Sumber foto: rizensia.com

Oleh: Rasyida Rifa’ati Husna*

Salah satu tujuan penting dari dilaksanakannya shalat adalah dapat membuat seseorang memperoleh kemenangan dan kedudukan mulia di sisi Allah. Karena keagungan ibadah ini daripada yang lain, sampai-sampai Rasulullah harus mikraj ke sidrah al-muntaha dalam menjemput perintah shalat lima waktu untuk umatnya, walaupun generasi terdahulu juga telah disyariatkan kepadanya Ibadah shalat.

Karena kedudukannya yang agung tersebut, Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar ia dan keturunannya dimasukkan ke dalam golongan orang yang mendirikan shalat. Hal itu sebagaimana dikisahkan dalam Alquran surat Ibrahim ayat 40.

Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut yaitu, “Tuhanku yang selalu berbuat baik kepadaku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap melaksanakan secara benar, baik dan bersinambung dalam shalat.” (Tafsir al-Misbah, Jilid 7, h. 72) Menurut al-Qurthuby dalam tafsirnya, perintah shalat dalam Alquran selalu didahului dengan kata “aqimu” yang memiliki arti “bersinambung dan sempurna”. Sehingga perintah tersebut berarti “melaksanakannya dengan baik, khusyuk dan bersinambung sesuai dengan syarat dan sunnahnya.” (Tafsir al-Qurthubi, Juz 9, h. 887)

Shalat secara harfiah adalah doa yang dimunajatkan kepada Allah. Mufassirin mengatakan, orang yang melaksanakan shalat adalah mereka yang butuh kepada Allah serta mendambakan bantuan-Nya. Oleh sebab itu shalat bukan hanya sebagai kewajiban, tapi kebutuhan bagi setiap muslim. (Lentera Alquran, h. 133)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Senantiasa Memperbaiki Shalat

Shalat merupakan ibadah yang sangat penting karena di dalam shalat terjalin hubungan antara hamba dengan RabbNya. Selain itu shalat merupakan puncak dari semua ibadah dan menjadi tiang agama, serta amalan yang pertama kali diperhitungkan di akhirat kelak. Jadi, memperbaiki shalat sesuai tuntunan Islam menjadi hal yang sangat penting.

Habib Hasan bin Sholeh al-Bahar dalam kitabnya Risalah Shalat al-Muqarrabin, Nabi Ibrahim dalam usianya yang sudah renta antara 70-80 tahun tetap memohon bantuan Allah agar dirinya dapat mendirikan shalat dengan benar. Sekelas Nabi Ibrahim saja dengan kerendah hatiannya berdoa kepada Allah yang demikian. Apalagi kita yang shalatnya cacat dan dalam keadaan yang masih banyak kemasukan kotoran hati ketika mengerjakannya.

Sebagaimana Nabi Ibrahim, seharusnya seorang muslim belajar kepadanya bahwa jangan pernah merasa telah sempurna karena sudah mengerjakan shalat, namun harus terus senantiasa memperbaiki shalat baik dalam gerakan, penghayatan, dan menginternalisasikan nilainya dalam laku kehidupan. Sebab dalam shalat tidak ada kebaikan yang luput darinya.

Nilai kebaikan dari Shalat

Imam al-Ghazali mengutip sabda Rasulullah, “Sesungguhnya shalat adalah ketundukan, ketawadukan, kerendah hatian, kesedihan, dan penyesalan. Letakkanlah kedua tanganmu dan berkatalah: Allah, Allah. Orang yang tidak melakukan demikian maka (shalatnya) kurang.” (Ihya Ulumuddin, h. 177)

Dapat dipahami bahwa shalat adalah tentang ketundukan kepada Allah. Dengan demikian shalat menjadi media untuk melatih hati supaya bersikap tawadu’. Tidak perlu lagi menyombongkan diri di hadapan orang lain, tidak perlu merasa lebih baik, lebih benar, atau lebih tinggi derajatnya. Hal ini menunjukkan bahwa shalat bukanlah semata hubungan antara manusia dengan Allah, tetapi juga berpengaruh pada hubungan dengan manusia. Bahkan yang menjadi esensi dari shalat itu sendiri adalah bagaimana sikap mushalli kepada lingkungan sekitarnya.

Janji Allah tentang “falah” (dalam iqamat dan QS al-Mukminun: 1-2) bagi yang mereka yang khusyuk atau menghayati nilai-nilai shalat, sejatinya mendorong seorang mukmin untuk melaksanakan misi-misi dan mengimplementasikan nilai tersebut di luar aktivitas ritualistik shalat.

Karena shalat yang dijalankan dengan penuh penghayatan akan membentuk karakter baik manusia. Seperti rukun awal dalam shalat, takbir yang dimaknai sebagai tahrim pintu masuk ke dalam ihram shalat. Di dalam ihram shalat, seorang mushalli harus melatih kontrol diri dari melakukan hal-hal yang merusak dan membatalkan shalat. Sebagaimana dalam shalat, hal itu juga harus dilakukan di luar shalat, yaitu menjaga semangat ‘ihram shalat’ untuk hanya melakukan perkara yang baik.

Kemudian, instrumental tasbih yang ada dalam tiap proses shalat, seperti kewajiban bersuci, ayat dan doa yang dilafalkan. Ini mengajak mushalli untuk mengelola hatinya dari perasaan; sudah, lebih, dan paling suci atau benar dalam semua aspek, serta berusaha untuk selalu tazkiyatun nafs dari berbagai penyakit hati.

Selain itu, instrumentalitas tahmid di dalam rangkaian shalat. Tahmid sebagai ungkapan syukur menghadirkan rasa berkelimpahan dan berkecukupan. Hal itu akan menumbuhkan kesadaran dan kebiasaan bersyukur serta berterima kasih, baik kepada Allah juga kepada makhlukNya.

Terus berlanjut hingga rukun terakhir, yaitu salam yang dimaknai sebagai kedamaian dan keselamatan. Mengajak manusia untuk menjadikan rukun tersebut sebagai simbol untuk menghadirkan salam kepada siapapun di setiap waku, di manapun dan dalam kondisi apapun. Wallahu a’lam

*Mahasantri Ma’had Aly An-Nur II Al-Murtadlo.