Ilustrasi kesendirian seorang anak di perantauan. (sumber: biliksastra)

Suara deru angin terdengar mengusap jendela kamar dengan lembut. Di ujung telepon, suara adik terakhirku, Rahima, terputus-putus, seperti cemas menyembunyikan tangis.

“Aku… aku nggak tahu harus ngomong apa, Kak,” katanya dengan suara parau. “Ibu… ibu… sudah tiada, Kak.”

Aku terdiam, tubuhku merasa kaku. Hidungku seakan tersumbat, dan rasa sesak itu mulai menekan dadaku. Telingaku berdering, namun kata-kata adikku hanya terdengar samar. Aku tahu ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang aku tak pernah inginkan.

“Rahima…” aku berusaha menahan suara, tapi tetap saja ada isak yang keluar. “Apa… bagaimana bisa? Ibu kenapa?”

“Sejak beberapa hari lalu, Kak. Ibu sakit. Nggak ada yang tahu betapa sakitnya. Kami… kami nggak bisa berbuat apa-apa. Tapi… Kak, kami butuh kamu. Kenapa kamu nggak pulang, Kak?” Rahima menangis di ujung sana, suaranya penuh dengan kepedihan yang dalam.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Setiap kata yang diucapkannya semakin menusuk hatiku. Pulang? Aku ingin sekali, Rahima. Tapi pekerjaan ini, tanggung jawab yang ada di sini, membuatku terikat. Aku tak bisa meninggalkan semuanya begitu saja.

“Maafkan Kakak, Rahima… Aku nggak bisa langsung pulang. Pekerjaan ini jika ditinggal dadakan dengan alasan apapun, akan memiliki konsekuensi dipecat. Kamu tahu itu, kan?” aku berusaha menjelaskan, meskipun rasanya seperti ada batu besar yang menghalangi mulutku.

“Pekerjaan? Kamu lebih memilih pekerjaan daripada ibu yang sudah meninggal?” Terdengar suara amarah adikku. “Kakak… Ibu sudah nggak ada lagi! Kamu nggak tahu, Kak. Ibu selalu menunggu kamu pulang. Setiap malam dia selalu bilang, ‘Kapan anakku pulang?’ Sekarang, Ibu sudah tiada, dan kamu… kamu nggak ada di samping kami!”

Suara itu membuat dadaku semakin sesak. Rahima, adikku yang paling kecil, selalu menjadi pengingat bagi aku yang jauh di sini. Bagaimana bisa aku menjelaskan perasaan bersalah yang kini menggerogoti diriku? Ibu yang telah merawatku, mengorbankan segalanya untukku, kini telah tiada, dan aku tak bisa ada di sisinya di detik-detik terakhir kehidupannya.

“Aku… aku ingin pulang, dek…” akhirnya aku mengatakannya dengan suara parau. “Tapi aku nggak bisa meninggalkan pekerjaan ini begitu saja. Kamu tahu kan, aku nggak punya banyak waktu, aku butuh uang untuk hidup kita di sini. Aku… aku hanya ingin tetap bisa memberi kalian makan di sana…”

Terdengar hening beberapa detik. Aku bisa merasakan isak tangis Rahima semakin keras. “Ibu nggak butuh uang lagi, Kak. Ibu nggak butuh apa-apa lagi. Ibu cuma butuh kamu di sampingnya, Kak. Itu aja.”

Suara itu membuat hatiku hancur. Aku tahu, dalam hidupku, tidak ada yang lebih penting daripada keluarga. Namun, realita kehidupan memaksaku untuk memilih antara pekerjaan dan keluarga. Aku selalu beralasan bahwa aku bekerja keras untuk masa depan kami, agar kelak kami bisa hidup lebih baik, tanpa kekurangan. Tapi kenapa, dalam momen yang paling penting, aku malah tak ada di sana untuk ibu?

