Ilustrasi keluarga yang saling mendukung (sumber: iStock)

Menyuruh tidak sama dengan membiasakan, menyuruh juga tidak sama dengan mengajak apalagi meneladankan. Kalimat ini terdengar sederhana, namun memiliki makna yang dalam dan relevan dalam dunia pola asuh anak. Banyak orang tua merasa telah membimbing anak-anaknya hanya karena telah memberikan perintah atau instruksi. “Cuci piring sana.” “Belajar dulu, jangan main terus.” “Beresin kamar.”

Kalimat-kalimat tersebut sangat sering terdengar di rumah-rumah, tetapi apakah ini yang disebut mendidik? Apakah ini bentuk bimbingan yang utuh? Padahal, mendidik dan membimbing sejatinya lebih dari sekadar menyuruh. Anak-anak membutuhkan contoh nyata, pendampingan, dan keterlibatan emosional dari orang tua dalam menjalani keseharian mereka. Sayangnya, banyak orang tua di Indonesia masih mempraktikkan pola asuh yang hanya menekankan pada perintah tanpa keterlibatan yang aktif, yang dalam jangka panjang dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak.

Baca Juga: Bukan Hanya Seorang Ibu, Menjadi Ayah Juga Susah

Anak-anak yang hanya disuruh tanpa diajak atau dicontohkan, tidak memahami secara utuh alasan di balik perilaku yang diminta. Mereka cenderung melakukan sesuatu karena takut, bukan karena memahami nilai di balik tindakan tersebut. Akibatnya, saat tidak ada yang mengawasi, anak-anak bisa saja berhenti melakukan hal baik yang dulunya hanya mereka kerjakan karena takut dimarahi.

Pola pengasuhan yang didominasi oleh instruksi sepihak sering kali membuat anak merasa tidak dipahami. Ini menjadi awal dari jarak emosional antara anak dan orang tua. Dalam jangka panjang, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang tidak mandiri, atau sebaliknya menjadi pemberontak. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), salah satu penyebab tingginya kasus kenakalan remaja adalah kurangnya komunikasi dua arah antara anak dan orang tua. Ketika anak terbiasa hanya disuruh tanpa pernah diajak berdialog atau diberi ruang untuk memahami, mereka akan kehilangan makna dari tindakan yang mereka lakukan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Mengajak berarti ikut terlibat. Misalnya, ketika ingin membiasakan anak mencuci piring, orang tua bisa mulai dengan mengajak anak melakukannya bersama-sama. Tunjukkan caranya, berikan contoh, dan jelaskan alasan kenapa penting mencuci piring setelah makan. Lama-kelamaan, anak akan terbiasa dan bisa melakukannya sendiri tanpa harus disuruh. Proses ini memerlukan kesabaran, tetapi hasilnya jauh lebih baik karena membentuk kesadaran dan kebiasaan yang berasal dari pemahaman, bukan dari ketakutan.

Salah satu kesalahan umum dalam pola asuh di banyak keluarga adalah anggapan bahwa “anak harus patuh pada orang tua” tanpa mempertimbangkan bahwa kepatuhan yang sehat lahir dari keterhubungan emosional dan rasa saling percaya. Anak bukan robot yang bisa bekerja dengan perintah, mereka individu yang butuh dihargai dan dipahami. Ketika orang tua hanya fokus pada menyuruh, mereka kehilangan kesempatan untuk membangun relasi yang kuat dan bermakna dengan anak-anak mereka.

Baca Juga: Prinsip Perkembangan dan Peran Orang Tua dalam Parenting Modern

Bahkan, dalam konteks yang lebih luas, pola asuh yang hanya menyuruh juga dapat memperkuat konstruksi patriarki dalam rumah tangga. Anak laki-laki yang dibesarkan dengan terus-menerus diperintah untuk menjadi “kuat”, “jangan menangis”, “jangan manja”, tanpa ruang untuk diajak mengelola emosinya, akan tumbuh menjadi laki-laki yang bingung tentang perasaannya sendiri.

Sementara itu, anak perempuan yang hanya disuruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah, membantu dapur, dan menjaga adik tanpa pernah diajak memahami makna peran domestik secara adil, akan menganggap bahwa itulah satu-satunya perannya di dunia yakni pelayan rumah tangga. Tidak heran jika dalam banyak survei tentang persepsi gender di Indonesia, seperti yang dirilis oleh UN Women Indonesia, masih banyak remaja yang menganggap bahwa pekerjaan rumah adalah tugas perempuan dan pengambilan keputusan adalah hak laki-laki. Pola asuh yang didasarkan hanya pada perintah telah ikut menyumbang pada ketimpangan ini.

Padahal, menurut Psikolog Vera Itabiliana Hadiwidjojo dari Lembaga Psikologi Terapan UI, anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang mendukung, penuh komunikasi terbuka dan keterlibatan aktif dari orang tua, akan tumbuh menjadi individu yang percaya diri, berani mengambil inisiatif, dan punya empati tinggi terhadap sesama. Ia menyebutkan bahwa pembiasaan bukan sekadar perintah adalah kunci dari pembentukan karakter anak sejak usia dini. Ketika anak terbiasa diajak berdiskusi, diajak memilih, diajak melakukan hal bersama, mereka akan merasa bahwa dirinya dihargai dan punya kendali atas tindakannya.

Menurut Vera, orang tua mestinya sejak dini membiasakan diri untuk memenuhi kebutuhan anak, secara fisik maupun emosi, dengan berkomunikasi di dalam pengasuhan. Mengawali komunikasi dengan anak itu, kata Vera, bisa dengan menanyakan, ‘apakah kamu memiliki kesulitan? Kalau ada ayo kita cari solusinya’.

Baca Juga: Bahaya Pola Asuh Otoriter

Maka penting bagi orang tua untuk merefleksikan kembali gaya pengasuhan mereka. Apakah selama ini sudah benar-benar membimbing, atau hanya sekadar menyuruh? Apakah anak-anak diajak dan dibiasakan untuk hidup disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab? Atau mereka hanya menjalankan rutinitas karena tekanan dan ketakutan? Jangan sampai kita sebagai orang tua hanya sibuk menuntut, tapi lupa untuk mendampingi. Jangan sampai kita ingin anak menjadi pribadi baik, tapi tidak menyediakan waktu untuk menjelaskan dan memberi contoh.

Pengasuhan adalah proses yang panjang dan tidak instan. Membimbing anak adalah tentang bagaimana kita hadir, tidak hanya fisik tapi juga hati dan pikiran. Ini tentang bagaimana kita menjadi teladan dalam tindakan sehari-hari. Anak belajar bukan dari apa yang mereka dengar, tapi dari apa yang mereka lihat dan alami. Maka daripada terus menyuruh, lebih baik kita mulai membiasakan dan mengajak mereka, sedikit demi sedikit, dengan penuh cinta dan kesabaran.

Jika kita ingin membentuk generasi yang tangguh, setara, mandiri, dan penuh empati, maka kita harus mulai dari cara yang sederhana: berhenti menyuruh, mulailah mengajak. Membiasakan anak dengan nilai-nilai kebaikan bukan dengan suara keras, tapi dengan keterlibatan penuh dan kehadiran yang hangat. Sebab itulah bentuk bimbingan sejati, yang akan bertahan dalam ingatan dan kepribadian anak hingga dewasa nanti.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary