
Di pondok kami, kamar nomor tiga belas selalu punya reputasi miring. Bukan angker, bukan pula tempat penyimpanan kitab-kitab langka, tapi karena isinya para santri paling nyeleneh. Mereka lebih sering berdiskusi soal hidup dibanding soal hafalan. Kalau ada kitab kuning yang dibuka, pasti di sampingnya ada kopi sachet dan sisa cireng setengah gosong.
Semua kehebohan itu pecah gara-gara hal paling sepele: air kran pondok mulai sering mati. Biasanya sehari dua kali. Tapi akhir-akhir ini, kalau pagi ngantuk belum hilang, air sudah hilang duluan.
“Wah, jangan-jangan sumurnya dipakai mandi jin,” kata Naim sambil duduk selonjoran.
Tapi keesokan harinya, Syahdan membawa kabar lebih serius.
“Tanah di desa sebelah mau ditambang batu bara,” katanya, sambil lipat sarung. “Airnya bakal keruh. Debunya bisa nyampe sini kalau musim kemarau.”
Fathan, santri pindahan dari kota yang baru dua pekan di kamar itu, langsung duduk tegak. “Tambang? Serius? Ini pondok, bukan tambang. Gimana ceritanya?”
Syahdan, yang memang kutu buku kelas berat, mengeluarkan kliping koran dari rak bukunya yang biasanya berisi kitab Alfiyah. “Baca nih. Konsesi tambang. Perusahaan-perusahaan di belakangnya banyak yang alamatnya fiktif. Tapi izinnya tembus. Biasanya karena dibekingi pejabat.”
Rijal menutup kitabnya. “Dulu Imam Ghazali pernah bilang, kalau ilmu nggak dipakai buat mencegah kerusakan di bumi, itu ilmunya jadi bumerang.”
Naim nimbrung, “Bumerang itu senjata Australia, ya?”
Suasana hening sebentar, lalu meledak tawa.
Tapi di balik tawa itu, ada gelisah yang menggantung. Mereka sadar, ngaji tiap hari tapi sumurnya nanti keruh, itu seperti belajar berenang tapi di kolam yang bocor.
“Gini aja,” kata Syahdan, “kita mulai dari sini. Kamar ini harus jadi contoh. Plastik dikurangi, air ditampung, jangan buang-buang. Kita mulai dulu.”
Fathan tersenyum. Akhirnya, ada juga hal serius di kamar ini yang bukan cuma soal rebutan cireng atau debat tafsir sambil ngantuk.
Dan malam itu, Kamar 13 berubah. Tetap berantakan. Tetap ada poster “Lawan Kapitalisme” yang mulai kusam. Tapi mulai ada satu botol air bekas yang sekarang jadi tempat tampungan darurat. Mulai ada ember khusus air cucian. Dan mulai ada percakapan baru:
“Kalau beli es teh jumbo, bilang ke abangnya, kalo kita bawa tumbler.”
“Kalau mandi, matiin kran waktu sabunan.”
“Kalau nyuci, air bekasnya buat siram tanaman.”
Terdengar sederhana. Tapi di kamar paling ribut ini, itu seperti revolusi kecil. Ngaji fikih sih tetap jalan. Tapi malam itu, mereka mulai ngaji ekologi. Bukan dari kitab, tapi dari sisa air keran dan suara koran yang kusut.
Dan semuanya baru dimulai.
***
Beberapa hari setelah eksperimen pengurangan plastik dan penghematan air, kamar 13 mulai jadi bahan omongan.
“Itu kamar paling ribut tapi paling peduli lingkungan,” celetuk santri kamar sebelah sambil menyendok bubur.
Di serambi pondok, mulai ada pembicaraan aneh-aneh.
“Santri kok kayak aktivis LSM,” bisik salah satu pengurus.
“Katanya mereka mau ngadain pelatihan daur ulang plastik,” sambung yang lain.
Dan puncaknya, suatu sore setelah asar, datang kabar paling absurd.
“Pak Lurah mau datang Jumat depan. Katanya mau ngobrolin soal proyek tambang itu ke pondok,” ujar Seno, santri kamar 8 yang hobinya jadi mata-mata kelas teri.
“Lho, kok bisa?” Fathan melongo.
“Kayaknya ada yang laporan kalau pondok mulai ribut soal tambang. Bisa jadi, kita dianggap mulai bikin suasana nggak enak.”
Rijal menatap serius, “Kalau kayak gini, berarti bukan cuma ngaji ekologi. Kita bakal ngaji politik juga sebentar lagi.”
“Kalau sampai rame, aku bagiin cireng suka-suka,” kata Naim setengah bercanda.
“Kalau rame,” sahut Syahdan sambil senyum tipis, “kita bawa kitab. Biar tahu, kalau santri bukan cuma paham halal haram makanan, tapi juga halal haram kebijakan.”
Malamnya, kamar 13 seperti biasa riuh. Tapi malam itu, bukan cuma suara kipas angin rusak atau bunyi cicak rebutan serangga. Ada yang lebih berat: diskusi tentang strategi menghadapi kunjungan Pak Lurah.
“Gimana kalau kita undang warga desa juga? Biar nggak cuma santri yang ribut,” usul Fathan.
“Warga itu dilematis,” jawab Syahdan. “Tambang kadang dianggap berkah. Ada kerja, ada uang. Tapi nggak semua paham dampak jangka panjangnya. Kita nggak bisa asal seruduk.”
Rijal menambahkan, “Dalam fikih muamalah, jual beli hasil bumi boleh, tapi kalau sampai merusak lingkungan yang jadi sumber hidup orang banyak, itu masuk kategori madharat. Prinsipnya: ambil manfaat, cegah kerusakan.”
“Kayak beli cireng, harus tahu kapan minyaknya udah nggak layak pakai,” timpal Naim sambil nyengir.
***
Malam itu, di tengah bau wajan gosong dan sisa air kran yang tinggal setengah ember, mereka merancang sesuatu yang mungkin belum pernah ada di sejarah pondok.
Sebuah diskusi terbuka. Tema: “Tambang, Air, dan Masa Depan Desa Kita.”
Bukan seminar. Bukan debat. Cuma diskusi ringan. Tapi bagi santri kamar 13, itu revolusi.
Dan semua sepakat: acara itu akan mereka gelar tepat setelah Jumatan. Di serambi pondok. Pak Lurah boleh datang. Pengurus pondok boleh ikut. Warga desa boleh duduk bareng. Dan semua boleh bicara.
Di tengah kesibukan menyiapkan acara, Fathan menulis satu kalimat besar di poster kertas:
“Ngaji itu bukan cuma soal halal haram makan. Tapi halal haram masa depan.”
Dan kamar 13 yang biasanya cuma ribut soal sandal hilang dan rebutan cireng malam itu berubah jadi pusat gerakan paling absurd: santri kampung menantang logika tambang.
Ini belum selesai. Tapi aroma revolusi kecil sudah mulai tercium, di antara cireng gosong dan kertas-kertas yang mulai penuh catatan.
Dan sekali lagi, semuanya baru saja dimulai.
Bersambung……
Penulis: Sya’ban Fadol. H
Editor: Rara Zarary