Ilustrasi perempuan dan kehidupannya.

“Kita tidak setara, Gus. Saya sadar.”

Kalimat itulah yang menjadi akhir dari perbincangan antara Fatmah, seorang santri di Pesantren Al-Jaelani, dan Gus Alwi, putra dari pemilik pesantren tersebut.

****

Aku adalah seorang santri di Pesantren Al-Jaelani. Sudah enam tahun aku berada di sini, empat tahun sebagai mahasiswa, dan dua tahun terakhir sebagai santri pengabdi. Di kamar sederhana yang penuh kenangan ini, aku merenungi hatiku yang kini terombang-ambing oleh kenyataan tentang seseorang yang aku kagumi. Dia adalah putra dari Kiai pemilik pesantren, bernama Muhammad Alwi Jaelani.

Kami pertama kali bertemu dua tahun lalu, ketika ia memperkenalkan diri di hadapan seluruh santri. Banyak santri yang belum mengenalnya karena ia menempuh pendidikan di Al-Azhar, Mesir. Sejak saat itu, aku terus memandangi dan mengaguminya—tutur katanya, sikapnya, dan sorot matanya yang teduh. Seusai perkenalan itu, aku mulai memikirkannya terus-menerus. Aku sadar, aku hanya seorang santri biasa yang diam-diam mengagumi seorang Gus lulusan Mesir.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Malam itu sunyi. Santri-santri lain ada yang masih belajar, sebagian sudah terlelap dalam keheningan malam. Tapi aku tidak bisa tidur. Perasaanku kepada Gus Alwi semakin tinggi, semakin sulit aku bendung.

Keesokan paginya, seperti biasa aku mengikuti pengajian kitab subuh. Setelah menyiapkan meja Kiai, aku duduk di barisan paling depan. Namun, pagi itu berbeda. Tiba-tiba, Gus Alwi datang menggantikan Kiai untuk mengisi pengajian. Hatiku berdegup kencang. Entah mengapa, aku merasa sangat bahagia sekaligus gugup saat hendak mempersilakannya duduk.

Dengan penuh keberanian, tanpa berani menatap wajahnya, aku berkata, “Monggo, Gus, tempatnya sudah siap.”

Ia hanya tersenyum, tanpa berkata sepatah pun. Aku pun segera duduk di depan, mencoba fokus mendengarkan, namun tak sanggup menatap wajahnya. Padahal biasanya, aku selalu menatap Kiai saat pengajian. Tapi kali ini, rasanya berat sekali untuk sekadar melihat Gus Alwi, meskipun hanya sebentar.

Setelah pengajian selesai, aku membereskan tempat seperti biasa. Tiba-tiba, jantungku kembali berdebar saat mendengar suaranya memanggil, “Mbak…”
Hanya satu kata, tapi membuatku gugup luar biasa. Dengan keberanian yang tersisa, aku menjawab, “Nggih, Gus.”

Kemudian, terjadilah percakapan singkat antara kami:

Gus Alwi: “Maaf, nama kamu siapa? Dan kenapa hanya kamu yang membereskan tempat pengajian?”

Fatmah: “Nggih, Gus. Saya Fatmah. Saya menyiapkan dan membersihkan tempat pengajian setiap hari karena saya santri tertua di sini. Saya mengabdi, Gus.”
Gus Alwi: “Sudah berapa tahun, Mbak, kamu di sini?”

Fatmah: “Empat tahun untuk kuliah dan dua tahun saya mengabdi, Gus.”
Gus Alwi: “Ya sudah, Mbak. Mari.”

Percakapan itu pun berakhir. Ia segera masuk ke dalam ndalem. Aku melanjutkan pekerjaanku sambil membawa perasaan bahagia karena bisa berbincang walau sebentar dengan pria yang aku kagumi.

*****

Tahun ini adalah tahun terakhirku mengabdi di pesantren. Sudah waktunya aku pulang dan mengabdi kepada orang tuaku. Kini, aku sudah bisa menatap Gus Alwi setiap kali ia mengisi pengajian, tapi ketika ia secara tidak sengaja menatapku, aku tetap tak sanggup membalas tatapannya.

Namanya selalu kusebut dalam setiap doa. Entah kenapa aku begitu berani mengagumi seorang Gus, padahal aku sadar diri.

Beberapa minggu terakhirku di pesantren, aku dan Gus Alwi jadi sering berbincang. Tentang pesantren, tentang masa depan, bahkan sempat juga tentang perasaan. Aku tak pernah berani menyatakan apa yang kurasa, tapi sikapnya seolah memberi tanda. Ia pernah memberiku hadiah kecil berupa hijab dan sajadah couple. Sampai-sampai temanku mulai mencurigai kami memiliki hubungan khusus—padahal tidak.

Hari untuk boyong akhirnya tiba. Aku sowan ke ndalem untuk berpamitan. Berat rasanya meninggalkan pesantren, teman-temanku, dan tentu saja, Gus Alwi yang mungkin tak akan pernah lagi bisa kutatap.

Di ruang tamu, aku duduk bersama Kiai, Bu Nyai, dan Gus Alwi.

“Mohon maaf, Kiai, saya merasa sudah sepantasnya bergantian mengabdi pada orang tua. Jadi saya ingin izin boyong,” ucapku, menunduk. Aku tidak berani menatap siapa pun, terutama karena Gus Alwi ada di sana.

Kiai menjawab lembut, “iya, Nduk. Monggo. Sudah sepantasnya. Dan… cari jodoh juga, ya, Nduk.”

Aku hanya bisa mengangguk. Tiba-tiba Bu Nyai berkata,
“Alwi pengin ngomong, Nduk.”

Dengan gugup, aku menjawab, “Nggih, Gus. Monggo, mau bicara apa?”

Dan… bom! Aku tidak menyangka. Kata-kata Gus Alwi membuatku terpaku:

“Aku ingin main ke rumahmu, Fatmah. Karena aku menyukaimu dan aku ingin menghalalkanmu. Apa kamu bersedia aku antarkan ke rumahmu?”

Air mataku menetes. Aku ingin sekali menerima. Tapi aku sadar, aku bukan ning yang pantas untuk seorang Gus. Aku hanyalah santri biasa.

“Maaf, Gus. Saya mengagumi panjenengan sudah sejak dua tahun lalu. Tapi saya sadar, saya hanyalah santri. Bukan untuk panjenengan. Semoga Gus menemukan ning yang jauh lebih baik dari saya.”

Gus Alwi menatapku, menolak argumenku.

“Tidak ada hal seperti itu, Fatmah. Aku ingin menikahimu. Apa kamu bersedia?”

Aku mengusap air mataku. Lalu menatapnya dan menjawab dengan lirih,
“Kita tidak setara, Gus. Saya sadar. Maafkan saya, Gus. Dan saya izin pamit.”

Dengan langkah berat, aku salim kepada Bu Nyai dan Kiai.
“Assalamu’alaikum.”

Hanya Kiai dan Bu Nyai yang menjawab. Tapi aku mendengar lirih suara Gus Alwi menjawab salamku, seolah menggenggam erat perasaannya yang tak sempat tertambat.



Penulis: Amelia Ayu Fatmah Sari, Mahasiswi UINSA, Aqidah dan Filsafat Islam.