
Untuk Indonesiaku
Apakah…
Engkau terlalu agung untuk kami nikmati,
hingga para pemimpin menjadikan pulaumu
sebagai barang dagangan?
Apakah…
Engkau terlalu dermawan untuk kami,
hingga rakyatmu dipelihara
oleh negeri tetangga?
Apakah…
Engkau terlalu sabar terhadap kami,
hingga kau biarkan kami terjerat
dalam ketidakpastian hukum dan kemiskinan?
Apakah…
Engkau sudah jemu akan pujian,
hingga membiarkan kami dihina, disiksa,
dan jadi bahan tawa dunia?
Apakah…
Engkau lelah mencari pemimpin jujur,
hingga kau biarkan mereka
menelan uang rakyat tanpa mengunyah?
Apakah…
Engkau terlalu cerdas untuk kami,
hingga pendidikan kami
tak lagi kau pedulikan?
Apakah…
Engkau telah kehabisan air jernih,
hingga kami harus menangis
untuk menyuburkan tanah sendiri?
Indonesiaku
Kepada siapa harus kulontarkan pertanyaan ini?
Di mana harus kucari jawabannya?
Aku takut… tak akan ada yang menjawab.
Suaraku menjadi getah,
lekat, lebih dari daging pada tulang,
mengikat pada argumen yang menggembung:
kesewenangan, kredibilitas yang rapuh,
dan cahaya yang seharusnya
menembus gulita intimidasi.
Simbol bendera putih sebaiknya
hanya berkibar seusai merah.
Negara
Negara kini terasa seperti sajian lezat—
dengan rakyat sebagai bumbu murah.
Tersedia di mana-mana.
Lebih murah dari nilai tanah pijakan.
Tanah ini akan bercerita
tentang hidangan apa
yang disajikan setelah tidur,
setelah memfotokopi uang—
atau bahkan jabatan.
Aku harus menjadi kaki mereka
agar bisa mematahkan kaki yang lain.
Tapi bagaimana jika otak mereka
masih menyimpan rekaman
tentang cara menumbuhkan kaki menjadi kepala?
Apakah tak ada cara untuk mematahkan itu juga?
Beli Budaya
Siapa di sana?
Indonesia? Ini aku—
Aku Indonesia.
Ini garudaku di dada,
ini pulaiku tempat tidur lelap,
ini gunungku penyejuk mata,
ini budayaku—
berkilau, saling melengkapi.
Ini alamku, hasilnya untuk dinikmati.
Hargai aku, tapi jangan jual aku.
Rawat aku, tapi jangan kurung aku.
Aku malu… pada Sang Pencipta.
Penulis: Amalia Dwi Rahmah
Editor: Rara Zarary