Potret warung Kikil Gus Dur di Mojosongo Jombang. (dok. zarifa)

Tepatnya di kabupaten Jombang, di jalan KH. Hasyim Asy’ari, Dusun Mojosongo, Desa Balongbesuk, Kecamatan  Diwek, berdiri sebuah warung sederhana yang menyimpan banyak  cerita. Bukan sekadar tempat makan, warung ini adalah ruang sejarah, saksi hidup  kesederhanaan seorang tokoh besar, KH Abdurrahman Wahid, atau yang lebih akrab dikenal  Gus Dur.

Warung ini masyhur dengan nama Warung Kikil Gus Dur, tempat ini bukanlah milik almarhum  Presiden keempat RI itu. Namun, namanya melekat karena warung ini menjadi salah satu  tempat makan favorit Gus Dur, jauh sebelum dan sesudah menjabat sebagai kepala negara. Di sinilah, Gus Dur duduk bersama masyarakat biasa, menikmati semangkuk kikil sapi hangat  yang kaya rempah.

Warisan yang Bertahan Lebih dari Sebuah Abad

Warung ini telah berdiri sejak era kolonial Belanda dan dikelola secara turun-temurun oleh  satu keluarga. Kini, generasi ketiga meneruskan tongkat estafet dengan menjaga sepenuh hati  keaslian rasa dan tradisi yang telah berusia lebih dari seabad.

Baca Juga: Penjaga Warisan Budaya Batik Tulis Jombang

Suasananya tak banyak berubah. Meja kayu panjang dan kursi plastik berjajar rapi di ruang  makan sederhana tanpa sentuhan modern. Aroma kikil sapi yang dimasak dengan bumbu  rempah dan kuah santan kental menyeruak dari dapur aroma yang menjadi penanda dan  magnet bagi pelanggan setia maupun pendatang baru.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Resep ini sudah diwariskan secara turun-temurun. Tidak kami ubah karena ini bukan hanya  soal rasa, tapi juga soal menjaga amanah budaya,” ujar Munazilah, cucu dari pemilik warung  generasi pertama, saat ditemui pada Rabu, 31 Agustus 2022 lalu.

Gus Dur dikenal sebagai tokoh bangsa yang egaliter dan sangat membumi.  Kesederhanaannya tercermin dari kebiasaannya mengunjungi warung ini tanpa protokol  ketat, tanpa sekat sosial. Bahkan setelah menjabat sebagai Presiden RI, beliau tetap datang  dan bersantap seperti biasa, duduk bersama tukang becak, santri, maupun masyarakat sekitar.

Warung Kikil Gus Dur, di Kabupaten Jombang.

“Gus Dur ke sini sudah sejak lama, bahkan sebelum jadi presiden. Sampai menjelang wafat  pun masih suka datang kalau sempat,” kenang Munazilah.

Tak hanya Gus Dur, sejumlah tokoh nasional juga pernah menyambangi warung ini, seperti  jurnalis ternama Najwa Shihab dan para pejabat kabupaten. Mereka datang bukan sekadar

mencicipi kikil, tetapi juga mengenang sosok Gus Dur yang lekat dengan nilai-nilai  kemanusiaan, keberagaman, dan kesederhanaan.

Warung Kikil Gus Dur bukan sekadar tempat makan, tapi juga ruang sosial yang  mempersatukan beragam kalangan. Dari santri Pondok Pesantren Tebuireng, pedagang kecil,  aparat pemerintah daerah, hingga pengunjung dari luar kota semua duduk bersama di meja  yang sama.

“Di sini tidak ada siapa yang lebih tinggi. Semua setara, ngobrol santai sambil makan kikil,”  ujar salah satu pelanggan tetap.

Dialog sosial yang tercipta di warung ini seolah mewarisi semangat pluralisme yang selalu  dijunjung Gus Dur. Ia menjadikan warung kecil ini sebagai titik temu antar kelas dan  generasi, sebuah ruang publik tanpa tembok sosial.

Menjadi Destinasi Wisata Kuliner dan Budaya

Warung ini kini menjadi salah satu tujuan peziarah yang datang ke makam Gus Dur di  Tebuireng. Banyak pengunjung yang merasa wajib mampir ke warung ini, tak hanya karena  kulinernya yang khas, tetapi juga untuk menyelami semangat hidup Gus Dur yang merakyat.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Menjadi Apoteker hingga International Entrepreneur

Dinding warung dihiasi foto-foto kenangan: senyum hangat Gus Dur, potret para pejabat  nasional dan tokoh lokal yang pernah singgah. Semua itu membentuk atmosfer nostalgik  yang kental. Para pengunjung seakan diajak kembali ke masa ketika seorang Presiden RI bisa  duduk santai makan kikil di warung rakyat.

Tak berlebihan jika tempat ini kemudian dianggap sebagai bagian dari warisan budaya  kuliner yang hidup di tengah masyarakat Jombang.

Lebih dari Sekadar Kuliner

Meski zaman terus berubah, pengelola warung berkomitmen menjaga cita rasa dan pelayanan  yang membumi. Tak ada perlakuan istimewa bagi siapa pun, karena semangat yang diusung  sejak dulu adalah kehangatan dan kesederhanaan.

“Warung ini bukan soal dagang semata. Ini tentang menjaga cerita dan warisan,” kata  Munazilah.

Dalam setiap suapan kikil sapi yang empuk dan kuah yang gurih, tersimpan jejak sejarah dan  nilai yang pernah diperjuangkan Gus Dur: tentang kesetaraan, keberagaman, dan cinta kepada  rakyat.

Warung Kikil Gus Dur adalah ruang kenangan, tempat di mana rasa berpadu dengan sejarah.  Ia mengajarkan bahwa warisan seorang pemimpin besar tidak selalu berbentuk monumen  megah. Kadang, warisan itu hadir dalam bentuk yang sederhana seperti semangkuk kikil  yang diracik dengan cinta, disantap di sudut warung, di tengah obrolan hangat bersama  rakyat.

Baca Juga: Muda dan Berani! Perjalanan Bisnis Aril dari Kafe ke Brand Fashion

Dan di sana, Gus Dur hadir, bukan dalam bentuk jas atau jabatan, melainkan dalam semangat  yang terus hidup: merakyat, merangkul, dan menginspirasi.

Warung Kikil Gus Dur buka setiap hari mulai pukul 15.00 hingga tengah malam. Lokasinya  hanya sekitar 10 menit dari kawasan Pondok Pesantren Tebuireng, dan dapat diakses dengan  kendaraan roda dua maupun roda empat.



Penulis: Siti Zarifa Nuramalina, Mahasiswi Prodi KPI Unhasy Tebuireng.
Editor: Rara Zarary