
Ketika kita memahami hadis “abghadul halal ila allah al-thalaqu” (perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak), maka spontan kita menarik kesimpulan bahwa perceraian/talak adalah hal yang buruk. Karena memang secara eksplisit teks hadis tersebut menyatakan demikian. Dalam redaksi hadis riwayat Abdullah ibn Umar disebutkan:
أبغَضُ الحلالِ إلى اللَّهِ الطَّلاقُ
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”
Sedangkan dalam redaksi lain riwayat Mu’adz ibn Jabal:
مَا أَحَلَّ اللَّهُ شَيْئًا أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ
“Kehalanan yang paling dibenci Allah adalah perceraian.”
Selain itu, ada juga teks hadis lain yang mempunyai makna serupa:
يَا مُعَاذُ مَا خَلَقَ اللَّهُ عَلَى ظَهْرِ الْأَرْضِ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ عَتَاقٍ، وَمَا خَلَقَ اللَّهُ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ أَبْغَضَ إِلَيْهِ مِنَ الطَّلَاقِ، فَإِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِعَبْدِهِ: هُوَ حُرٌّ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَهُوَ حُرٌّ، وَلَا اسْتِثْنَاءَ لَهُ، وَإِذَا قَالَ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَهُ اسْتِثْنَاؤُهُ وَلَا طَلَاقَ عَلَيْهِ
“Wahai Mua’dz, tiada sesuatu di muka bumi ini yang lebih aku suka ketimbang memerdekakan budak. Apabila seseorang mengatakan kepada hambanya: Kamu bebas insya Allah, maka dia bebas tanpa pengecualian. Apabila dia mengatakan kepada isterinya: Kamu diceraikan insya Allah, maka ada pengecualiannya dan tiada talak yang terjatuh.
Hadis riwayat Abdullah ibn Umar itu termaktub dalam Sunan Ibn Majah, Sunan Abi Dawud, Musnad Abdullah ibn Umar (Al-Turtusi), Sunan Kubra (Al-Baihaqi), Mustadrak (Al-Hakim), Musannaf (Abdurrazzaq), dan Sunan (Daraquthni). Jika ditinjau dengan pendekatan ilmu hadis, maka hasil kajian sanad riwayat tersebut (Abdullah ibn Umar dan Mu’adz ibn Jabal) menggandung banyak cacat. Sehingga hadis tersebut menggandung llah (ma’lul).
Sementara riwayat yang dapat diterima yakni riwayat Muharib ibn Datsar. Namun, riwayat tersebut bernilai mursal dan tidak dapat dijadikan hujjah/argumentasi. (Mahdi ibn Muhammad Rasyad Al-Hakami, Takhrij Hadis Abghadul Halal ila Allah al-Thalaqu, 2009). Al-Khuttabi mengomentari makna “kebencian” Allah dalam hadis tersebut adalah kebencian terhadap hubungan yang buruk antar suami istri sebagai penyebab umum perceraian, bukan pada talak itu sendiri.
Lalu apakah cerai selamanya buruk? Tentu tidak, karena pada dasarnya Allah membolehkan perceraian sebagaimana firman-Nya dalam al-Quran. Bahkan Allah berfirman dalam sebuah ayat:
وَاِنْ يَّتَفَرَّقَا يُغْنِ اللّٰهُ كُلًّا مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَكَانَ اللّٰهُ وَاسِعًا حَكِيْمًا
Jika keduanya bercerai, Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari keluasan (karunia)-Nya. Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisa’: 130)
Para mufassir, seperti Al-Qurthubi, memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk berhusnudzan kepada Allah. Bahwa apabila sepasang suami istri yang tidak dapat berdamai, kemudian berkeputusan untuk cerai, maka terkadang Allah menukar istrinya dengan perempuan yang lebih baik, atau suami yang lebih mapan. Hal ini juga yang dipaparkan oleh Ibn Katsir dalam Tafsir Qur’an al-Adzim, Al-Suyuthi dan Al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalin, Al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, Al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil.
Dari sini kita perlu untuk memahami sebuah hadis atau nas dengan cara yang utuh, tidak terpisah-pisah. Sehingga kita tidak memandang sesuatu berdasar hawa nafsu atau kesempitan akal saja. Seperti memahami “kebencian” Allah terhadap perceraian dalam hadis di atas. Setelah kita tinjau berdasar pendekatan ilmu hadis bahwa riwayat tersebut terindikasi daif atau mursal. Kemudian berdasar pendapat para ulama’ “kebencian” Allah di situ bukan terletak pada perceraian itu sendiri, melainkan kepada buruknya hubungan yang menjadi sebab kebanyakan perceraian. Lalu, apabila memang sepasang suami istri terpaksa bercerai setelah melalui perundingan, maka Allah yang Maha Belas Kasih tentu akan mengganti keduanya dengan pasangan yang baik bagi masing-masing.
Penulis: Yuniar Indra Yahya, Mahasantri Marhalah Tsaniyah (M2) Ma’had Aly Tebuireng