sumber gambar: pilingnews.com

Oleh: Muh Sutan*

Peraturan Presiden soal jatah “tambang batu bara” bagi ormas menjadi sorotan banyak kalangan. PBNU menjadi salah satu kandidat yang menerima tawaran konsesi izin usaha pertambangan ini dan memberikan respon positif untuk tidak lanjutnya. Tak ayal keputusan ini menuai pro-kontra di pihak internal maupun eksternal organisasi.

Terlebih para aktivis lingkungan di NU yang sedari dulu gencar berkampanye menjaga ekologi dibuat lemas dengan keputusan PBNU tersebut. Meski demikian, apakah keputusan ini ‘adil’ atau hanya sebagai alat para bohir untuk meraup keuntungan terselubung dengan menggandeng ormas masuk wilayah ini?

Kebijakan yang Tergesa-gesa?

“Saya kemarin, atas arahan dan pertimbangan dari beberapa menteri, bahkan sudah disetujui oleh Bapak Presiden Jokowi, kita akan memberikan konsesi batu bara yang cadangannya cukup besar kepada PBNU untuk dikelola dalam rangka mengoptimalkan organisasi,” ujar Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam Kuliah Umum di Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama, yang disiarkan YouTube BKPM.

Pertambangan mineral dan batu bara menjadi lahan usaha yang mempunyai profit menjanjikan. Sayangnya, lebih menjanjikan lagi dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Potensi batu bara dan banyaknya permintaan ekspor menjadi fakta tak terbantahkan komoditas ini diminati negara mana pun. Aturan dalam UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), di pasal 5 bahwa untuk kepentingan nasional, Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan nasional pengutamaan Mineral dan/atau Batubara untuk kepentingan dalam negeri.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Ya, secara teknis negara mempunyai kewenangan dalam mengatur regulasi jumlah produksi, penjualan, dan sebagainya. Dalam konteks pengelolaan mineral dan batubara, dalam UU disebutkan bahwa harus secara terpadu dengan mengacu pada pendapat dari instansi pemerintah terkait, masyarakat terdampak, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, hak asasi manusia, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan dan dengan memperhatikan aspirasi daerah. Entah hal ini sudah terealisasi atau belum.

Sebab, fakta lain merujuk data Dinas ESDM Kalimantan Timur per 2018, terdapat 539 lubang bekas tambang di seluruh wilayah Kaltim. Kebanyakan lubang bekas tambang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara yakni 264 lubang bekas tambang dan Kota Samarinda ada 130 lubang bekas tambang. JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) Kaltim menyebutkan di rentang waktu tujuh tahun, 2011-2024, sudah 47 nyawa melayang karena tewas tenggelam di bekas lubang galian tambang batubara yang tidak direklamasi. Sungguh ironi, tetapi inilah fakta di lapangan.

Baca Juga: Tambang Batu Bara untuk PBNU, Kontradiksi Rekomendasi dan Realisasi

Sedangkan secara mengejutkan, dari pernyataan Pak Bahlil di awal, muncul Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP No. 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, memberikan izin tambang kepada organisasi kemasyarakatan (Ormas). Begini bunyi pasalnya:

Penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Secara Prioritas (WIUPK).

Pasal 83A

(1) Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

(2) WIUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah eks PKP2B.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 83A Ayat (1) disebutkan:

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pemerintah Pusat dalam pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara berwenang melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas. Penawaran WIUPK secara prioritas dimaksudkan guna memberikan kesempatan yang sama dan berkeadilan dalam pengelolaan kekayaan alam.

Selain itu, implementasi kewenangan Pemerintah tersebut juga ditujukan guna pemberdayaan (empowering) kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Yang dimaksud dengan “organisasi kemasyarakatan keagamaan” adalah organisasi kemasyarakatan keagamaan yang salah satu organnya menjalankan kegiatan ekonomi serta bertujuan pemberdayaan ekonomi anggota dan kesejahteraan masyarakat/umat.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa lahan tambang yang akan diberikan kepada ormas keagamaan adalah eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi I, yaitu PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung. Sedangkan yang dimaksud PKP2B adalah perjanjian antara pemerintah dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Batu Bara.

Sementara untuk menguatkan persepsi tujuan kenapa ormas diberi jatah mengelola tambang ialah seperti ketentuan PP ini di ayat (1) Pasal 180 ada keterangan bahwa Pemegang IUP dan IUPK wajib menyampaikan rencana dan biaya pelaksanaan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan. Jadi keputusan ini bukan tanpa alasan, tetapi mempunyai orientasi untuk pemberdayaan masyarakat yang menjadi anggota ormas tersebut.

Aturan yang Tidak Sesuai

Namun, tenyata PP. No. 25 Tahun 2024 ini mengenai ormas dapat izin tambang bertentangan dengan UU No 3 Tahun 2020 tentang Minerba, karena di sana pada pasal 75 ayat 3 disebutkan bahwa BUMN dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK.

Dengan demikian PP ini tidak sesuai dengan UU Minerba bahwa yang mendapat prioritas IUPK ialah BUMN dan BUMD, bukan ormas. Jadi seakan-akan peraturan tersebut ingin memberi kebijakan yang merangkul ormas yang selama ini dianggap organisasi non-profit diberi peluang agar mempunyai usaha profit di bidang pertambangan. Dengan alasan memberikan kesempatan yang sama dan berkeadilan dalam pengelolaan kekayaan alam.

Ya, bukan menganggap ormas tidak memiliki kapasitas mengelola tambang, tetapi secara kekuatan hukum, PP ini masih berada di bawah kekuatan hukum UU. Sehingga bisa dikatakan terlalu tergesa-gesa, jika sejumlah ormas langsung menindaklanjuti PP ini untuk membuat badan usaha tanpa pertimbangan jika ke depannya ada potensi perubahan peraturan karena isinya yang bertentangan dengan UU Minerba.

Aryanto Nugroho Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, mengutarakan bahwa yang menjadi persoalan adalah pelanggaran atas UU Minerba dan mekanisme Penawaran secara Prioritas-nya. Kami justru khawatir Ormas keagamaan “terjebak” dengan aturan bermasalah ini. Di samping itu, menurutnya, kekhawatiran lainnya, ini akan menjadi preseden bagi pemerintah untuk bagi-bagi proyek (secara prioritas) kepada ormas di sektor lain, seperti infrastruktur misalnya, meskipun melanggar aturan UU.

Pada akhirnya, terlepas pertimbangan apa yang dipilih oleh PBNU, aturan ormas diberi jatah mengelola tambang menjadi problem tersendiri. Apakah suara masyarakat yang terdampak akibat pengelolaan tambang ini sudah didengar atau tidak? Semoga, keputusan ini tidak menjadikan ormas keagamaan tidak punya taring untuk menolak kebijakan eksploitasi, yang lambat laun mencemari dan merusak lingkungan hidup.



*Mahasantri M2 Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.