
Tidak bisa dipungkiri bahwasanya semakin banyak perempuan yang cerdas, terdidik dan berprestasi. Bahkan sampai pada taraf bahwa perempuan mampu dan layak untuk dijadikan pemimpin dalam sebuah forum, struktur keorganisasian atau dalam dunia pekerjaan. Namun, hal ini dapat menjadi pemicu keraguan lelaki yang merasa minder ketika perempuan unggul dalam kecerdesan intelektual dan kepemimpinan. Mengapa demikian?
Menurut Eagly & Karau (2002) dalam Role Congruity Theory menjelaskan bahwa perempuan yang menampilkan sifat kepemimpinan dan kecerdasan dinilai “tidak sesuai” dengan stereotip femininitas yang diharapkan. Stereotip adalah pandangan umum yang menyamaratakan sifat atau perilaku bagi sekelompok orang.
Hal tersebut biasanya terlalu berlebihan, tidak akurat, dan sering kali menyesatkan. Sehingga perempuan terpaksa untuk membatasi jangkauan atau menutup diri. Padahal stigma permanen yang telah melekat ini bisa berdampak pada munculnya budaya patriarki. Yakni memposisiskan lelaki sebagai peran yang mendominasi daripada perempuan. Terkadang perempuan yang sering tampil dianggap mengambil peran lelaki sehingga bernilai melampaui batasan. Sebenarnya perempuan cerdas itu adalah cikal bakal untuk menjadi ibu yang berpendidikan bagi masa depan anak-anaknya.
Studi di Pakistan menemukan anak-anak dari ibu yang memiliki pendidikan mampu belajar 72 menit lebih lama per hari, serta memperoleh nilai ujian 0,23-0,32 standar deviasi lebih tinggi dibandingkan dengan anak dari ibu yang tidak bersekolah. Tetapi hal ini mampu memunculkan reaksi defensif (merasa terancam dan tersinggung) dari sebagian lelaki. Karena merasa direndahkan dan tersaingi.
Data dari UNECO (2023) menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam pendidikan lebih tinggi daripada lelaki di banyak negara berkembang, termasuk di Indonesia. Meskipun begitu, ruang bagi perempuan untuk tampil dan divalidasi masih terbatas.
Rasa minder yang diadopsi oleh lelaki menunjukkan bahwa adanya karakteristik ego yang belum berdamai. Bersumber dari definisi Male Ego-perasaan paling bangga dan hebat lelaki terkait dominasi, maskulinitas dan status sosial. Studi dari Szymanowicz & Furnham (2011) menunjukkan bahwasanya lelaki sering melebih-lebihkan kepintaran mereka sendiri, sedangkan Perempuan justru sering merendahkan dirinya sendiri.
Hal ini memberikan pemahaman bahwasanya lelaki merasa gengsi dan tersaingi ketika berhadapan dengan perempuan yang cerdas, sehingga lelaki bersikap menjaga jarak atau malah berdebat dengan tujuan untuk melemahkan argumen perempuan. Bersaing dengan lelaki bukanlah tujuan dari perempuan cerdas. Tetapi sebagai perlindungan terhadap dirinya sendiri, untuk masa depan anak-anaknya, dan untuk menaikkan derajat keluarga. Perempuan juga ingin memiliki potensi untuk berwawasan tinggi dan setara dengan lelaki. Bukan berkeinginan menggantikan peran lelaki.
Tidak hanya memiliki kecerdasan akademik, Perempuan juga memiliki kecerdasan emosional atau disebut dengan Emotional Intelligence (EI). Seperti sikap empati, kesadaran sosial, dan kemampuan mengelola emosi. Itulah sebabnya mengapa perempuan cendurung lebih peka terhadap lingkungan dan situasi. Sebuah kutipan dalam Economic Times (2024) menyebutkan bahwa EI merupakan aspek penting dalam kepemimpinan modern dan perempuan lebih unggul di bidang ini.
Kutipan tersebut menunjukkan bahwasanya perempuan lebih siap menghadapi situasi kerja yang penuh dengan ketidakpastian atau adanya tayangan drama sosial dan juga mampu mengelola hubungan sosial dan emosi di lingkungan kerja. Di era modern justru membutuhkan pemimpin yang mampu menggabungkan logika dengan empati karena ini lebih efektif dan konduksi. Kita tidak bisa bekerja hanya menggunakan kecerdasan akademik, karena bisa berdampak pada lingkungan sosial dan memiliki potensi kerugian bagi diri kita sendiri. Dan keunggulan perempuan adalah mampu menggabungkan kecerdasan akademik dan emotional. Namun, hal ini menjadi ancaman bagi lelaki yang masih terbelenggu dalam pikiran lama, Dimana para pemimpin itu harus bersikap tegas dan kaku serta tidak mau kalah dalam beragumen. Dan masih mengukur harga diri dari ‘siapa yang paling unggul’.
Rasa minder bukanlah solusi. Perempuan cerdas bukanlah musuh ataupun saingan. Justru perempuan cerdas bisa kita jadikan sebagai teman diskusi atau membangun relasi yang lebih baik lagi. Jadi, yang kita ubah bukan soal kecerdasan yang dimiliki oleh perempuan, melainkan pola pikir lelaki yang masih melihat perempuan hanya sebagai saingan.
Jika lelaki bisa melihat perempuan cerdas dengan kacamata sebagai teman diskusi, rekan kerja, maka rasa minder pun akan hilang. Sehingga hal itu akan menjadikan perempuan dan lelaki bisa bekerja sama dengan saling menghargai dan menerima kekurangan ataupun kelebihan masing-masing serta mampu menciptakan potensi sukses lebih hebat daripada sekadar bersaing.
Penulis: Nabila Rahayu, mahasiswa PBA Unhasy.
Editor: Rara Zarary