Sambil menutup telepon, aku berusaha menenangkan diriku. Namun, segala yang ada di pikiranku hanyalah gambar ibu yang selalu tersenyum, menyambutku pulang dengan tangan terbuka. Aku teringat betapa ibu selalu berkata, “Jaga dirimu di perantauan, Nak. Ibu akan selalu ada di sini menunggu kamu pulang.”

Namun, kini, ibu tak bisa menunggu lagi.

Sejak saat itu, aku semakin merasa terasing. Hidupku di negeri orang ini seakan tak berarti lagi. Setiap hari, pekerjaanku yang menumpuk hanya semakin membuatku terhimpit. Setiap suara yang datang dari telepon, setiap pesan dari keluarga di kampung halaman, hanya semakin mengingatkan betapa jauhnya aku dari rumah. Semua hal itu semakin memperburuk perasaanku. Pekerjaan yang kuterima, yang dulu aku anggap sebagai pencapaian, kini berubah menjadi beban yang tak bisa aku angkat.

Sementara itu, keluarga di kampung tak berhenti mencerca. Mereka tak mengerti mengapa aku tetap di sini, jauh dari ibu saat ia meninggal. Beberapa kali aku mendapat pesan dari paman dan bibi yang mengingatkanku tentang betapa tak adilnya aku terhadap ibu. Mereka tak tahu bagaimana beratnya aku di sini, menanggung beban pekerjaan yang seolah tak ada habisnya. Tapi, bagi mereka, keluarga adalah segalanya. Tidak ada alasan yang bisa membenarkan kepergianku.

Aku ingat pesan terakhir ibu yang datang beberapa minggu lalu, sebelum ia sakit. “Jangan terlalu keras pada dirimu, Nak. Jangan sampai kamu melupakan kami. Pekerjaan itu penting, tapi kebersamaan jauh lebih penting.”

Setiap kali mengingat pesan itu, hatiku semakin terasa perih. Aku merasa bersalah, merasa gagal sebagai anak. Aku membayangkan ibu yang kini tak bisa lagi memberikan nasihat, tak bisa lagi menunggu kepulanganku, dan aku hanya bisa menyesali semua keputusan yang pernah kuambil.

*****

Hari-hari berlalu, dan aku tetap di sini, bekerja tanpa henti. Kadang, aku merasa begitu kosong. Meskipun aku duduk di ruang yang penuh dengan orang, aku merasa sendiri. Semua ini terasa sia-sia. Aku berjuang untuk apa? Untuk siapa? Jika yang paling aku cintai sudah pergi dan aku tak bisa ada di sisinya.

Suatu malam, ketika aku kembali ke kamar sehabis bekerja, aku membuka lemari dan melihat foto ibu yang masih tersimpan rapi di saku jas. Aku menatapnya lama, mencoba mencari ketenangan dalam senyumnya. Lalu, aku teringat ucapan terakhir Rahima sebelum telepon kami putus: “Kak, kita semua butuh kamu. Ibu butuh kamu.”

Aku menatap langit malam melalui jendela kamar. Cahayanya redup, tapi aku merasa ada sebuah panggilan di sana. Mungkin aku tak bisa membawa ibu kembali. Namun, aku bisa memperbaiki hal-hal yang masih bisa kuperbaiki. Aku bisa kembali ke rumah, mengubur semua penyesalan ini, dan berusaha menjadi anak yang ibu inginkan.

Malam itu, aku memutuskan untuk mengambil cuti, mengatur perjalanan pulang, meskipun pekerjaan masih menunggu. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, tapi satu hal yang pasti—aku tak akan lagi membiarkan penyesalan ini menguasai diriku. Aku akan kembali ke kampung, ke rumah yang penuh kenangan dengan ibu, untuk memberi penghormatan terakhir yang seharusnya kuberikan sejak dulu. Dan meski ibu tak bisa menunggu lebih lama, aku tahu, di tempat yang lebih baik, dia akan selalu ada di hatiku.



Penulis: Ummu Masrurah