Ilustrasi: ayah dan anak perempuannya (sumber gambar: pixabay)

Di balik tirai jendela kamarnya yang selalu tertutup rapat, Maya duduk di meja belajarnya dengan buku-buku tebal berserakan di sekelilingnya. Cahaya kecil dari lampu meja menjadi satu-satunya sumber penerangan di ruangan gelap itu. Di tangannya, ia menggenggam erat selembar surat yang mengubah hidupnya dalam sekejap. Ayahnya, seorang yang bersemangat dengan ambisi dan cita-cita tinggi, telah menentukan jalannya. Tapi di dalam hatinya, Maya merasa seperti sebuah bunga yang dipaksakan untuk mekar di dalam cuaca yang tidak mendukung.

Surat itu berisi undangan untuk sebuah wawancara kerja di perusahaan besar yang telah lama diimpikan oleh ayah Maya. Maya membacanya berulang kali, tetapi setiap kali matanya melintas di atas kata-kata yang tercetak tebal, ia merasa semakin terperangkap dalam kegelapan yang menyelimuti dirinya.

Dalam hati, gumaman Maya terdengar seperti riak gelombang yang terhempas di pantai yang sepi, “Apakah ini benar-benar yang aku inginkan? Atau hanya impian ayahku yang kupaksakan menjadi milikku?”

Disisi lain, Dengan senyum lebar, Hartono menceritakan kabar tersebut kepada temannya melalui telepon.

“Hai, Budi! Kamu tidak akan percaya apa yang baru saja terjadi,” ucap Hartono dengan penuh kebanggaan di suaranya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Bilanglah, Hartono. Apa yang terjadi?” Tanya Budi dengan penasaran di sisi telepon.

“Anak perempuanku, Maya, baru saja mendapatkan undangan untuk wawancara di perusahaan besar itu! Ini merupakan langkah besar dalam karirnya,” jawab Hartono dengan antusiasme yang tak terbendung.

“Wah, selamat! Itu pasti kabar yang menyenangkan. Kamu harus bangga padanya,” kata Budi dengan suara yang penuh dengan kekaguman.

“Iya, aku benar-benar bangga. Maya telah berjuang begitu keras untuk mencapai impian ini. Aku yakin dia akan berhasil,” kata Hartono dengan keyakinan yang tulus.

Dalam keheningan kamar yang gelap, Maya mendengarkan bisikan hatinya yang terdengar semakin keras di tengah kegembiraan ayahnya. Pikirannya terombang-ambing di antara dua dunia yang berbeda: satu yang dipenuhi dengan harapan dan impian ayahnya, dan satu lagi yang menjadi tempat di mana hatinya merasa tenang.

Setiap langkah ke depan terasa seperti langkah menuju kehampaan yang tak terduga, namun juga seperti langkah menuju cahaya yang begitu terang. Dalam kebingungannya, Maya merenungkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh hatinya yang terdalam.

Dengan hati yang berdebar-debar, Maya tiba di kantor Angkasa Pura pada Senin, 12 Januari, pukul 9.00 pagi. Meskipun ragu dan terombang-ambing, tekadnya untuk melanjutkan lamaran kerja itu tetap kuat. Ia memasuki ruang tunggu HRD dengan langkah tegap, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman yang rapuh.

Wawancara berlangsung dengan berbagai pertanyaan dan ujian, tetapi Maya tetap bertahan dengan segenap keberanian yang tersisa di dalam dirinya. Meskipun terkadang merasa seperti seorang asing dalam dunia yang begitu berbeda, ia mencoba untuk menemukan pijakan dan menjawab setiap pertanyaan dengan sebaik mungkin.

Setelah wawancara selesai, Maya meninggalkan kantor itu dengan perasaan campur aduk di dalam hatinya. Meskipun masih dihantui oleh keraguan, ia merasa sedikit lega karena telah melangkah maju untuk mengejar sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya.

Sepulang dari wawancara, Maya merasa lapar dan mencari makan dipinggir jalan, Maya duduk sendirian di meja mie ayam, masih terhanyut dalam pikiran-pikiran yang memenuhi benaknya. Ketika aroma harum mie ayam menyergap hidungnya, seorang wanita yang bersahaja mendekatinya dengan senyum ramah di wajahnya. Sebelum Maya sempat menjawab, telepon wanita itu berdering, memecah keheningan di antara mereka. Dengan cepat, wanita itu berpamitan dan pergi, meninggalkan selembar kartu nama di meja.

