
Aku seorang perempuan yang lahir dari rahim Ibu Marsinah. Sejak usia 15 tahun, aku sudah memutuskan berhenti sekolah. Bukan karena aku tak suka belajar, tapi karena kenyataan hidup memaksaku memilih jalan yang berbeda. Ibuku sudah lama tiada, meninggal setelah melahirkan adik bungsuku, Rafi, lima tahun lalu. Sejak itu, aku menjadi ibu sekaligus kakak bagi dua adikku, Iqbal yang kini duduk di kelas dua SD, dan Rafi yang masih duduk di taman kanak-kanak.
Kami tinggal di rumah kayu sederhana yang dibangun di pinggiran kota, berdiri di atas tanah sewaan yang tiap tahun harus dibayar. Ayah bekerja sebagai pengumpul dan penjual barang rongsokan. Pagi-pagi ia akan berangkat mendorong gerobaknya keliling kampung hingga ke kota, mengumpulkan kardus, botol plastik, dan logam tua yang bisa dijual ke pengepul.
Setiap rupiah yang ia bawa pulang, cukup untuk membeli beras, minyak goreng, dan terkadang, sepotong tempe untuk lauk. Tapi, untuk menyekolahkan Iqbal dan Rafi, kami butuh lebih dari sekadar cukup. Kami butuh buku, seragam, iuran sekolah, dan ongkos harian. Aku tidak ingin mereka bernasib sepertiku, berhenti sekolah di kelas 2 SMP karena tak sanggup bayar.
Jadi, aku mulai membuat gorengan. Pisang goreng, tahu isi, bakwan, dan tempe mendoan. Setiap subuh aku bangun, meracik adonan, lalu menggoreng satu-satu dalam wajan tua yang tinggal setengah hitam. Setelah itu, aku akan berjalan kaki menjajakan gorengan dari gang ke gang. Jika dagangan laku semua, aku bisa membawa pulang Rp50.000 hingga Rp70.000. Tapi tak selalu semudah itu.
Kadang hujan mengguyur pagi, dan tak ada yang ingin membeli. Kadang, gorenganku tak cukup enak karena aku hanya punya sedikit bumbu. Tapi aku tidak menyerah. Aku tahu, jika aku berhenti, maka masa depan Iqbal dan Rafi juga akan ikut mati.
Setelah menjajakan gorengan, aku bekerja paruh waktu di rumah Bu Rini, seorang istri pejabat yang tinggal tak jauh dari kampung kami. Aku menyapu, mengepel, mencuci baju, dan sesekali memasak. Bu Rini orangnya baik, meski kadang kata-katanya menusuk. Tapi aku menahannya demi upah Rp100.000 per hari.
Aku menabung sebagian uang itu untuk beli seragam baru Iqbal yang mulai sempit, dan sepatu Rafi yang bolong-bolong. Aku ingin adik-adikku tidak merasa rendah diri ketika ke sekolah.
“Aku mau jadi polisi, Mbak!” kata Iqbal suatu malam saat kami makan nasi dan tahu goreng.
“Kalau Rafi mau jadi apa?” tanyaku sambil tersenyum.
“Aku mau jadi guru kayak Bu Nisa!” sahutnya sambil tertawa kecil.
Aku menahan air mata. Dalam hati aku berdoa, Tuhan, tolong jangan ambil mimpi mereka seperti Kau ambil mimpiku. Biarkan aku cukup jadi batu pijakan agar mereka bisa melompat lebih tinggi.
***
Ayahku bukan orang banyak bicara. Wajahnya keras, tangannya kasar, dan tubuhnya mulai bungkuk karena terlalu sering mendorong gerobak. Tapi malam hari, saat dia berpura-pura tidur, aku sering melihat matanya terbuka menatap langit-langit rumah. Mungkin memikirkan bagaimana kami akan bertahan esok hari.
Suatu malam, aku memberanikan diri berkata, “Yah, bagaimana kalau aku coba buka warung gorengan kecil di depan rumah? Biar enggak keliling terus.”
Ayah mengangguk perlahan. “Kalau kamu sanggup, Ayah bantuin cari kayu bekas buat gerobak kecil.”
Sejak itu, aku mulai berjualan dari rumah. Aku letakkan papan triplek di atas dua batu bata, di bawah pohon mangga. Perlahan-lahan, pembeli mulai datang. Anak-anak sekolah yang lewat, tukang ojek yang nunggu penumpang, bahkan Bu Rini sesekali mampir membeli sekantong tahu isi.
Hari-hari terus berlalu. Aku tidak pernah beli baju baru, bahkan baju lebaranku adalah jahitan tangan dari sisa kain pemberian tetangga. Tapi Iqbal dan Rafi selalu punya seragam bersih dan uang saku, meskipun cuma dua ribu per hari.
***
Tahun ini, Iqbal naik ke kelas empat. Rafi akan masuk SD. Aku mulai khawatir apakah aku masih mampu membiayai keduanya. Tapi Tuhan seperti menjawab doaku lewat cara-Nya sendiri.
Suatu sore, saat aku sedang mencuci di rumah Bu Rini, datanglah seorang perempuan muda membawa kamera. Dia wartawan dari sebuah majalah lokal.
“Namamu Zainab, ya? Aku dengar cerita dari Bu Rini soal kamu dan adik-adikmu,” katanya.
Aku mengangguk gugup. Ia bertanya banyak hal, lalu memotretnya. Dua minggu kemudian, foto dan kisahku terpajang di halaman utama rubrik “Perempuan Tangguh”.
Dari situlah segalanya mulai berubah.
Seorang dermawan membacanya dan menghubungi Bu Rini. Mereka datang ke rumah kami dan menawarkan bantuan beasiswa penuh untuk Iqbal dan Rafi hingga kuliah nanti.
“Dan kalau kamu mau, Zainab, kami juga bisa bantu kamu ikut kursus memasak profesional,” kata mereka.
Aku hanya bisa menangis.
Bersama bantuan itu, Ayah juga mendapat donasi gerobak rongsokan baru, lebih ringan dan tertutup. Ia tak lagi kehujanan di jalan. Aku sendiri kini belajar di sebuah lembaga pelatihan, dan setelah enam bulan, aku mulai menerima pesanan makanan ringan untuk acara-acara kecil. Usahaku perlahan tumbuh.
***
Lima tahun telah berlalu.
Hari ini, aku berdiri di halaman sekolah, menatap Iqbal yang memakai seragam SMA dan Rafi dengan seragam biru-putihnya. Mereka baru saja menerima penghargaan karena prestasi akademik terbaik.
Ayah berdiri di sampingku, kini rambutnya sudah putih semua. Tapi senyumnya belum pernah selapang ini. Aku meraih tangannya dan menggenggam erat.
“Yah, kita berhasil.”
Ia menoleh, air mata menggenang di pelupuk matanya. “Kamu yang berhasil, Nak. Ayah cuma dorong gerobak.”
Aku menggeleng. “Kalau Ayah tidak dorong gerobak itu, aku tidak akan pernah belajar tentang perjuangan.”
Di rumah kecil kami, kini berdiri etalase sederhana berisi aneka kue dan gorengan. Di atasnya, tertulis papan nama “Kue Rumahan & Gorengan Cinta”.
Setiap pagi, kami masih bangun Subuh. Tapi kini bukan karena harus mengejar hidup, melainkan karena kami telah berhasil menggenggamnya.
Aku tahu satu hal pasti, tidak ada gorengan yang terlalu kecil jika dibuat dengan cinta dan perjuangan. Karena di dalamnya, tersimpan mimpi yang sedang digoreng perlahan, hingga matang menjadi masa depan.
Penulis: Ummu Masrurah