Seoranh ayah bersama anak lelakinya. (sumber: disdikporabuleleng)

Mungkin sebagian dari kita menganggap hanya sosok ibu merupakan manusia yang paling susah menjalani kehidupan rumah tangga. Sebagian dari kita berpikir karena perjuangan ibu banyak yang terlihat seperti mengandung, menyusui, merawat anak, mengurus rumah tangga, dan lain sebagainya. Sedangkan sosok ayah hanya mencari nafkah, dan terkadang kita jumpai banyak sosok ibu pun juga mencari nafkah untuk kebutuhan rumah dan bisa tercukupi tanpa adanya kekurangan uang.

Dalam hal ini, sebenarnya sifat alami ibu dari perempuan itu fitrah. Kita perhatikan, jika saat anak lahir secara otomatis hati perempuan akan berubah. Saat mendengar tangisan bayi, hatinya secara tidak langsung akan terketuk dan memecahkan emosinya. Perempuan (yang juga ibu itu) akan tersadar bahwa dia sudah menjadi ibu, dan sifat keibuan lambat laun akan tercipta dalam dirinya. Contoh sederhana, misalkan yang dulunya pemalas untuk bangun pagi, maka lambat laun akan rajin bangun pagi untuk merawat dan mengasuh anaknya.

Namun jika Ayah? Tak semua Ayah bisa langsung sadar bahwa jika dia sudah berganti peran. Terkadang membutuhkan 1 atau 2 hari untuk bisa mengerti bahwa dia sudah menjadi Ayah dan memiliki tanggung jawab yang ekstra dari sebelumnya. Dan mengapa Ibu dan Ayah itu berbeda? Karena untuk perasaan Ibu itu merupakan fitrah yang kuat. Namun perasaan Ayah menjadi Ayah itu proses yang bisa terjadi melalui adaptasi dan pembelajaran. Perlunya latihan untuk menjadi sosok Ayah, dan sifat itu perlu dicontohkan serta dibangun.

Baca Juga: Prinsip Perkembangan dan Peran Orang Tua dalam Parenting Modern

Dan itulah mengapa dalam Al-Qur’an isinya terdapat banyak dialog Ayah ke Anak daripada dialog Ibu ke Anak. Berikut ini terdapat contoh dari QS. Al-Baqarah ayat 132;

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَۗ 

“Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”

Dari ayat tersebut bahwa Nabi Ibrahim berkata begitu kepada anak-anaknya yakni Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Dan Nabi Ya’qub pun begitu berkata demikian kepada anak-anaknya yakni Nabi Yusuf dan 11 saudara-saudaranya.

Dalam hal tersebut sang Ayah menyampaikan nasihat kepada anak-anaknya, isi pelajarannya sama. Namun coba kita perhatikan, apakah kualitas anak-anak mereka sama? Jawabannya tidak. Nabi Yusuf dengan 11 saudaranya sangat berbeda. Pun demikian dengan Nabi Ismail dan Nabi Ishaq juga memiliki karakter berbeda. 2 generasi dari Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub pun adalah 2 generasi yang berbeda. Namun mengapa isi pesannya sama?

Itu karena untuk memberikan pembelajaran bagi kita, terlebih khusus untuk para ayah zaman sekarang. Karena pelajaran dan nasihat sejati itu bukan hanya untuk anak-anak yang patuh dan pintar. Namun untuk setiap anak dengan berbagai karakternya, meskipun anak itu bandel, nakal, susah dinasehati, dan sebagainya. Sosok ayah harus tetap bicara memberikan nasehat kepada anak-anaknya. Ayah harus tetap mendidik, memberikan nasehat meskipun sibuk dengan pekerjaan luarnya.

Baca Juga: Ilmu Parenting Ala Rasulullah SAW

Seorang ayah pun harus menjadi teladan bagi anak-anaknya. Karena Ayah itu bukan sekadar mencukupi kebutuhan materi dan membesarkan anak saja, namun juga mengajarkan kepada anaknya bagaimana cara menjadi ayah yang baik, supaya nanti saat dia mempunyai anak sendiri, dia tau caranya hadir sebagai sosok Ayah sejati menjadi imam bagi keluarga dan memberikan banyak hikmah. 

Tugas sosok ayah memang sebenarnya berat, dengan tanpa mengurangi kemuliaan perempuan, namun itulah keutamaan menjadi ayah. Dan kita ketahui nama anak pun disematkan atau dinasabkan dari ayahnya dengan sambungan Bin dan Binti, secara otomatis tanggung jawabnya pun berat.

Sejatinya, ayah yang baik itu bukan hanya meninggalkan warisan saja, namun juga mewariskan cara menjadi ayah. Bukan menjadi guru, bukan ustadz, bukan kiai. Tetapi menjadi sosok ayah bagi anak itu sendiri. Menjadi rumah yang ternyaman. Menjadi ayah pun perlu proses belajar, cobalah meluangkan waktu, menunggu momen, lalu bicara dengan penuh hikmah dengan anak-anakmu, agar anak bisa menangkap dan meresapi setiap makna yang disampaikan dari sang ayah.



Penulis: Amalia Dwi Rahmah, Pegiat Literasi
Editor: Rara Zarary