Ilustrasi seorang sarjana perempuan yang sedang mencari lowongan untuk mengajar.

Samira duduk memeluk lutut, menatap layar ponselnya yang kembali tak menampilkan harapan. “Maaf, kami belum membutuhkan guru tambahan saat ini,” begitu isi pesan terbaru dari sebuah sekolah swasta di pinggiran kota.

Sudah setahun lebih ia mengantongi ijazah sarjana pendidikan dari universitas negeri ternama. Dengan penuh semangat, ia pernah mengetuk pintu sekolah negeri, melamar di yayasan swasta, bahkan menyambangi bimbingan belajar kecil yang tersembunyi di antara ruko. Tapi semua pintu seolah enggan terbuka untuknya. Alasannya sama tak ada formasi, tak ada dana, atau tak ada pengalaman.

Tapi siapa yang bisa punya pengalaman jika tak pernah diberi kesempatan?

Ia pernah menangis di pelataran masjid setelah wawancara yang menyudutkannya. Ia pernah nyaris menyerah, mengutuki dirinya, dan bertanya-tanya, apakah mimpinya menjadi guru hanyalah dongeng yang disemai oleh dosen dan buku motivasi?

Namun suatu hari, sebuah pesan datang dari ibunya di desa:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Kalau tak ada kabar di kota, pulanglah, Nak. Anak-anak di kampung kita butuh belajar. Tak ada guru tetap di SD, banyak yang putus sekolah.”

Samira memandangi pesan itu lama. Ada rasa tertohok. Ia telah mengejar mimpi terlalu jauh, hingga lupa bahwa akar perjuangannya tumbuh dari tanah sendiri.

Dan begitu ia pulang, dusun yang sepi menyambutnya dengan embun dan senyum tulus. Tidak ada aula besar atau kepala sekolah yang menyodorkan kontrak. Hanya kepala desa yang menatapnya dengan harap, dan anak-anak kecil yang mengintip dari balik pepohonan.

“Kalau Samira mau, ajari mereka, ya. Belajarnya di balai desa juga bisa. Di surau juga bisa. Di mana pun boleh. Kami tak bisa menggaji, tapi kami akan bantu sebisanya.”

***

Hari-hari Samira di desa mengalir seperti sungai kecil yang jujur. Pagi-pagi, ia berjalan kaki ke sekolah dasar yang muridnya tak sampai dua puluh orang. Gedungnya sudah rapuh, namun semangat anak-anak itu kokoh.

Siang hari, ia mengajar di balai desa. Mengajarkan ibu-ibu cara menulis nama sendiri, membaca label obat, dan menyusun surat sederhana. Mereka tertawa malu-malu saat pertama menulis dengan tangan gemetar. Tapi tak ada yang menyerah.

Malam hari, ia beralih ke surau atau rumah-rumah warga yang membuka ruang belajar bagi remaja yang tak melanjutkan sekolah. Mereka duduk bersila, mendengarkan dengan saksama ketika Samira menjelaskan perhitungan sederhana atau cerita tentang dunia luar yang tak pernah mereka lihat.

Tak ada gaji yang datang setiap bulan. Tapi setiap pagi ada sayur segar yang digantungkan di depan rumah. Terkadang beras, telur, atau sepotong ayam kampung saat panen berhasil.

Orang tua murid menyisipkan daun pisang berisi gorengan sebagai “uang lelah.” Kadang, bocah-bocah membawakan hasil tangkapan mereka dari sungai kecil, ikan-ikan mungil yang mereka sebut “oleh-oleh dari pelajaran tadi.”

***

Malam itu, Samira duduk di bawah lampu minyak yang redup. Ia menulis jurnalnya di atas buku tulis sisa sekolah.

“Hari ini Lina membaca puisi untuk pertama kalinya. Suaranya masih lirih, tapi matanya berkilau. Aku hampir menangis mendengarnya. Bukan karena puisinya, tapi karena keberaniannya.”
“Semakin aku di sini, semakin aku merasa… aku bukan mengajar karena dibayar. Tapi karena aku ingin mereka tahu ilmu itu adalah cahaya, bahkan di tempat tergelap sekalipun.”

***

Satu hari, datang rombongan dari kabupaten. Mereka ingin melihat program literasi masyarakat desa. Samira ditunjuk sebagai narasumber dadakan. Ia hanya mengenakan gamis sederhana dan kerudung yang telah mulai pudar warnanya.

Seorang pejabat bertanya padanya, “Ibu guru dari mana asalnya?”

Samira tersenyum. “Saya hanya lulusan pendidikan yang tak diterima di kota, Pak. Tapi anak-anak di sini menerima saya sepenuh hati. Itu sudah cukup.”

Tak lama kemudian, kabar tentangnya menyebar. Media lokal menulis “Samira, Guru Relawan di Ujung Pulau”. Tapi bagi Samira, ia bukan pahlawan. Ia hanya seorang perempuan yang tak ingin menyerah pada sistem yang menutup pintu.

***

Suatu sore, seorang bocah berlari menghampirinya. “Bu Samira, nanti ajarin aku nulis surat buat ayah. Dia kerja di kota, aku rindu.”

Samira mengangguk, matanya berkaca. Ia sadar, meski gajinya adalah setangkup nasi dan segenggam doa, hidupnya kini lebih bermakna daripada sekadar tanda tangan kontrak kerja.

Ia tak memiliki uang banyak. Tak punya kendaraan mewah. Tapi ia punya sesuatu yang tak semua orang bisa miliki cinta dari orang-orang yang belajar mencintai ilmu bersamanya.

Di senja yang temaram itu, di sebuah kampung yang jarang ada dalam peta, Samira berdiri di depan anak-anak dengan sepotong kapur dan papan tulis reyot. Ia bukan guru dari kota. Ia adalah guru dari harapan.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary