ilustrasi

Berpasang-pasangan merupakan salah satu fitrah umat manusia, dalam Islam diatur dalam hal pernikahan. Dalam pernikahan, ada janji yang bukan hanya antara mempelai lelaki dan wanita tetapi dengan Allah SWT., sampai-sampai Allah sendiri berfirman dalam al-Quran menyebut bahwa pernikahan merupakan mitsaqan ghalidha (janji yang agung). Hal ini menunjukkan betapa agungnya persatuan antaran lelaki dan wanita dalam ikatan yang sah secara agama.

Keharmonisan dalam rumah tangga di antara suami istri menjadi harapan setiap insan. Namun, hal ini tidak mesti terjadi dalam realita di lapangan. Ada beberapa kasus yang menyebabkan berpisahnya dua insan ini melalui jalur perceraian atau talak. Hukum talak dalam Islam sejatinya diperbolehkan, namun tidak disukai oleh Allah SWT. Imam Ibnu Majah meriwayatkan hadis dari Rasulullah sallallahu alaihi wasallam tentang masalah talak

حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيِّ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ

Katsir bin Ubaid Al Himshi telah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Khalid telah menceritakan kepada kami dari Ubaidullah bin Al Walid Al Washshafi dari Muharib bin Ditsar dari Abdullah bin Umar ia berkata, “Rasulullah bersabda, “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.[1]

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud No. 2178.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Maksud dari perkara yang halal namun dibenci bisa dipahami dari keterangan berikut

(أَبْغَضُ الْحَلَالِ) أَيْ أَنَّهُ تَعَالَى شَرَعَ وَوَضَعَ عَنْهُ الْإِثْمَ لِمَصَالِحِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ فِي ذَاتِهِ أَبْغَضَ لِمَا فِيهِ مِنْ قَطْعِ الْوَصْلَةِ وَإِيقَاعِ الْعَدَاوَةِ وَرُبَّمَا يُفْضِي إِلَى وُقُوعِ الطَّرَفَيْنِ فِي الْحَرَامِ وَلِذَلِكَ هُوَ أَحَبُّ الْأَشْيَاءِ إِلَى الشَّيْطَانِ فَيَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ تَرْكُ الْإِكْثَارِ مِنْهُ وَالِاقْتِصَارُ عَلَى قَدْرِ حَاجَتِهِ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ

“Halal yang paling dibenci” yaitu Allah SWT telah menetapkan dosa darinya demi kepentingan manusia, meskipun pada dasarnya hal tersebut dibenci karena dapat memutus hubungan dan menimbulkan permusuhan, dan mungkin dapat menyebabkan kedua belah pihak terjerumus ke dalam yang haram. Oleh karena itu, hal ini sangat disukai oleh setan. Maka sebaiknya manusia menghindari berlebihan dalam hal ini dan cukup sesuai dengan kebutuhan. Dan Allah SWT lebih tahu.[2]

Jadi menurut keterangan di atas bisa dipahami bahwa talak memang halal (boleh), namun resikonya bisa menimbulkan permusuhan antar dua keluarga atau terjerumusnya seseorang dalam maksiat setelah perceraian.

Dari penjelasan singkat di atas mengenai talak, muncul sebuah pertanyaan apakah talak ini merugikan pihak perempuan atau tidak. Secara kasat mata, talak atau cerai hanya merugikan satu pihak yakni wanita karena ia tidak punya otoritas men-talak tapi hanya bisa sebatas minta (gugat) cerai namun keputusan talak tetap di laki-laki. Tetapi ada beberapa kondisi talak yang sebenarnya menguntungkan pihak perempuan karena ada beberapa faktor, berikut penjelasannya

  1. Minta cerai karena tidak adanya nafkah

Seorang istri berhak menggugat cerai jika dalam kondisi ia tidak mendapatkan nafkah

أن الرجل إذا منع امرأته النفقة لعسرته وعدم ما ينفقه، فالمرأة مخيرة بين الصبر عليه وبين فراقه

Bahwa seorang pria jika tidak memberikan nafkah kepada istrinya karena kesulitan dan tidak memiliki apa-apa untuk diberikan, maka wanita tersebut memiliki pilihan antara bersabar terhadapnya atau berpisah darinya.[3]

  1. Adanya pelecehan baik fisik maupun verbal

(وَلَهَا) أَيْ لِلزَّوْجَةِ (التَّطْلِيقُ) عَلَى الزَّوْجِ (بِالضَّرَرِ) وَهُوَ مَا لَا يَجُوزُ شَرْعًا كَهَجْرِهَا بِلَا مُوجِبٍ شَرْعِيٍّ وَضَرْبِهَا كَذَلِكَ وَسَبِّهَا وَسَبِّ أَبِيهَا، نَحْوُ يَا بِنْتَ الْكَلْبِ يَا بِنْتَ الْكَافِرِ يَا بِنْتَ الْمَلْعُونِ كَمَا يَقَعُ كَثِيرًا مِنْ رَعَاعِ النَّاسِ

(Dan bagi istri) adalah (berhak untuk meminta cerai) dari suami (karena perlakuan yang menyakitkan), yaitu hal-hal yang tidak diperbolehkan secara syar’i, seperti mengabaikannya tanpa alasan yang syar’i, memukulnya, serta menghina dan mencela dia dan ayahnya, misalnya: ‘Wahai putri anjing, wahai putri kafir, wahai putri terkutuk,’ yang sering dilakukan oleh orang-orang tidak berpendidikan.[4]

Kondisi seperti contoh di atas memperbolehkan wanita untuk meminta cerai dengan suaminya. Pada situasi ini tentunya bukan bertujuan merugikan perempuan melainkan berusaha menyelamatkan ia dari keterpurukan apalagi kalau sampai ada kerugian fisik akibat di aniaya, lain halnya ketika menyangkut masalah nafkah (ekonomi) si istri ada pilihan lain dengan bersabar dengan kondisi tersebut sampai adanya jalan keluar berupa rizki dari Allah SWT.

Baca Juga: Membangun Keluarga Maslahat Perspektif Islam dan Tradisi Nahdlatul Ulama


[1] HR Ibnu Majjah No. 2018.

[2] As-Sindi, Muhammad bin Abdul Hadi, Hasyiah As-Sindi ‘ala Sunan Ibn Majah, 622/1

[3] Ibn Qudamah al-Maqdisi, Al-Mughni li Ibn Qudamah, 8/204.

[4] Muhammad bin Ahmad bin Arafah al-Dusuki, Hasyiah al-Dusuki ‘ala al-Sharh al-Kabir, 2/345.


Penulis: Nurdiansyah Fikri Alfani

Editor: Sutan Alam Budi