Seorang karyawan dan atasan di sebuah ruang kerja. (sumber: Ist)

Nina duduk di meja kerjanya, memandang layar komputer yang terus-menerus memantulkan kilau yang seolah menghukum matanya. Tumpukan laporan yang harus diselesaikan dalam waktu singkat membuatnya merasa seolah tak ada ruang untuk bernapas. Ia mengerutkan kening, jari-jarinya menari-nari di atas papan ketik, mengoreksi angka demi angka dalam spreadsheet yang seharusnya sudah selesai sejak dua jam yang lalu.

Bukan karena ia tidak bisa mengerjakan tugasnya dengan baik. Justru sebaliknya, Nina tahu betul dirinya adalah salah satu yang terbaik di tim ini. Tetapi, semua itu seperti tidak dihargai.

“Ini terlalu banyak, Nina. Harusnya kamu bisa lebih cepat lagi,” kata Rina, atasannya yang duduk di meja seberang.

Rina adalah tipe perempuan yang selalu tampak rapi, dengan senyum manis yang tak pernah lepas dari bibirnya, meskipun seringkali ia merasa lebih superior dari yang lain. Setiap kali Nina memberikan laporan, Rina selalu bisa menemukan celah untuk mengkritik, meski celah itu kadang tak terlihat oleh mata orang lain.

Nina menahan napas, berusaha menenangkan diri. “Maaf, saya akan mencoba lebih cepat,” jawabnya dengan suara yang agak terpaksa.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Rina tersenyum puas. “Semoga kali ini kamu bisa lebih efisien. Jangan sampai terlewat, ya.”

Nina tahu, apa yang Rina katakan bukan sekadar saran. Itu adalah bentuk ketidakpuasan yang selalu dilontarkan setiap kali Nina tidak bisa memenuhi standar yang mereka tetapkan. Di luar sana, rekan-rekannya sering membicarakan betapa “beruntungnya” Nina bisa bekerja dengan orang seperti Rina. Namun, Nina merasakan hal yang berbeda. Ia merasa terjebak dalam rutinitas yang tak pernah memberi ruang untuk kemajuan.

Sebelumnya, Nina selalu berusaha tampil maksimal, bekerja keras tanpa henti, berharap suatu hari ia bisa mendapatkan perhatian yang pantas. Tetapi kenyataan berkata lain. Rina semakin menjadi, semakin menuntut lebih tanpa memberi penghargaan. Bahkan, saat Nina memberikan ide-ide inovatif dalam rapat, seringkali ide itu malah diambil alih tanpa diberi pengakuan sedikit pun. Seakan-akan Nina hanya ada untuk menjadi bayangan di belakang atasan yang tak pernah merasa cukup.

Namun, bukan hanya Rina yang membuat Nina merasa terpojok. Di sisi lain, ada Dedi, rekan seprofesinya yang juga mulai menunjukkan sikap tak sportif. Dedi selalu berusaha mencuri perhatian Rina dengan cara-cara yang halus namun penuh perhitungan. Ia tahu bagaimana mengatur strategi untuk tetap berada di garis depan, meski sering kali mengorbankan integritas kerja.

Hari itu, Nina baru saja menyelesaikan presentasi yang sangat ia persiapkan dengan baik. Ia berharap kali ini, setidaknya Rina akan mengakui usahanya. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.

“Dedi, kamu punya ide untuk menyempurnakan presentasi ini?” tanya Rina, langsung mengalihkan perhatian ke Dedi yang duduk di sebelah Nina.

Nina merasa jantungnya terhenti sejenak. Dedi, dengan wajah datarnya, mulai membuka mulut dan menawarkan beberapa perbaikan yang menurut Nina tidak terlalu signifikan. Namun, Rina seolah terpesona dengan setiap kata yang keluar dari mulut Dedi, seolah-olah Dedi adalah pahlawan yang datang untuk menyelamatkan presentasi itu.

“Bagus sekali, Dedi. Benar-benar ide yang brilian!” puji Rina.

Nina menahan napas. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ide itu bukan milik Dedi, melainkan hasil dari kerja kerasnya selama berhari-hari. Namun, ia sadar, siapa yang akan mendengarkan suara seorang Nina yang selalu berada di bayang-bayang orang lain?

***

Malam itu, Nina pulang dengan perasaan berat. Ia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Semua kerja kerasnya seolah sia-sia. Di luar, hujan turun deras, seakan ikut merasakan kesedihannya. Dengan langkah yang lesu, Nina memasuki apartemennya yang sepi. Tidak ada yang menunggu di rumah. Hanya dirinya sendiri dan lonjakan rasa frustasi yang semakin besar.

Sesaat, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Rina masuk.

“Nina, ada hal penting yang perlu kamu perbaiki. Laporan bulan ini banyak yang tidak sesuai dengan standar. Harus lebih diperhatikan lagi.”

Pesan itu bagaikan cambukan yang semakin membuat luka di hati Nina semakin dalam. Ia sudah bekerja mati-matian, tetapi selalu ada saja yang kurang. Selalu ada yang mengkritik. Selalu ada yang menyalahkan.

Di tengah kebingungannya, Nina memutuskan untuk berbicara dengan Dedi. Mungkin, hanya dengan cara itu ia bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Keesokan harinya, mereka bertemu di ruang istirahat. Nina menghadap Dedi, mencoba untuk menyembunyikan amarah yang membakar hatinya.

“Dedi, kamu tahu kan, aku sudah bekerja keras untuk proyek ini. Tapi kenapa semua ide dan usahaku seperti hilang begitu saja?” tanya Nina dengan nada yang datar.

Dedi menatap Nina, sedikit terkejut. “Kamu nggak perlu khawatir. Semua orang di sini tahu kok siapa yang bekerja keras. Hanya saja, kamu harus lebih pintar dalam bermain. Di dunia kerja, kita tidak hanya butuh kerja keras, tapi juga cara untuk dilihat.”

Nina terdiam. Kata-kata Dedi seolah menamparnya. Benarkah? Apakah selama ini ia hanya bekerja tanpa memikirkan strategi untuk membuat orang melihatnya? Apakah dunia kerja memang seperti ini?

***

Hari-hari berikutnya berlalu begitu saja. Nina merasa semakin terasing. Rina terus memberikan tekanan, dan Dedi semakin tampak seperti pahlawan yang selalu berhasil mencuri perhatian. Sementara Nina, meski kerja kerasnya tak pernah berhenti, semakin merasa tenggelam dalam ketidakadilan.

Namun, sesuatu dalam diri Nina berubah. Ia tidak bisa terus-terusan berada dalam bayang-bayang. Ia memutuskan untuk berbicara dengan HRD, menyampaikan segala hal yang ia rasakan. Tanpa ragu, Nina menulis surat pengaduan yang jujur dan terbuka.

Ketika surat itu sampai di meja Rina, ada sebuah perubahan kecil yang terasa. Di dalam rapat berikutnya, Rina berbicara dengan nada yang sedikit berbeda. “Nina, kamu punya potensi besar. Kita harus memperhatikan lebih banyak lagi.”

Mungkin itu belum cukup. Tetapi bagi Nina, itu adalah langkah pertama menuju keadilan yang sudah lama ia tunggu.



Penulis: Albii