Maya menatap kartu nama itu dengan penuh kebingungan. “Cantika Dara, Author komik ternama,” demikian tertulis di atas kartu itu. Sebuah rasa penasaran menyelinap ke dalam pikirannya. Apa yang membuat seorang penulis komik ternama seperti Cantika Dara tertarik untuk berbicara dengannya? Mungkinkah ini adalah pertanda yang harus ia ikuti?

Dengan perasaan yang campur aduk, Maya membaca SMS dari PT Angkasa Pura yang memberitahukan bahwa ia diterima kerja di bagian pemasaran. Sebuah gelombang emosi melanda hatinya. Di satu sisi, ada kegembiraan atas pencapaian tersebut, tetapi di sisi lain, ada rasa sedih yang mendalam karena ia harus berhadapan dengan situasi yang menantang bagi seorang introvert seperti dirinya.

Sementara Maya merenungkan implikasi dari kabar tersebut, ayahnya datang dengan senyum yang memancar kebanggaan dari wajahnya. “Maya, aku mendengar kabar baik dari Angkasa Pura! Kamu diterima kerja! Aku sangat bangga padamu,” ucap ayahnya dengan suara gemetar karena kegembiraan.

Meskipun hatinya terasa berat, Maya tersenyum dan mencoba menyembunyikan keraguan di balik senyumnya. Baginya, kebahagiaan ayahnya lebih penting daripada kecemasan yang tengah ia rasakan. Dalam keheningan hatinya, Maya memutuskan untuk memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya, meskipun ia tahu bahwa perjalanan ke depan akan penuh dengan tantangan.

Di dalam suasana hujan yang deras di luar, Maya duduk di seberang ayahnya dengan tatapan yang penuh kekhawatiran di wajahnya. Dalam ruangan yang terang benderang oleh cahaya lampu, atmosfernya terasa tegang seolah mencerminkan perasaan Maya yang berat.

Maya akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan keputusannya kepada ayahnya. Dengan suara yang ragu namun mantap, dia mulai bicara, “Ayah, aku punya sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Ini tentang pekerjaanku…”

Hartono, sang ayah, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Apa yang terjadi, Nak?” tanyanya dengan nada yang penuh dengan kekhawatiran.

Maya menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Ayah, ada masalah di tempat kerjaku yang membuatku harus mengambil keputusan sulit. Aku harus mengundurkan diri dari pekerjaanku.”

Wajah Hartono langsung berubah, terlihat campuran antara kekecewaan dan keprihatinan. “Kenapa, Nak? Apa yang terjadi?” tanyanya dengan suara yang penuh dengan kekhawatiran.

Maya menjelaskan dengan hati-hati tentang masalah yang ia hadapi di tempat kerjanya, sambil mencoba menjelaskan alasan di balik keputusannya. Meskipun hatinya terasa berat, dia tahu bahwa dia harus berbicara jujur kepada ayahnya.

Hartono mendengarkan dengan penuh pengertian, mencoba menenangkan Maya dengan kata-kata bijaksana. “Nak, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah bagimu. Tetapi ingatlah, yang terpenting adalah kesejahteraanmu. Ayah selalu mendukungmu, apa pun keputusan yang kamu ambil.” Maya merasa lega mendengar dukungan ayahnya, meskipun masalahnya belum terselesaikan.

Saat hujan reda dan malam mulai turun, Maya duduk di meja kerjanya dengan cahaya lampu yang temaram memancar di sekelilingnya. Di tangan, ia memegang kartu nama Cantika Dara, penulis komik ternama yang ditemuinya beberapa bulan lalu.

Dengan pikiran yang menerawang, Maya mulai mempertimbangkan peluang baru yang mungkin terbuka baginya. Sebagai seorang pekerja freelance, karya tulisnya telah memberinya penghasilan yang cukup untuk hidupnya selama ini. Tetapi dalam situasi ini, mungkin ada jalan baru yang bisa diajelajahi.

Dengan langkah hati-hati, Maya mencari informasi tentang Cantika Dara dan menemukan bahwa dia adalah seorang penulis sukses dengan jaringan yang luas di dunia kreatif. Mungkin saja kolaborasi dengan Cantika bisa membuka pintu baru baginya dalam dunia karya tulis.

Sambil merenungkan kemungkinan-kemungkinan tersebut, Maya menyadari bahwa ada banyak peluang di luar sana yang bisa dia coba. Dengan hati yang terbuka dan tekad yang kuat, Maya siap menghadapi masa depan yang baru dengan keyakinan dan semangat yang menggebu.

