
Angin sore menari lembut di sela-sela jendela rumah kayu sederhana itu. Di atas meja kayu yang sudah mulai menghitam termakan usia, seorang perempuan duduk sambil menggenggam selembar kertas dan sebuah pena. Wajahnya teduh, namun matanya berkaca-kaca. Hari itu, ia menulis sesuatu yang selama ini hanya disimpan dalam doa. Sebuah surat untuk anak laki-laki satu-satunya, Fathan, yang sebentar lagi akan meninggalkan rumah untuk mondok di pesantren.
Fathan adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya, Najwa, sudah SMA, dan adiknya, Humaira, masih kelas dua SD. Tapi Fathan… ah, Fathan adalah anak laki-laki yang begitu dirindukan untuk menjadi laki-laki yang bukan hanya bertanggung jawab, tapi juga penyayang dan salih. Bukan sekadar laki-laki, tapi kelak seorang imam bagi keluarganya.
Rahmawati, seorang ibu penyayang itu menulis dalam sebuah kertas…
____
Fathan, anak laki-laki ibu yang Allah titipkan dengan begitu sempurna.
Hari ini, sebelum kamu berangkat ke pesantren, ibu ingin kau membaca ini. Mungkin kamu bingung kenapa ibu tak bicara langsung. Tapi ada hal-hal yang lebih jujur disampaikan lewat tulisan. Ada air mata yang lebih mudah jatuh saat tak saling menatap.
Nak, tahukah kamu, ketika kamu lahir, langit seperti meneteskan air haru. Ayahmu menggenggam tangan ibu erat-erat. “Ini anak laki-laki kita,” katanya dengan suara yang bergetar. Hari itu, ibu tahu, hidup ibu tak akan pernah sama lagi. Ibu punya tanggung jawab besar, yaitu mendidik seorang laki-laki yang kelak akan jadi suami dari seorang perempuan, ayah dari anak-anaknya, dan pemimpin di dalam rumah tangga.
Tapi jangan bayangkan pemimpin yang memerintah, ya, Nak.
Ibu ingin kamu jadi pemimpin yang mendengar. Yang memahami. Yang tidak merasa lebih tinggi hanya karena kamu laki-laki. Dunia ini sudah terlalu banyak dipenuhi laki-laki yang merasa punya hak atas tubuh, pikiran, dan pilihan perempuan. Ibu tak ingin kamu jadi bagian dari mereka.
“Fathan itu harus bisa menghargai perempuan,” kata ibu saat kamu baru bisa bicara. Kamu tertawa dan bilang, “Iya, kayak ibu.”
Ibu tersenyum, tapi di dalam hati, ibu berdoa, semoga kelak kamu tetap ingat itu.
______
Air matanya jatuh ke atas kertas. Ia menghapusnya perlahan, lalu melanjutkan menulis:
____
Nak, mondok bukan berarti kamu pergi dari ibu. Justru kamu sedang menuju jalan untuk mendekat pada Allah. Dan siapa yang lebih dekat dengan Allah, maka hatinya akan lebih halus, lebih lembut, lebih mengerti bagaimana mencintai dengan benar.
Perjalananmu tidak akan mudah. Akan ada rindu, akan ada lelah, bahkan mungkin ingin menyerah. Tapi ibu titip satu hal: jangan pernah lupakan bahwa setiap peluhmu adalah amal. Setiap kali kamu bangun malam, menghafal ayat, menunduk dalam sujud, ada doa ibu di balik semua itu.
Ibu pernah bilang, ibu bukan wanita hebat. Tapi ibu ingin menjadi sekolah pertama yang baik untuk anak-anak ibu. Ibu belajar dari kesalahan, memperbaiki diri agar kalian punya arah. Karena sejatinya, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat untuk kembali mengenali jati diri.
Ingat waktu kamu tanya, “Kenapa sih, Fathan harus bantu cuci piring?”
Ibu jawab, “Karena kamu laki-laki, bukan raja.”
Kamu meringis waktu itu. Tapi kamu lakukan juga. Sekarang kamu sudah bisa masak nasi, bantu Humaira belajar, dan kadang kamu juga jadi imam salat maghrib di rumah. Fathan, kamu tumbuh jadi anak yang ibu banggakan. Tapi jangan puas. Karena laki-laki yang baik bukan hanya baik pada ibunya, tapi juga kelak pada istrinya, anak-anaknya, dan semua makhluk Allah.
