
Perintah beribadah dan minta pertolongan hanya kepada Allah dijelaskan pada surah Al-Fatihah/1 ayat 5:”Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan,” atau terjemahan lain: ”Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.”
Iyyaka merupakan obyek yang didahulukan untuk tujuan pembatasan, supaya tujuan pembicara terfokus pada apa yang hendak diutarakan. ”Hanya kepada Engkaulah kami beribadah,” yakni kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu dan kami tidak berserah diri kecuali kepada-Mu, dan ini merupakan kesempurnaan ketaatan. Secara lughawi, ibadah berarti ’ketundukan’. Dikatakan ”jalan diratakan” dan ”unta dijinakkan”, yakni dihinakan.
Ibadah menurut syara’ ialah suatu hal yang menyatukan kesempurnaan kecintaan, ketundukan, dan ketakutan. Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa surah Al-Fatihah merupakan rahasia Al-Qur’an, dan rahasia Al-Fatihah ialah ayat ”Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”. Penggalan pertama, ”Hanya kepada Engkaulah kami beribadah”, merupakan penyucian dari kemusyrikan. Dan yang kedua, yaitu ”Hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan”, merupakan penyucian dari upaya, usaha, dan kekuatan, lalu menyerahkan segalanya kepada Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung.” (Ar-Rifa’i: 62: 2002).
Pengabdian bukan sekadar ketaatan. Seseorang dapat saja tunduk dan taat kepada sesuatu, namun apa yang dilakukannya belum dapat dinamakan ibadah atau pengabdian. Pengabdian adalah suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap apa (siapa) yang kepadanya ia tunduk, (rasa) yang tidak diketahui sumbernya, serta akibat adanya keyakinan bahwa Dia (yang kepada-Nya seseorang itu tunduk) memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau oleh arti dan hakikatnya. Maksimal yang dapat diketahui adalah bahwa Dia menguasai seluruh jiwa raganya, namun Dia berada di luar jangkauannya (Shihab, 32: 1997).
Baca Juga: Mengenal Surah Al-Fatihah Secara Komprehensif (1)
Didahulukannya kata iyyaka atas kata na’budu dimaksudkan untuk memberikan penekanan terhadap bentuk dan hakikat pengabdian tersebut. Penekanan ini mengantar kepada makna “pengkhususan” dalam arti “hanya kepada-Mu kami mengabdi”. Anda dapat merasakan dua redaksi berikut: “Kami mengabdi kepada-Mu”, dan “hanya kepada-Mu kami mengabdi”. Redaksi pertama walaupun telah menyatakan bahwa pengabdian tertuju kepada-Nya, namun tidak tertutup kemungkinan untuk adanya pengabdian lain yang tertuju kepada pihak lain. Sedang redaksi kedua yang merukan redaksi ayat ini, menyatakan bahwa pengabdian semata-mata hanya tertuju kepada-Nya. Dan dengan demikian, tidak mungkin ada pihak lain yang ditaati, ditakuti, diyakini keagungan dan kebesarannya kecuali Dia semata (Shihab, 33: 1997).
Ayat satu sampai ayat lima surah Al-Fatihah menampilkan inti ajaran aqidah atau iman dalam bentuk pernyataan, yang menyatakan bahwa segala sesuatu harus dimulai dengan nama Allah yang bersifat Mahapemurah dan Mahapenyayang, segala puja dan puji dalam bentuk apapun dan untuk siapapun pada hakikatnya adalah milik Allah, karena segala apa yang dimiliki dan didapati makhluknya adalah datangnya dari Allah, yang memiliki segala sifat kasih sayang, Tuhan semesta alam, Penguasa hari akhir yang akan datang, Yang Esa berhak disembah dan Yang Esa pula tempat meminta bantuan perlindungan (A Hasjmy, 1: 1984).
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa umat Islam harus berupaya memahami dengan baik kandungan surah Al-Fatihah, terutama pada ayat 5 yang merupakan intisari kehidupan terkait dengan keimanan kepada Allah. Di mana sudah selayaknyalah semua manusia hanya beribadah kepada Allah SWT, tidak boleh menyukutukan Allah dengan sesuatu apapun. Hal ini bisa tercapai ketika manusia mampu menggunakan akal sehatnya dengan baik dan memahami dengan baik pula terhadap kandungan ayat ini, sehingga manusia dalam hal ini diwajibkan untuk banyak belajar.
Sebuah koreksi membangun, sudahkah kita saat ini mampu membaca surah Al-Fatihah secara baik dan benar? Sudahkah surah Al-Fatihah kita bacakan dan talaqqikan kepada guru-guru Al-Qur’an kita? Sudahkah kita memahami kandungan surah Al-Fatihah dengan baik dan benar, terutama ayat lima ini? Tentunya bagi yang sudah mampu membacanya secara baik dan benar, serta memahaminya dengan baik dan benar, bersyukurlah kepada Allah. Bagi yang belum, maka segeralah untuk mentalaqqikan dan membacakan surah Al-Fatihah di hadapan guru-guru Al-Qur’an, agar ibadah shalat kita sempurna dan diterima Allah.