Setelah seminggu mencari informasi dan mempersiapkan diri, Maya akhirnya berhasil menemui Cantika. Dengan hati yang berdebar-debar, Maya menjelaskan situasinya bahwa ia membutuhkan pekerjaan. Tanpa ragu-ragu, Cantika menyambut Maya dengan senang hati.

“Dengar, Maya, aku sangat senang bisa bekerja sama denganmu. Aku memiliki proyek-proyek menarik yang mungkin cocok dengan bakatmu,” ucap Cantika dengan antusiasme yang jelas terpancar dari suaranya.

Maya merasa lega mendengar kabar baik tersebut. Ini adalah awal dari petualangan baru baginya, dan dia bersyukur atas kesempatan yang diberikan Cantika kepadanya.

“Dengan senang hati, Cantika. Aku berterima kasih atas kesempatan ini. Aku akan memberikan yang terbaik dalam setiap proyek yang kuberikan,” ucap Maya dengan tulus.

Dengan perjanjian yang disepakati, Maya merasa semakin yakin bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat. Dalam kolaborasi dengan Cantika, ia merasa bahwa pintu-pintu baru telah terbuka baginya, membawa harapan dan peluang yang tak terbatas dalam perjalanannya ke depan.

Setelah pulang dari pertemuan dengan Cantika, Maya duduk di ruang tamu bersama ayahnya. Dengan senyum cerah di wajahnya, Maya mulai bercerita tentang pertemuannya tadi.

“Ayah, kamu tidak akan percaya apa yang terjadi hari ini. Aku bertemu dengan Cantika, dan dia menawarkan pekerjaan padaku!” ucap Maya dengan penuh antusiasme.

Hartono menatap Maya dengan bangga dan tertarik, “Benarkah? Itu kabar yang luar biasa! Ceritakan lebih lanjut, Nak.”

Maya mulai menceritakan detail pertemuannya dengan Cantika, menjelaskan proyek-proyek menarik yang akan dia jalani. Semakin Maya bercerita, semakin jelas terlihat kilau semangat di matanya.

Mendengar cerita Maya, Hartono tersenyum lebar. “Anakku, aku sangat bangga padamu. Ini adalah kesempatan yang luar biasa, dan aku yakin kamu akan melakukan dengan baik. Teruslah bersemangat dan berikan yang terbaik dalam pekerjaanmu. Aku selalu mendukungmu.”

Saat itu juga, Maya merasa semangatnya berkobar-kobar. Dukungan dari ayahnya membuatnya merasa lebih percaya diri dan yakin bahwa dia bisa menghadapi tantangan yang ada di depannya. Dengan hati penuh keberanian dan tekad yang kuat, Maya siap untuk melangkah maju dalam perjalanan barunya sebagai pekerja freelance yang bekerja sama dengan Cantika.

Di tengah keheningan malam, Maya duduk sendirian di kamarnya dengan tatapan yang kosong, membiarkan pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Dia merenungkan perjalanan panjangnya, dari saat-saat awal ketika terpaksa bekerja di pekerjaan yang tidak disukainya, hingga saat ini ketika dia menemukan passion-nya yang sejati.

“Dulu, aku terjebak dalam kegelapan yang menghimpitku. Terpaksa menuruti keinginan orang lain, tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya aku inginkan. Itu adalah masa-masa yang sulit, di mana setiap langkah terasa seperti beban yang berat di pundakku,” ucap Maya dengan suara yang penuh dengan refleksi.

Tetapi seiring berjalannya waktu, Maya menyadari bahwa cinta terhadap pekerjaannya adalah kunci untuk membuka pintu-pintu kebahagiaan dan kesuksesan. Ketika dia menemukan passion-nya dalam pekerjaan sebagai seorang penulis freelance, segala sesuatu mulai berjalan dengan lancar. Bahkan, dukungan ayahnya yang dulunya tidak sepenuhnya terlihat, kini terasa begitu kuat dan tulus.

“Sekarang, aku memahami bahwa cinta terhadap pekerjaan adalah kuncinya. Ketika kita mencintai apa yang kita lakukan, segala sesuatu akan diperlancar, bahkan hambatan terbesarpun. Ayahku, dengan penuh kasih dan dukungan, kini berada di sisiku dengan sepenuh hati. Dan aku bersyukur atas segala hal yang terjadi,” ucap Maya dengan suara yang penuh dengan keyakinan dan keberanian.



Penulis: Albii (mahasiswa KPI Unhasy)