Perempuan dan lukisan.

Kota kecil itu tampak begitu epik, meski sekadar kota kecil. Begitu banyak seniman yang hidup di sana, hampir seluruh bangunan adalah hasil corak dari para seniman hebat. Namun, di balik semua keindahan itu, Serafina merasa kosong. Seorang gadis yang merupakan seniman muda, ia hampir menghabiskan banyak waktu di galeri ini, berharap suatu hari karyanya bisa seindah yang lain.

Setiap kali Serafina berdiri di depan lukisan-lukisannya, ia merasa seperti bayangan. Meskipun ia mencintai seni, ada rasa ragu yang menghantuinya. “Ini hampa dan kosong,” pikirnya. Ia ingin melukis sesuatu yang bisa menyentuh hati orang lain, tetapi setiap goresan terasa hampa.

Di suatu senja, langit mulai menggelap dan lampu galeri menyala lembut. Seorang pria muda dengan kamera menggantung di lehernya mencari sesuatu untuk diabadikannya dalam kamera. Rasanya hari ini tidak banyak hal dipotret untuknya. Ia menghela napas. Sudah hampir seharian ia memutari kota, dan ya… nihil. Nayataka namanya. Rupanya ia seorang fotografer yang sedang mencari inspirasi.

Di sudut jalan, Nayataka menemukan sebuah galeri kecil dengan nuansa vintage. Langkahnya pun memilih menghampiri galeri kecil itu. Lonceng kecil di atas pintu berdering, menandakan kedatangannya. Ia mengedarkan pandangannya, satu per satu lukisan diamatinya, sesekali ia memotret. Beberapa kali ia dibuat tertegun dengan lukisan-lukisan di galeri tersebut. Sejauh ini, ia belum menemukan lukisan yang benar-benar emosional dan hidup. Hanya sebatas bagus dan tidak memiliki jiwa.

Lukisan yang menggambarkan sebuah momen yang penuh keindahan dan kedamaian. Di tepi danau yang tenang, dua sosok duduk berdekatan, dikelilingi oleh nuansa hangat yang menyelimuti mereka. Matahari perlahan terbenam, menciptakan langit yang dipenuhi warna oranye, merah muda, dan kuning, seolah-olah alam sedang merayakan kedekatan mereka.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Wajah kedua sosok itu tampak bersinar dalam cahaya lembut senja. Senyum mereka adalah gambaran kebahagiaan yang tulus, sementara tatapan mereka saling bertautan, mengekspresikan ikatan emosional yang kuat. Sang pelukis menggambarkan momen ini dengan detail yang mendalam, seolah-olah yang melihatnya bisa merasakan kehangatan dan cinta yang ada di antara mereka.

Di latar belakang, pepohonan melambai lembut, mengikuti irama angin yang berbisik. Refleksi cahaya matahari di permukaan danau menambah keindahan lukisan, menciptakan kesan seolah waktu berhenti sejenak. Setiap sapuan kuas dibuat terasa hidup, menggambarkan bukan hanya apa yang terlihat, tetapi juga apa yang dirasakan—kerinduan, harapan, dan cinta yang mendalam.

Nayataka tertegun sepenuhnya. Dia merasakan kebahagiaan yang terpancar dari karya itu, seolah lukisannya mengisahkan perjalanan emosional yang dalam dan tulus. Nayataka tahu bahwa ia tidak hanya melihat lukisan, tetapi juga merasakan getaran cinta yang mengalir dari setiap goresan.

“Lukisan ini punya jiwa,” katanya, matanya berbinar. “Ada kejujuran di dalamnya.” “Tapi, ada banyak lukisan lain yang jauh lebih indah di sini.”

Suara itu mengalihkan perhatiannya, ia menemukan seorang gadis dengan rambut pendek sebahu yang turut memperhatikan lukisan yang diamatinya. Dengan sepasang mata teduhnya, gadis itu mengamati sangat seakan-akan mencoba memastikan apa yang dikatakan Nayataka terhadap lukisan itu.

Nayataka tersenyum. “Tapi tidak ada yang seperti ini… ini lukisan pertama yang bisa dibilang unik dan mengesankan,” ucapnya sembari menoleh ke gadis di sebelahnya.

*****

Beberapa saat mereka bertukar pandang, saling menatap. Di keheningan galeri kecil itu, desiran hangat tumbuh di lubuk mereka masing-masing. Sesaat kemudian Serafina mengalihkan pandangannya. Nayataka sadar dan ikut mengalihkan pandangannya juga. Tak lama ia memilih kembali menoleh ke gadis di sebelahnya.

“Kamu kah yang lukis ini?” tanyanya pelan.

Gadis itu menoleh ke arahnya lagi dan mengangguk perlahan. Nayataka tersenyum, sama cantiknya dengan lukisannya, gumamnya dalam hati.

“Bolehku foto nggak?” Nayataka meminta izin.

“Hm? Oh… boleh, silakan,” jawab Serafina sembari tersenyum.

Nayataka pun mengambil foto lukisan tersebut, Serafina masih diam di tempatnya dan mengamati lukisannya itu. Mencari apa yang dikatakan laki-laki itu, jiwa dari lukisannya, ia tak menemukannya dan tetap merasa lukisannya itu hampa tanpa keunikan. Sekadar lukisan tentang mereka yang menikmati waktu di penghujung senja.

“Lukisan ini, kamu namain apa?”

“Warmth at Dusk’s End.”

“Kehangatan di Ujung Senja? Gitu kah maksudnya?”

“Ya, intinya lukisan ini tentang mereka yang menikmati waktu terbaik mereka di penghujung senja. Kebanyakan orang pasti senggangnya di sore kan… gitu aja sih,” jawab Serafina ragu dan seakan tak memahami lukisannya sendiri.