Kemudian selanjutkan perlu kita memahami, kekamian (kebersamaan) yang ditunjuk oleh ayat ini mengandung beberapa tujuan. Pertama, untuk menggambarkan bahwa ciri khas ajaran Islam adalah kebersamaan. Seorang muslim harus merasa dengan orang lain, tidak sendirian, atau dengan kata lain, setiap Muslim harus memiliki kesadaran sosial. Nabi Muhammad Saw., bersabda: “Hendaklah kamu selalu bersama-sama (bersama jamaah) karena srigala hanya menerkam domba yang sendirian.”
Baca Juga: Jaminan Keutuhan Pemeliharaan Kitab Suci Al-Qur’an (3)
Kesadaran akan kebersamaan ini bukan terbatas hanya antar sesama Muslim atau sebangsa, tetapi mencakup seluruh manusia. Kesadaran tersebut ditanamkan setiap pribadi, atau dasar pribadi bahwa seluruh manusia adalah satu kesatuan: “Semua kamu berasal dari Adam a.s, sedang Adam diciptakan dari tanah.” Rasa inilah yang menghasilkan “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sehingga pada akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh sementara ahli: “Seseorang yang diperkaya dengan kesadaran menyangkut keterikatan dengan sesamanya, tidak akan merasakan apa pun kecuali derita umat manusia, serta tidak akan berupaya kecuali mewujudkan kesejahteraan manusia. Ia akan berkawan dengan sahabat manusia seperti pengetahuan, kesehatan, kemerdekaan, keadilan, keramahan, dan sebagainya dan ia akan berseteru denga musuh manusia, seperti kebodohan, penyakit, kemiskinan, prasangka, dan sebagainya.
Kedua, berkaitan dengan bentuk ibadah yang seharusnya dilakukan oleh setiap Muslim, ibadah hendaknya dilaksanakan secara bersama, jangan sendiri-sendiri. Karena jika Anda melakukannya sendiri, maka kekurangan yang Anda lakukan langsung disoroti dan Anda sendiri yang mempertanggungjawabkannya. Tetapi bila Anda melakukannya secara bersama, maka orang lain yang bersama Anda akan menutupi kekurangan ibadah Anda. Dengan berjamaah, Anda bermohon kiranya kekeliruan Anda dimaafkan karena adanya hal-hal yang sempurna yang dilakukan oleh mereka yang bersama Anda itu.
Hal ini perlu kita renungkan, karena secara umum berjamaah hanya terbatas dalam rutinitas shalat berjamaah, tetapi belum berjamaah dalam menyelesaikan masalah kehidupan sosial masyarakat. Salah satu contoh yang nyata berjamaah di masjidil Haram Mekah dan Masjid Nabawi Madinah, berkumpul shalat berjamaah jutaan umat Islam, setelah itu bubar masing-masing sesuai dengan kegiatannya. Andaikata bisa sejenak dulu berkumpul menyampaikan permasalah yang dihadapi umat Islam saat ini, kemudian mencarikan solusi jalan keluarnya secara bersama, maka problem umat Islam dengan mudah dapat diselesaikan. Betapa indahnya kalau konsep ini bisa diwujudkan dalam memahami pesan surah Al-Fatihah ayat 5 ini.
Baca Juga: Memaknai Kandungan Basmalah dalam Kehidupan
Renungkan kembali firman Allah, yang berkaitan erat dengan surah Al-Fatihah ayat 5, berikut:
Surah Adz-Dzariyat/51
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q. S. Adz-Dzariyat/51” 56 – 58).
Surah Al-Bayyinah/98 ayat 5,
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (Q. S. Al-Bayyinah/98: 5).
Surah Al-An’am/6,
قُلۡ إِنَّنِي هَدَىٰنِي رَبِّيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ دِينٗا قِيَمٗا مِّلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۚ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٦١ قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ١٦٢ لَا شَرِيكَ لَهُۥۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ١٦٣
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Q. S. Al-An’am/6: 161 – 163).
Baca Juga: Mengenal Identitas Muslim Sejati Menurut Gus Nadirsyah Hosen
Dari beberapa penjelasan di atas, termasuk beberapa ayat Al-Qur’an yang terkait dengan surah Al-Fatihah/1 ayat 5 merupakan penguatan keimanan kita semua, bagaimana agar kita terus berupaya dan berusaha hanya beribadah kepada Allah dengan semurni-murninya.
Penulis: Dr. H. Otong Surasman, MA., Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta.