
Pulang
Inginku pulang
meski tidak selama dan sepanjang
permainan sepak bola
di tanah lapang
aku ingin tetap pulang
sejenak…, meninggalkan awan turun di gunung salak
beranjak…, menyaksikan lembaran hitam dan putih yang hidup
hidup ditempuh dengan mati
mati mengantar pada hidup
di atas mati menyaksikan hidup
tentang orang, tanah, air, dan lain-lain
hingga setengah hari
dan tibalah di depan pintu
yang penuh kasih dan sayang
tidak perlu kendaraan bintang lima
tidak usah menenteng hasil alam
dan tidak perlu bergepok-gepok uang
yang penting pulang
dan selamat
selamat menjelang bulan yang suci
selamat ketika mengarungi bulan suci
dan selamat setelah berenang
dalam samudera bulan suci
dan selamat, hingga benar-benar pulang nanti
Rajab, 1446 H
Dekat
Jika pulang telah tiba
aku ingin lebih dekat dengannya
jika pulang bukan sekadar wacana
aku ingin lebih mesra dengannya
kemudian angin berbisik
“Apakah menunggu pulang dulu, untuk lebih dekat?”
“Apakah pulang, mampu membuatmu lebih mesra dengannya?”
jika harus ada syarat,
maka itu bukan dekat
apalagi…, membuka tabir luhur yang bernama cinta
tahukah engkau?
tanpa pulang, tetap bisa lebih dekat dengannya
tanpa pulang, tetap bisa bermesra dengannya
tahukah engkau?
sejatinya saban diri dekat dengannya
tidak berlaku rumus fisika tentang jarak
yang diperoleh dari kecepatan dikalikan dengan waktu
kedekatan yang tak terdefinisikan
melawan hukum fisika
tidak menerima logika
dan tidak menerima berbagai jenis syarat
dari mawar merah di pinggir jalan
hingga bunga yang paling agung di kebun raya
Bogor, 15 Januari 2025
Lelah (I)
Hari demi hari
puisi tak kunjung
terlahir kembali
lelah jiwa dan raga ini
ke mana, hamba mengadu?
apakah ke angin bulan januari
yang tak menentu
atau, hanya cukup mengadu
pada kertas putih nan lusuh
yang terlipat di saku celana
sebelah kanan
hamba akan terus melawan
rasa lelah yang bisa tertahan
melawan dengan tulisan
melawan dengan tindakan
dan melawan, dengan….
apa yang pembaca inginkan
Bogor, Januari 2025
Lelah (II)
Aku meletakkan peci
membuka kemeja koko
kancing demi kancing
aku pegang dengan penuh perhatian
melapas dari kaitnya
dengan perlahan
dan bersiap merebahkan badan
tiba-tiba…
pintu bersuara
memintaku
menutup dari luar saja
ah…, sial
sanubari berujar
namun jiwa dan raga
tetap menutup pintu
dari luar
dan langkah kaki
dari menapaki keramik putih
hingga menginjak tanah
dengan ragam warna di atasnya
berkali-kali, kaki membelai
rerumputan yang panjang
dan menapaki jalan yang dihiasi bebatuan
hingga membuat otot-otot kaki kencang
pegal kaki…,
namun lebih bahaya
pegal sanubari
pegal badan…,
bisalah sembuh dengan pijitan
pegal sanubari….,
harus mencari
yang benar-benar ahli
karena itu,
lelah yang amat sangat berarti.
Pertengahan Januari, 2025
Penulis: Yogi Abdul Gofur