“Makna sederhana tapi bisa disampaikan lewat lukisan sebagus ini, that is so wonderful…” gumam Nayataka.

Kata-kata itu seperti menyentuh jiwanya. Serafina merasa ada sesuatu yang berdesir dalam dirinya. Entahlah, pujian orang itu rasanya berbeda, memberikannya dorongan untuk lebih jauh melukis. Padahal ini kali pertama mereka bertemu dan berinteraksi, entahlah.

“Hm, terima kasih sudah boleh ngefoto lukisannya,” ucap Nayataka. “Oh ya, sama-sama.”

“See you next time,” pamit Nayataka kepada gadis di hadapannya. “See you…” jawab Serafina.

Lelaki itu tersenyum dan berbalik, Serafina membalas senyum.

*****

Malam-malam berlalu, dan Serafina mulai melukis dengan lebih berani. Dia menemukan bahwa cinta bisa menjadi sumber inspirasi yang tak terduga. Setiap warna yang dia pilih dan setiap goresan yang dia buat kini dipenuhi emosi—cinta, kerinduan, harapan.

Semenjak itu, bel masuk selalu mengusiknya. Ia akan selalu menoleh secepat mungkin ketika lonceng berbunyi. Ia menanti Nayataka untuk datang kembali. Interaksi singkat itu membawa percikan luar biasa untuknya, itulah mengapa ia ingin kembali bertemu Nayataka. Tapi laki-laki itu tak pernah terlihat kembali olehnya.

Hingga suatu hari, sebuah amplop coklat besar tergeletak di depan galerinya. Serafina pun mengambilnya, itu benar untuknya. Beberapa kali ia membolak-balik dan memeriksanya untuk memastikan apakah benar untuknya atau bukan. Benar, Serafina pun membukanya, dan menemukan sebuah undangan bernuansa monokrom—undangan untuk menghadiri pameran fotografi. Ia mencari-cari nama pengirim undangan itu atau orang yang mengadakan pameran tersebut. Hanya ada kata bahwa fotografer itu memiliki julukan “Lintas Waktu.” Tetapi Serafina pada akhirnya memutuskan untuk hadir.

Malam diadakannya pameran itu pun datang. Serafina pergi sendirian ke sana. Ini kali pertamanya menghadiri pameran fotografi, ia sedikit kebingungan karena pola tempatnya cukup abstrak juga. Ia lalu menghela napas, bukankah ini lebih menyenangkan jika Nayataka di sini? Ia bisa menceritakan foto-foto di sini kepada Serafina. Dan langkahnya kemudian terhenti di depan sebuah foto. Bergeming ia di sana.

Itu dirinya dan lukisannya. Di situ terlihat ia tersenyum lembut sembari mengamati lukisan miliknya, dengan keadaan ia masih berantakan, dengan baju terkena beberapa coretan warna dan wajahnya juga. Ada coretan di kening dan pipi. Tetapi di situ ada permainan warna yang tersirat. Foto itu lebih fokus padanya, lukisannya dibuat berwarna cerah, namun dirinya dibuat lebih tampak dengan sentuhan warna efek cahaya. Foto itu diberi judul, “An Art Gallery Could Never Be As Unique As You.”

“Hope you like it, Serafina,” suara itu.

Serafina pun mencari sumber suara itu dari mana. Ketika ia menoleh ke belakang, terlihat sosok Nayataka dengan kamera, mengambil fotonya tepat di depan foto yang ia lihat.
“Halo, kita ketemu lagi,” ucapnya sembari tersenyum.

Serafina tersenyum dan menunduk sekejap, lalu menghela napas. Senyumnya terulas lebih cantik lagi, membuat Nayataka tertegun.

Nayataka lah yang mengundangnya kemari. Ya, fotografer dengan nama pena Lintas Waktu itu adalah Nayataka. Dengan hati berdebar, dia memperlihatkan karyanya—foto hasil jepretannya yang paling ia suka sejauh ini. Dia menggambarkan sosok pelukis cantik nan lugu dengan apa adanya, berdiri tepat di depan lukisannya. Sosok pelukis yang mampu menghidupkan lukisannya merupakan hal yang langka, dan Nayataka begitu bersyukur bertemu dengan pelukis bernama Serafina ini.

Membawanya kembali percaya bahwa karya bisa hidup dan tidak sebatas sebuah karya tanpa makna. Serafina yang berdiri di depan lukisannya dengan senyuman tanpa peduli lainnya, tampak suratan bahagia. Itu memang selepas Nayataka menyatakan lukisannya begitu menyentuh. Bahkan di situ, lukisan-lukisan di dinding seakan iri dengan senyum cantik si pelukis, yang terindah di antara yang indah. Wajah mereka saling menatap, penuh rasa cinta dan kebahagiaan.

“Terima kasih, Nayataka…” ucap Serafina dengan penuh kehangatan.

Nayataka melangkah lebih dekat ke arahnya, dengan detak yang berpacu dan perasaan hangat menjalar di lubuk hatinya, merasakan getaran di dalam hatinya.

“Art gallery could never be as unique as you,” bisiknya.

Malam itu, di bawah cahaya lembut lampu galeri foto, Serafina menyadari bahwa keunikan bukan hanya tentang seni yang sempurna. Keberadaan Nayataka, cinta dan dukungannya, menjadikannya lebih dari sekadar seorang seniman. Dia menemukan keindahan sejati dalam diri sendiri, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditandingi oleh karya seni manapun. Begitupun yang dirasakan Nayataka.



Penulis: Airvia Yeanisa