan sholat asar saja, tanpa mengqodho’ sholat zuhur meskipun sholat asar bisa dijama’ dengan sholat zuhur. Karena waktu 5 menit tidak memungkinkannya melakukan bersuci dan dua sholat fardhu.
Kebanyakan orang awam tidak begitu memperhatikan hal ini. Mereka menganggap tidak ada kewajiban melakukan solat zhuhur sama sekali baik datangnya haid jam 12 atau jam 2 siang (dalam kasus ja’a al-mani’). Apalagi dalam masalah hilangnya mani’ mereka tentunya akan berfikir bahwa untuk apa mengqodho’ sholat sebelumnya, toh pada saat itu darah haidnya masih keluar kan? Wallahu a’lam.
Referensi:
Al-Inba’, Muadz Ibn Fadhil
Al-Majmu’, Yahya Ibn Syarof an-Nawawi
Mugni al-Muhtaj, Khatib as-Syarbini
Ibanah wa al-Ifadhah, Abdurrahman Ibn Abdullah Ibn Abdul Qadir as-Segaf
Penulis: Umu Salamah, Pengajar di Pesantren Raudhatul Ulum Pati.