
Oleh: KH. Musta’in Syafii
اِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه اَللهُمّ صَلّ وَسَلّمْ عَلى سيّدنا مُحَمّدٍ وَعَلى آلِهِ وِأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَسْلِيمًا كَثِيْرًا
اتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَععَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
أُو۟لَـٰۤىِٕكَ ٱلَّذِینَ نَتَقَبَّلُ عَنۡهُمۡ أَحۡسَنَ مَا عَمِلُوا۟ وَنَتَجَاوَزُ عَن سَیِّـَٔاتِهِمۡ فِیۤ أَصۡحَـٰبِ ٱلۡجَنَّةِۖ وَعۡدَ ٱلصِّدۡقِ ٱلَّذِی كَانُوا۟ یُوعَدُونَ
Ketika Allah memanggil orang beriman memang hanya orang beriman saja yang bisa diajak bicara oleh Tuhan. Sehingga di Al-Qur’an tidak ada kata Ya Ayyuhalladzina Kafaru, dalam konteks diajak bicara oleh Tuhan. Hanya sekali di Al-Qur’an kata Ya Ayyuhalladzina Kafaru dengan konteks cemooh Allah kepada orang kafir ketika nanti sudah di Neraka. Kata panggilan ini tidak diantar dengan kata lain seperti qul, karena beberapa ayat lain ada yang menggunakan pengatar Qul, Ya Ayyuhalladzina Amanu ada juga yang langsung Ya Ayyuhalladzina Amanu.
Kalau ada pengantar qul, berarti ada perantara penyampai pesan (Hadraturrasul Muhammad SAW). Sementara kalau tanpa perantara qul, maka artinya Allah ingin mengajak berbicara kita secara langsung. Sehingga dimensi perintah-Nya menggunakan sighat mabni majhul—kutiba (diwajibkan), bukan perintah “Kami mewajibkan kamu”.
Menurut teori ilmu Nahwu, ada dua pilihan subjek/fa’il dari fi’il mabni majhul itu bisa disandarkan kepada fa’il. Artinya bahwa perintah puasa itu adalah instruksi Tuhan. Sementara pilihan kedua adalah subjek dari mabni majhul itu disandarkan kepada maf’ul. Artinya yang mewajibkan puasa itu hakikatnya diri kita sendiri.
Jadi kita tinggal memilih memakai prespektif yang mana. Jika memilih prespektif bahwa puasa itu perintah Allah, maka mungkin saja orang yang berpuasa itu tidak terlalu serius. Jika memilih prespektif bahwa puasa itu kewajiban diri sendiri, maka seseorang mungkin tidak cukup hanya berpuasa Ramadhan saja. Kata puasa itu disebut sembilan kali dalam Al-Qur’an; 8 menggunakan kata al-siyam, 1 menggunakan kata al-saum. Perbedaannya al-Siyam berarti yang ditahan adalah perut, sementara al-saum itu yang ditahan adalah mulut. Sebagaimana dalam Al-Qur’an:
إِنِّی نَذَرۡتُ لِلرَّحۡمَـٰنِ صَوۡمࣰا فَلَنۡ أُكَلِّمَ ٱلۡیَوۡمَ إِنسِیࣰّا
“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (Surat Maryam: 26)
Seseorang yang mampu melaksanakan al-siyam sekaligus al-shaum, maka ia akan mendapat prediket cumlaude dari Tuhan di akhir Ramadhan. Yaitu puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, melainkan sekaligus menahan mulut kita untuk tidak berbicara yang tidak bermanfaat, apalagi maksiat. Harusnya kita malu kepada hewan-hewan yang mengerti arti puasa. Lihat seekor ulat, siapa yang tidak jijik dengan ulat. Akan tetapi ia puasa mengurung diri dalam kepompong, hingga akhirnya sekian hari menjadi kupu-kupu yang warna-warni yang menarik perhatian.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ
وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَاسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Transkip: Yuniar Indra Yahya