Ilustrasi orang-orang yang menyembelih hewan kurban (sumber: tribunnews)

“Maaf, Mbah. Kami sudah punya cukup orang buat motong dan bersihin hewan kurban.”

Suara pemuda berpeci hitam itu terdengar tegas, meski sedikit ragu. Ia melipat daftar nama di tangannya, lalu menoleh pada teman-temannya yang sedang sibuk memindahkan tumpukan daging ke kantong-kantong plastik.

Mbah Habib tersenyum kecil, meski hatinya tercekat.

“Ndak papa, Nak..,” ujarnya pelan sambil merapikan sudut pecinya yang mulai lusuh. “Mbah cuma pengen bantu, kalau bisa. Biar bisa bawa sedikit buat Aleeya, cucuku.”

Pemuda itu menunduk, tak tega. Ada sesuatu dari wajah Mbah Habib, keriput yang dalam, sorot mata yang lembut namun menyimpan banyak luka, yang membuatnya ingin mengatakan ya. Tapi aturan sudah dibuat bahwa panitia tidak boleh membagikan daging pada orang yang bekerja kalau itu dianggap imbalan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebelum pemuda itu bisa menjawab, seorang pria berpeci putih datang menghampiri.

“Pak Kiai dari Pondok Al-Ikhlas butuh bantuan. Banyak hewan kurban, tapi santrinya belum cukup. Mbah, mau ikut saya ke sana?” tanyanya.

Mbah Habib mengangguk cepat, matanya berbinar. “Mau, Nak. Mbah mau bantu.”

***

Pondok Al-Ikhlas bukan tempat yang asing bagi Mbah Habib. Dulu, almarhum anaknya sempat mondok di situ sebelum kecelakaan merenggutnya tiga tahun lalu. Sejak itu, hidup Mbah Habib seakan kehilangan arah. Istrinya sering jatuh sakit karena rindu, dan Aleeya cucu semata wayangnya, menjadi pelipur lara di sisa usia tuanya.

Ibunya Aleeya, menantu Mbah Habib, pergi meninggalkan desa dan menikah lagi. Tak pernah kembali, bahkan saat suaminya dimakamkan.

Sejak saat itu, Mbah Habib menjadi segalanya bagi Aleeya, ayah, ibu, sekaligus teman bermain.

Dengan tangan renta tapi masih kuat, Mbah Habib menguliti kambing, membantu membakar bulu-bulu di atas tungku, bahkan ikut memotong dan menakar daging. Peluh bercucuran dari wajahnya, tapi senyum tak pernah hilang.

Pak Kiai dan panitia di pondok itu menghargainya, tapi tetap memegang prinsip.

“Mbah, nanti kami kasih sedikit daging buat Mbah. Tapi ini bukan bayaran. Ini hadiah dari kami,” kata Pak Kiai dengan tegas tapi hangat.

Mbah Habib mengangguk penuh terima kasih. “Terima kasih, Kiai.” Sahutnya dengan tangan yang semakin kuat memotong daging-daging itu, sepertinya mbah sangat semangat.

***

Sore menjelang magrib. Langit desa sudah mulai temaram, angin berembus membawa aroma khas tanah basah dan kayu bakar.

Di tangannya, Mbah Habib menggenggam dua kantong plastik satu berisi satu kilo daging sapi, satunya lagi satu kilo daging kambing.

Langkahnya cepat, tak seperti biasanya. Setiap beberapa meter, ia berhenti sejenak, mengelap keringat di keningnya, lalu melanjutkan perjalanan dengan senyum lebar.

Di kepalanya hanya ada satu bayangan wajah Aleeya yang ceria, dan istrinya yang kini lebih banyak berbaring daripada berdiri. Ia tahu, daging ini bukan hanya soal makanan ini tentang rasa cinta, tentang kebersamaan, tentang kebahagiaan yang sulit dibeli oleh apapun.

***

Rumah Mbah Habib berdiri sederhana di ujung desa. Berdinding papan, beratap seng karatan. Tapi di sanalah cinta sejati bersemayam.

“Assalamualaikum… Aleeya… Mbah pulang!” teriak Mbah Habib dari luar pagar bambu.

Pintu rumah terbuka cepat. Aleeya, gadis kecil usia sembilan tahun, berlari memeluk kakeknya.

“Mbah! Mbah bawa daging?!” tanyanya antusias, matanya berbinar penuh harap.

“Iya, sayang. Daging sapi sama kambing. Kita bisa bikin sate nanti malam,” kata Mbah Habib, memeluk cucunya erat.

Dari dalam rumah, terdengar suara batuk pelan.

“Nek, lihat… Mbah bawa daging!” seru Aleeya sambil berlari ke dalam.

Istri Mbah Habib, Mbah Putri, tersenyum lemah dari dipan kayu. Matanya berkaca-kaca melihat suaminya berdiri di depan pintu dengan kantong daging di tangan.

“Alhamdulillah… Alhamdulillah,” bisiknya lirih.

Mbah Habib duduk di samping istrinya, menggenggam tangan yang kurus dan dingin itu.

“Aku janji, Mbok… selama napas ini masih ada, aku bakal bikin kalian bahagia,” katanya pelan.

Mbah Putri menangis. Bukan karena sedih, tapi karena cinta yang begitu dalam, yang ia rasakan tak pernah padam meski usia dan waktu terus berjalan.

***

Malam itu, rumah kecil Mbah Habib penuh kehangatan. Bau sate bakar menyebar ke seluruh penjuru. Aleeya tertawa melihat sate yang gosong dibakar Mbahnya. Mereka makan bersama di atas tikar pandan, di bawah lampu minyak yang redup.

“Aleeya seneng banget, Mbah. Temen-temen tadi bilang nggak dapet daging,” katanya polos.

Mbah Habib tersenyum, tapi hatinya sedikit perih.

“Yang penting kita bersyukur, ya. Allah kasih rezeki dari jalan mana saja,” ucapnya.

Malam itu, sebelum tidur, Aleeya mencium pipi kakeknya. “Makasih, Mbah. Aku sayang Mbah.”

Mbah Habib memeluk cucunya. Matanya menatap langit-langit rumah. Ia tahu, hidup tak akan mudah. Tapi selama ia masih bisa melangkah, ia akan terus berjuang demi dua perempuan yang paling ia cintai.

*****

Esok paginya, tetangga mulai berdatangan.

“Eh, Mbah kemarin bantu di pondok ya? Hebat. Dengar-dengar Mbah masih kuat motongin kambing!”

Mbah Habib hanya tersenyum. Ia tak butuh pujian. Yang ia butuh hanyalah tawa kecil Aleeya dan senyum damai dari istrinya. Hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tapi tentang seberapa besar kita mencintai dengan apa yang tersisa.



Penulis: Ummu Masrurah