
Rumah sederhana itu tampak lebih membahagiakan ketika penghuninya penuh dengan Syukur dan cinta. Di sana lah keluarga kecil dari pasangan Mutia dan Hilman bertahan hidup, bersama dua anaknya yaitu Raka dan Aluna. Mereka bukan keluarga yang kaya raya, tetapi cukup. Cukup makan, cukup aman, cukup cinta. Dan lebih dari segalanya, cukup sadar bahwa membangun peradaban dimulai dari ruang sekecil rumah.
Mutia memiliki pekerjaan di bidang Pendidikan, dia menjadi guru di sekolah dasar negeri, sementara Hilman bekerja sebagai penulis lepas di rumah. Sejak awal menikah, mereka sepakat bahwa rumah bukan hanya tempat pulang, tapi ruang tumbuh yang utama. Mereka menolak pola lama yang menjadikan ibu sebagai pusat seluruh pekerjaan rumah tangga dan pendidikan anak, sementara ayah cukup hadir sesekali sebagai hakim atau pemberi keputusan.
“Kalau rumah ini adalah kelas,” kata Hilman suatu pagi saat mereka duduk sarapan, “maka kita berdua adalah gurunya. Sama-sama mengajar, sama-sama belajar.”
Mutia tersenyum. Ia menyeduh teh sambil menatap dua anak mereka yang tengah bersiap untuk sekolah. “Dan muridnya tidak hanya belajar dari omongan kita, tapi dari cara kita memperlakukan satu sama lain,” balasnya.
@@@
Setiap malam, rumah kecil itu berubah menjadi ruang diskusi. Di meja makan, Raka dan Aluna terbiasa bercerita—bukan hanya soal PR atau nilai ulangan, tapi juga tentang teman yang dibully, guru yang terlalu keras, atau pertanyaan sederhana seperti “kenapa laki-laki sering dianggap lebih pintar dari perempuan?”
“Menurut kalian, siapa yang paling banyak membaca buku di rumah ini?” tanya Hilman malam itu.
“Bunda!” jawab Raka cepat.
“Hmm, berarti perempuan juga bisa pintar, ya?” ucap Mutia, sambil mengedipkan mata.
Aluna tertawa, lalu menambahkan, “Aku mau jadi seperti Bunda. Tapi juga seperti Ayah, yang bisa ngetik cepat banget!”
Hilman dan Mutia saling pandang. Mereka tahu, percakapan kecil seperti itulah benih peradaban. Anak-anak tidak hanya tumbuh dengan bacaan, tapi juga dengan pengalaman melihat kesetaraan.
Hilman tidak keberatan mencuci piring atau menjemur pakaian. Ia tahu bahwa pekerjaan rumah bukan tanggung jawab perempuan. Sementara Mutia, meski lelah mengajar seharian, tetap menyediakan waktu untuk mendampingi anak-anak membaca buku atau menulis jurnal harian.
Kadang di akhir pekan, mereka membuat “Forum Keluarga”, sebuah kebiasaan kecil yang dirancang Hilman agar anak-anak terbiasa menyampaikan pendapat dan mendengarkan. Tidak ada suara yang lebih penting di sana. Setiap orang, termasuk Aluna yang masih TK, diberi waktu yang sama untuk bicara.
Suatu hari dalam forum itu, Raka berkata, “Aku tidak suka saat temanku bilang laki-laki tidak boleh menangis.”
Hilman menatap anaknya dengan lembut. “Kalau kamu sedih, kamu boleh menangis. Menangis itu manusiawi, bukan laki-laki atau perempuan.”
Mutia menambahkan, “Berani menangis itu tanda bahwa kamu tahu apa yang kamu rasakan. Itu bukan kelemahan.”
Aluna yang duduk di samping kakaknya tiba-tiba berteriak, “Berarti aku kuat, soalnya aku nangis tiap hari!”
Mereka semua tertawa.
@@@
Keluarga ini tidak selalu mulus. Kadang Hilman stres dengan tenggat pekerjaan, dan Mutia kelelahan dengan tuntutan sekolah. Tapi mereka tidak menjadikan kemarahan sebagai alat kuasa. Mereka belajar untuk meminta maaf di depan anak-anak. Bagi mereka, orang tua yang baik bukan yang tidak pernah salah, tapi yang mau mengakui kesalahan.
Pernah suatu malam, Hilman membentak Raka karena kesalahan kecil. Setelah reda, ia mendekati anaknya dan berkata, “Ayah salah tadi. Harusnya tidak marah seperti itu. Maaf ya.”
Raka mengangguk, lalu memeluknya. “Gak apa-apa, Ayah. Tapi aku senang Ayah minta maaf.”
Mutia yang melihat itu dari dapur hanya tersenyum. Ia tahu, permintaan maaf itu bukan hanya meredakan amarah, tapi mengajarkan empati.
Ada satu prinsip yang selalu mereka pegang dalam mendidik anak: hormati pertanyaan, jangan buru-buru memberi jawaban.
Saat Aluna bertanya kenapa tidak semua orang punya rumah, Mutia tidak langsung menjelaskan soal ekonomi atau ketimpangan sosial. Ia balik bertanya, “Menurut Aluna, apa yang bisa kita lakukan kalau ada teman yang tidak punya rumah?”
“Bagi makanan,” jawabnya.
Hilman menambahkan, “Itu ide bagus. Kita bisa mulai dari yang kita bisa.”
Dan begitu pula ketika Raka mempertanyakan kenapa ada teman yang tidak bisa lanjut sekolah karena harus bantu orang tua. Mutia dan Hilman tidak hanya menjawab, tapi mengajak anak-anak ikut program donasi buku. Di rumah mereka, mendidik bukan sekadar menasihati, tapi memberi ruang untuk mengalami.
Mutia dan Hilman tahu, membesarkan anak bukan soal mencetak mereka menjadi “anak pintar” yang juara kelas. Tapi menciptakan manusia yang utuh: yang tahu mencintai, menghormati, dan berdiri untuk kebenaran.
Dalam keluarga ini, mereka tidak hanya mendidik anak. Mereka sedang membentuk peradaban kecil yang menolak pola patriarki, memanusiakan semua peran, dan menjadikan rumah sebagai ruang belajar yang paling jujur.
Pada akhirnya, bukan jumlah mainan atau fasilitas mahal yang membuat anak tumbuh, tapi seberapa aman dan dihargainya mereka di rumah sendiri. Dan dalam rumah bata merah yang sederhana itu, peradaban kecil sedang tumbuh pelan, tetapi pasti. Dengan kasih yang setara, hormat yang dibagi rata, dan kerja sama yang tidak mengenal hierarki.
Rumah mereka bukan sempurna. Tapi cukup untuk membesarkan generasi yang tahu bahwa cinta bukan kuasa, dan mendidik bukan memerintah.
Penulis: Ummu Masrurah