****
Sore mulai berganti senja. Langit menggurat jingga. Aku berhenti menulis sejenak. Di balik jendela, Fathan sedang duduk di beranda sambil membaca Al-Qur’an. Suaranya lembut. Aku merasakan kerongkongannya tercekat. Ia melanjutkan suratnya:
____
Nak, kamu akan bertemu banyak orang baru di pondok. Kamu akan belajar hidup tanpa ibu setiap hari mengingatkan. Akan ada saat kamu jatuh, dan kamu harus bangkit sendiri. Tapi ingat, setiap sujudmu bisa jadi tempat kamu pulang.
Ibu percaya, laki-laki sejati bukan yang tak pernah menangis, tapi yang tahu kapan harus menangis dan kapan harus kuat. Tidak ada yang salah dengan air mata, Nak. Rasulullah pun menangis. Bahkan beliau memandikan anaknya sendiri yang wafat. Itu bukan kelemahan. Itu keteguhan hati.
Dan satu hal lagi, jangan pernah merasa lebih karena kamu laki-laki. Ketika kamu punya istri nanti, cintailah dia seperti ayah mencintai ibu. Ibu dan ayah sering berbeda pendapat, kamu tahu itu. Tapi ayah tidak pernah memaksa ibu untuk diam. Kami belajar mendengar, saling menguatkan.
Ibu ingin kamu tahu: menjadi suami bukan artinya punya hak lebih, tapi punya tanggung jawab lebih. Dan tanggung jawab itu harus ditanggung dengan cinta, bukan dengan kuasa.
****
Tiba-tiba suara langkah kaki menghampiri. Fathan berdiri di depan pintu, membawa segelas teh.
“Ibu, haus ya?” tanyanya, sambil tersenyum.
Aku mengangguk pelan, menyembunyikan surat di bawah buku.
“Besok Fathan berangkat, ya, Bu. Deg-degan juga,” katanya pelan.
Aku menarik napas panjang. Ia meraih tangan anaknya, menggenggamnya erat-erat.
“Fathan…”
“Iya, Bu?”
“Apa kamu tahu, kenapa ibu sangat ingin kamu mondok?”
Fathan menggeleng. “Supaya Fathan jadi anak salih?”
“Lebih dari itu, Nak. Ibu ingin kamu jadi laki-laki yang tahu caranya memuliakan perempuan, tahu caranya menjadi imam yang adil, yang bijak. Ibu ingin kamu belajar mencintai Allah, agar kelak kamu tahu caranya mencintai keluargamu dengan benar.”
Fathan menunduk. Suaranya hampir tak terdengar saat berkata, “Fathan takut, Bu. Takut nggak bisa seperti harapan ibu.”
Aku tersenyum. Ia menyentuh wajah anaknya.
“Jangan takut gagal, Nak. Takutlah kalau kamu tak mencoba. Ibu tidak butuh kamu jadi sempurna. Ibu hanya ingin kamu jadi laki-laki yang tahu arah, yang tahu untuk apa dia hidup.”
Ia berdiri, lalu menyerahkan surat itu.
“Bacalah nanti di perjalanan, ya.”
Fathan menerima surat itu dengan mata basah. Ia tahu, itu bukan sekadar tulisan, tapi separuh hati ibunya yang dititipkan padanya.
Keesokan harinya, saat mobil yang membawanya ke pondok mulai melaju, Fathan membuka surat itu. Angin lembut mengibas wajahnya saat ia membaca bagian terakhir:
____
Nak, saat kamu membaca ini, kamu sudah dalam perjalanan menjadi laki-laki dewasa. Tapi ingatlah, tak peduli sejauh apapun kamu pergi, kamu selalu bisa pulang. Bukan hanya ke rumah ini, tapi ke doa ibu, ke cinta ibu, dan ke pangkuan Allah.
Jadilah laki-laki yang membawa cahaya, bukan bayang-bayang. Dan saat kamu menjadi ayah nanti, ajarkan anak-anakmu bahwa kelembutan bukan kelemahan, dan cinta bukan kuasa.
Dari ibu yang selalu mencintaimu,
****
Fathan memejamkan mata. Di ujung matanya, sebutir air mata jatuh. Bukan karena takut lagi, tapi karena ia tahu, ia harus menjadi laki-laki yang pantas bagi cinta seorang ibu yang sebesar langit dan sehangat bumi.
Penulis: Ummu Masrurah
Editor: Rara Zarary