
Malam Lebaran tahun ini terasa berbeda bagi Ahmad Fahri. Setelah bertahun-tahun hidup dalam keterbatasan, malam itu adalah malam yang penuh haru bagi dirinya. Untuk pertama kalinya, ia bisa memberikan sesuatu yang sangat berarti untuk putri kecilnya, Sulistiawati. Sebuah baju baru, yang selama ini hanya bisa ia impikan untuk anaknya, akhirnya bisa ia beli. Meskipun dengan uang yang pas-pasan, ia merasa malam itu adalah kemenangan tersendiri.
Sudah menjadi kebiasaan di setiap malam Lebaran, semua orang di kampung akan mengenakan pakaian baru. Anak-anak berlarian dengan senyum lebar, memamerkan baju baru yang mereka terima dari orang tua mereka. Sementara itu, Sulistiawati hanya duduk di pojok rumah, mengenakan baju lama yang sudah mulai pudar warnanya. Baju itu adalah pemberian ibunya beberapa tahun lalu, yang entah kenapa tidak pernah diganti, meski ia sudah berulang kali meminta.
Ahmad Fahri, seorang bapak sederhana, merasa tertekan setiap kali melihat wajah putrinya yang berusaha menutupi rasa kecewanya. Setiap Lebaran, ia hanya bisa memberikan pelukan hangat dan doa-doa penuh harapan. Pekerjaannya sebagai buruh serabutan tak memberikan banyak hasil. Uang yang ia bawa pulang setiap hari hanya cukup untuk makan sehari-hari, dan itu pun sering kali harus diputar-putar.
Namun malam ini, entah mengapa, ia merasa ada keberanian dalam dirinya. Seperti ada sesuatu yang mendorongnya untuk berjuang lebih keras, walau hanya untuk malam ini.
Pagi itu, setelah pulang dari kerjaan, Ahmad Fahri tidak langsung duduk seperti biasa. Matanya memandang lemari kayu yang mulai lapuk di sudut kamar. Di dalamnya ada pakaian-pakaian lama yang tak pernah ia perbaharui, dan beberapa potong kain sisa yang dulu ia gunakan untuk membuat baju bagi keluarganya. Meski sederhana, ia selalu berusaha memberikan yang terbaik dengan keterbatasan yang ada.
“Besok Lebaran,” gumamnya pelan, sambil menatap tas kain yang tergeletak di samping pintu. Uang yang ia miliki tak lebih dari seratus ribu. Tidak banyak, tetapi cukup untuk sesuatu yang sangat ia inginkan—sebuah baju untuk Sulistiawati.
Namun, apakah ia bisa membeli dengan uang sebanyak itu? Dengan harga barang yang semakin melambung, rasanya mustahil. Tetapi, hatinya memberontak. Ia tak bisa lagi membiarkan putrinya mengenakan baju yang sama setiap tahun, sementara yang lainnya memakai baju baru yang bersih dan rapi. Sulistiawati adalah segalanya baginya, dan dia berhak mendapatkan yang terbaik, meskipun hanya untuk satu malam.
Malam itu, di bawah cahaya lampu minyak yang redup, Ahmad Fahri duduk di meja kayu kecil bersama Sulistiawati. Wajah putrinya tampak cerah meskipun tidak mengenakan pakaian baru. Matanya berbinar ketika ia melihat ayahnya berdiri dari kursi dan mengambil sebuah bungkusan kain yang ia sembunyikan di bawah meja.
“Papa, ini apa?” tanya Sulistiawati penasaran, meskipun ia bisa menebak sedikit.
Dengan sedikit rasa cemas, Ahmad Fahri membuka bungkusan itu. Sebuah baju kurung sederhana berwarna merah muda terlipat rapi di dalamnya. Baju itu tampak biasa saja, tidak ada hiasan mewah atau bordiran cantik seperti yang sering dilihat di pasar-pasar, tetapi bagi Sulistiawati, itu adalah sesuatu yang sangat istimewa.
“Baju baru untukmu, Nduk,” kata Ahmad Fahri, suara pria itu bergetar, mengandung rasa haru yang dalam. “Papa cuma bisa beli yang sederhana, tapi semoga kamu suka.”
Sulistiawati terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca, dan ia menatap baju itu dengan tak percaya. Setiap tahun, ia selalu berharap bisa mendapatkan baju baru untuk Lebaran, tetapi harapan itu selalu kandas. Tahun ini, ternyata harapan itu menjadi kenyataan.
“Papa…” suara Sulistiawati hampir tidak terdengar, namun air mata mulai membasahi pipinya. “Terima kasih… Papa baik sekali.”
Ahmad Fahri pun duduk kembali di kursi, menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. Tangannya meraih tangan kecil Sulistiawati dan menggenggamnya erat.
“Papa minta maaf, Nduk. Papa nggak bisa beli baju yang bagus seperti punya teman-temanmu. Tapi papa harap kamu tahu, setiap tetes keringat papa itu hanya untuk kebahagiaanmu. Ini sudah lebih dari cukup, kan?”
Sulistiawati mengangguk, meskipun air mata terus mengalir. Ia merangkul ayahnya dengan pelukan yang hangat. Di malam Lebaran ini, ia merasa bahagia, bukan karena baju baru yang ia dapatkan, tapi karena kasih sayang ayahnya yang tak pernah pudar meski dalam keadaan yang serba terbatas.
Keesokan harinya, suasana pagi Lebaran mulai terasa. Semua orang di kampung itu mengenakan pakaian baru, dan rumah-rumah dipenuhi dengan suara tawa dan doa. Namun, di rumah Ahmad Fahri, suasana terasa berbeda. Mereka mungkin tidak punya banyak makanan mewah, atau baju yang berkilau, tapi mereka punya kebahagiaan yang tak ternilai.
Sulistiawati mengenakan baju kurung merah muda itu dengan penuh kebanggaan. Meskipun tidak semewah baju-baju yang dipakai anak-anak lain, bagi Sulistiawati, baju itu adalah hadiah terindah yang pernah ia terima. Setiap jahitan pada baju itu mengingatkannya pada pengorbanan ayahnya, pada setiap perjuangan yang tak terlihat, dan pada cinta yang tak pernah berhenti mengalir.
“Papa, aku senang,” kata Sulistiawati sambil tersenyum lebar. “Aku nggak butuh baju yang mahal. Yang penting kita selalu bersama, kan?”
Ahmad Fahri mengelus kepala putrinya dengan lembut. “Iya, Nduk. Kita selalu bersama. Dan papa janji, akan selalu berusaha untuk membuatmu bahagia.”
Hari itu, mereka berdua pergi menuju masjid untuk melaksanakan shalat Id. Sulistiawati berjalan dengan percaya diri, mengenakan baju baru yang penuh makna, sementara Ahmad Fahri berjalan di sampingnya, dengan hati yang penuh rasa syukur. Di mata mereka, Lebaran kali ini lebih bermakna daripada sebelumnya. Bukan karena harta yang melimpah, tetapi karena cinta yang begitu kuat dan tulus.
Di malam yang penuh berkah itu, Ahmad Fahri merasa bahwa meskipun hidup mereka sederhana, kebahagiaan sejati bukan terletak pada materi. Kebahagiaan sejati adalah ketika mereka bisa saling memberikan yang terbaik, meski dalam keterbatasan.
Dan bagi Sulistiawati, malam Lebaran itu adalah malam yang akan selalu ia ingat, malam pertama ayahnya memberi sebuah baju baru, yang jauh lebih berharga daripada apa pun yang pernah ia impikan.
Penulis: Albii