
Siang itu, jelang beberapa jam setelah shalat Idul Adha selesai dilaksanakan oleh ratusan warga di sebuah masjid desa Patemon, bau amis darah hewan kurban mulai tercium. Di halaman masjid yang ramai, orang-orang sibuk hilir-mudik. Tawa, candaan, dan teriakan terdengar bersahut-sahutan ada yang ramai memanggil nama, ada juga yang giliran menukarkan kupon, ada juga yang datang dan pergi membawa kresek putih, di dalamnya daging sudah diiris berapa petak, ramai sekali, tapi tidak dengan seorang yang sedari tadi memainkan ujung sarungnya.
Seorang bocah laki-laki berdiri dengan peci using, kemeja putih dan sarung yang mulai lusuh warnanya. Namanya Haikal, usianya baru tujuh tahun. Keringat menetes di pelipisnya meski matahari tak tepat di atasnya. Ia menatap satu per satu orang yang mengambil daging dari meja distribusi. Matanya berbinar, berharap namanya disebut atau sekadar diajak mendekat. Tapi tak satu pun panitia menoleh padanya. Ia berdiri di sana hampir sejam, memeluk tubuh kecilnya sendiri karena tak tahu harus bagaimana meminta.
Padahal rumahnya hanya sekitar tiga rumah dari masjid. Ayahnya, Pak Baihaki, seorang tukang cangkul, hari itu tak bekerja karena berharap mendapat daging kurban untuk keluarganya. Di rumah, sang istri, Bu Mina, menjaga anak tertuanya, Fadil, yang tengah sakit demam tinggi. Mereka tak punya banyak uang untuk beli obat, apalagi untuk beli daging sapi atau kambing.
Haikal masih berdiri di tempat yang sama ketika orang-orang mulai pulang membawa kantong plastik berisi daging. Beberapa bahkan membawa lebih dari satu kantong. Ada yang tertawa riang, ada yang sambil menyusun rencana mau dibuat sate atau gulai. Haikal menggigit bibir bawahnya, masih menanti dengan penuh harap. Beberapa panitia melihatnya, tapi hanya berlalu begitu saja. Seolah Haikal tak lebih dari bayangan pohon di pojok masjid.
Ia pulang dengan langkah gontai. Sambil menunduk, ia melewati gang kecil menuju rumahnya. Namun, baru saja melewati tikungan, seseorang memanggilnya.
“Nak… tunggu sebentar.”
Haikal menoleh. Seorang nenek renta dengan kerudung kusam menghampirinya. Tangannya keriput, namun matanya bersinar hangat.
“Namamu siapa, Nak?”
“Haikal, Nek.”
“Kamu tadi di masjid, ya? Nungguin daging kurban?”
Haikal mengangguk pelan. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Saya nungguin dari pagi, Nek. Tapi nggak dipanggil-panggil…”
Nenek itu menatapnya lama, lalu membuka tas kain lusuhnya. Ia mengeluarkan satu kantong kresek putih yang diikat rapi.
“Ini Nenek kasih. Bawa pulang ya, kasih ke ibu kamu. Daging kurban ini, sebagian punya Nenek, tapi Nenek nggak masak. Nenek tinggal sendiri. Lebih baik kamu yang makan.”
Haikal memandang kantong itu seperti melihat harta karun. Ia tak langsung mengambilnya.
“Tapi… Nenek nggak apa-apa?”
Nenek itu tersenyum, matanya berkaca.
“Justru Nenek senang. Lihat kamu nunggu dengan sabar tadi, hati Nenek nggak tega. Kurban itu bukan cuma soal menyembelih, tapi soal berbagi. Kamu berhak bahagia di hari ini.”
Haikal meraih kantong itu dan memeluknya erat. Ia menatap nenek itu dengan mata berkilau.
“Makasih, Nek… Makasih banyak! Nanti saya doain Nenek panjang umur ya.”
“Amiiin… Sampaikan salam Nenek ke orang tuamu.”
Haikal pun berlari kecil menuju rumahnya, memeluk kantong kresek putih itu seperti memeluk impian yang baru saja dikabulkan.
Sesampainya di rumah, ia berseru dari depan pintu.
“Ibu! Ayah! Lihat! Aku bawa daging!”
Pak Baihaki segera keluar. Wajahnya tampak lelah, namun sinar harapan memancar begitu melihat anaknya membawa daging.
“Dari mana dapat kamu, Kal?”
“Dari nenek-nenek baik hati, Yah. Dia lihat aku di masjid nungguin daging. Terus dia kasih ini. Katanya, buat kita!”
Bu Marni menyambut kantong itu dengan mata yang mulai memerah. Tangannya gemetar membuka isi kresek itu daging sapi segar, cukup untuk satu keluarga makan dua hari.
“Ya Allah… Alhamdulillah…” ucap Bu Marni lirih.
Dari balik kamar, suara lemah terdengar. “Bu… aku cium bau daging, ya?”
Itu suara Fadil, kakak Haikal yang masih demam. Ia terbatuk kecil, tapi senyumnya muncul.
“Iya, Kak… Haikal bawa daging. Nanti kita masak rendang sama rawon, ya,” kata Bu Marni.
“Rawon? Wah… aku kangen banget!” ujar Fadil, masih lemah tapi jelas senang.
Pak Baihaki memeluk anak bungsunya, lalu memandang istrinya. “Masak yang paling enak ya, Bu. Ini hadiah terbaik hari ini.”
Dapur kecil rumah itu pun mulai ramai oleh suara-suara penuh cinta. Daging itu dibagi dua separuh untuk rendang, separuh lagi untuk rawon. Bu Marni mulai menumis bumbu, Haikal membantu mencuci daun jeruk dan serai. Bau masakan perlahan memenuhi rumah. Untuk pertama kalinya setelah lama, keluarga kecil itu tertawa bersama, saling bercerita dan bersyukur.
Haikal duduk di pangkuan ayahnya sambil makan rendang.
“Yah,” katanya, “aku tadi hampir nangis karena nggak dikasih daging. Tapi terus ada nenek itu… dia kasih ini. Aku senang banget.”
Pak Baihaki mengangguk pelan.
“Kadang, keikhlasan datang dari orang yang paling nggak kita sangka. Panitia masjid bisa lupa, tapi Allah nggak pernah lupa. Hari ini kamu belajar sesuatu yang lebih besar dari sekadar makan daging.”
Haikal mengangguk. “Iya, Yah. Kurban itu bukan cuma potong sapi, ya?”
“Benar,” ujar ibunya, “kurban itu soal mengorbankan ego, soal peduli. Kalau orang kaya bisa potong hewan, tapi lupa berbagi dengan yang berhak, mereka kehilangan maknanya.”
Malam itu, keluarga Baihaki makan dengan bahagia. Di luar, bintang-bintang bersinar lebih terang seolah turut bersyukur. Di pojok rumah, kantong kresek putih itu masih tergantung di paku, menjadi saksi hari yang penuh makna.
Haikal menatapnya sebelum tidur. “Besok aku mau jadi orang baik, seperti nenek itu,” bisiknya sebelum memejamkan mata.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary