Ilustrasi menjaga hati agar tidak tersinggung (sumber: albata)

Setiap manusia memiliki hati, dan hati memiliki batas rapuhnya masing-masing. Tersinggung adalah hal yang sangat manusiawi. Tapi dalam Islam, perasaan tersinggung tidak boleh dibiarkan berlarut. Ia harus dikenali, dikendalikan, dan dipulihkan bukan dipelihara apalagi dijadikan alasan untuk merusak hubungan atau menyebar permusuhan.

Secara umum, tersinggung adalah perasaan tidak nyaman atau sakit hati akibat perkataan atau perlakuan orang lain yang dianggap menyindir, merendahkan, atau menyakiti harga diri. Ia bisa timbul dari ucapan langsung maupun tidak langsung, dari tindakan nyata atau hanya persepsi dalam pikiran kita sendiri.

Namun, penting untuk disadari bahwa perasaan tersinggung sering kali lebih banyak dipengaruhi oleh cara kita menafsirkan suatu situasi daripada kenyataan objektifnya. Jika tidak disikapi dengan bijak, perasaan tersinggung bisa berkembang menjadi dendam, prasangka buruk, bahkan fitnah. Satu kalimat orang lain bisa terus kita ulang dalam kepala, diresapi berlebihan, hingga kita merasa perlu “membalas” atau menjauhkan diri secara emosional.

Baca Juga: Sikap Ini Bisa Bikin Orang Lain Nyaman Sama Kamu

Tersinggung juga bisa menjadi cermin bahwa hati kita belum cukup lapang menerima perbedaan, kritik, atau realita. Kita terlalu mengharapkan validasi dari orang lain, sehingga ketika tidak mendapatkannya, kita marah, kecewa, atau merasa direndahkan. Perasaan tersinggung yang terus menerus akan membuat kita sulit belajar dari kritik. Kita jadi defensif, menutup diri, dan lebih sibuk membela harga diri daripada memperbaiki kesalahan. Padahal, dalam hidup, kritik adalah bagian penting dari proses pertumbuhan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Islam adalah agama yang menekankan kelapangan dada, kerendahan hati, dan kesabaran dalam menghadapi perlakuan yang tidak menyenangkan. Tersinggung adalah emosi yang wajar, tapi Islam tidak membiarkan emosi ini berkembang menjadi penyakit hati. Menahan amarah dan memilih lapang dada, “…dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali Imran: 134)

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa dalam menghadapi perlakuan buruk yang bisa membuat kita tersinggung Islam justru mengajarkan untuk menahan amarah, bukan meluapkannya. Bahkan, Allah mencintai orang yang mampu mengendalikan emosinya dan memberi maaf.

Rasulullah sebagai Teladan adalah sosok yang sangat sabar dan tidak mudah tersinggung. Bahkan ketika Rasulullah berjalan bersama sahabat Anas bin Malik r.a, ketika keduanya berjalan, seorang Badui menarik selendang yang dikenakan Rasulullah di leher dengan kasar dan berkata kurang sopan, Rasulullah tidak marah, Rasulullah memperhatikan wajahnya. Rasulullah tersenyum. Rasulullah kemudian memerintahkan sahabat Anas bin Malik r.a untuk memberikan perbekalan keduanya kepada Badui tersebut. (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz III, halaman 75).

Hadits ini diriwayatkan oleh Muttafaq Alaih dari sahabat Anas bin Malik r.a. Hadits ini dikutip oleh Imam Al-Ghazali dalam rangka menjelaskan kesabaran atas perilaku yang tidak menyenangkan sebagai ujian terbesar husnul khuluq atau akhlak terpuji. 

Baca Juga: Menahan Amarah Demi Kedamaian Hidup

Pesan ini bukan berarti kita tidak boleh merasa emosi, tapi menunjukkan bahwa kita harus melatih diri untuk mengendalikan emosi, termasuk perasaan tersinggung yang seringkali adalah bentuk dari kemarahan yang terpendam.

Banyak dari rasa tersinggung muncul karena kita langsung berburuk sangka atas ucapan atau tindakan orang lain. Padahal, belum tentu orang tersebut berniat menyakiti kita. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka buruk (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka buruk itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Sikap mudah tersinggung bisa membuat kita mudah bersangka buruk, dan ini adalah sumber dosa serta keretakan hubungan sosial. Karena itu, Islam memerintahkan kita untuk menjaga prasangka baik. Maka dari itu, yang perlu kita lakukan bukan mematikan rasa tersinggung, tetapi: Mengevaluasi niat orang lain, jangan langsung menghakimi. Mengelola emosi dengan doa dan dzikir, karena hati yang dekat dengan Allah akan lebih tenang.

Selain itu, belajar rendah hati, dengan menyadari bahwa kita pun tidak luput dari salah dan bisa saja pernah menyakiti orang lain tanpa sadar. Mengedepankan maaf, sebab memberi maaf adalah jalan menuju ketenangan hati dan ridha Allah.

Tersinggung adalah rasa, bukan identitas. Jangan jadikan perasaan itu sebagai pembenaran untuk terus menyalahkan orang lain atau menutup diri. Justru, sebagai Muslim, kita diajarkan untuk terus meluaskan hati. Semakin besar jiwamu, semakin sulit kamu merasa tersinggung oleh hal-hal kecil.

Baca Juga: Keutamaan Orang yang Menahan Amarah

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Jadilah seperti pohon yang ketika dilempar batu, ia justru membalas dengan buah.” Orang yang matang secara rohani tidak mudah tersulut oleh ucapan yang tidak menyenangkan. Ia tahu bahwa marah atau tersinggung hanya akan melelahkan. Maka ia memilih memberi maaf, tersenyum, dan melanjutkan hidup dengan hati lapang.



Penyusun: Albii
Editor: Rara