Ilustrasi anak kecil yang menjual jajan. (sumber: hariandisway)

Di lereng perbukitan yang jarang disentuh aspal, seorang gadis kecil bernama Naina Safitri, terlihat begitu khusyuk menata jemuran jagung dan kacang tanah di halaman rumahnya. Usianya yang baru 12 tahun itu terlihat sumringah membantu ibunya memapah jemuran hasil panen itu. Ayahnya hanya buruh tani musiman yang penghasilannya tak menentu, sedangkan ibunya membuat tahu isi dan ote-ote setiap pagi untuk dititipkan ke warung atau dijual keliling. Naina, panggilannya, selalu sigap berjuang bertahan hidup bersama keluarga kecilnya, disaat seusianya asyik bermain game online atau menonton animasi di youtube.

Namun, di balik kesederhanaan itu, Naina memiliki cahaya dalam dirinya, semangat belajar yang menyala tanpa pernah padam. Ia selalu menjadi juara kelas, hafal setiap pelajaran, dan selalu pulang membawa piala dari lomba-lomba tingkat kecamatan. Setiap hari, sebelum matahari muncul di ufuk timur, ia sudah bangun, membantu ibunya menggoreng tahu isi dan ote-ote, lalu membungkusnya satu per satu dengan kertas minyak.

“Na, jangan lupa jualan ya. Satu biji dua ribu, kamu jaga uangnya,” pesan ibu setiap pagi sambil menyelipkan bungkusan ke dalam tas Naina.

Naina mengangguk, menyandang tas sekolahnya yang berisi buku pelajaran, Al-Qur’an kecil, dan dua plastik besar berisi jajanan buatan ibunya.

Sesampainya di sekolah SD tempat ia belajar, Naina tak langsung masuk kelas. Ia berdiri di gerbang sekolah dengan senyum sabar, menjajakan jajanan itu pada teman-temannya dan sesekali pada guru-guru yang lewat.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

“Bu, mau ote-ote hangat? Ini buatan ibu saya,” ujarnya sopan sambil menyodorkan bungkusan kecil.

Sebagian guru tersenyum dan membeli. Beberapa teman justru mengantre setiap pagi. Tapi tidak semua berjalan mulus. Suatu hari, ia dipanggil oleh wakil kepala sekolah bagian kesiswaan.

“Naina, kamu tidak boleh jualan di sekolah tanpa izin. Pihak kantin keberatan. Mereka bilang kamu menyaingi usaha mereka,” ujar Pak Rahman dengan nada tegas namun tidak membentak.

Mata Naina merunduk. Ia menggigit bibir. Tangannya mengepal erat di sisi rok sekolahnya.

“Tapi, Pak… saya jualan untuk bantu ibu. Kalau tidak, saya tidak punya uang saku, bahkan untuk beli pensil sekalipun,” ucap Naina pelan, suaranya sedikit bergetar.

Pak Rahman menghela napas. “Saya paham, Nak. Tapi kamu tetap harus minta izin dulu. Sekolah ini punya aturan.”

****

Sejak hari itu, Naina tak lagi berjualan di gerbang. Tapi bukan Naina namanya kalau menyerah begitu saja. Ia mulai mencoba menghadap kepala sekolah. Berkali-kali ia mengetuk ruang kepala sekolah, namun sering ditolak karena sibuk atau sedang rapat.

Namun setiap hari, sepulang sekolah, ia tetap menunggu di depan ruang kepala sekolah dengan bungkusan ote-ote dan tahu isi di tangannya, berharap suatu saat bisa diterima bicara.

Akhirnya, di suatu pagi yang gerimis, kepala sekolah yang biasanya tampak sibuk itu menoleh ke arah Naina.

“Kamu anak kelas 6 yang suka jualan itu, ya?”

Naina mengangguk cepat. “Saya minta maaf, Pak. Saya cuma mau minta izin…”

Pak Kepala Sekolah mengangguk kecil. “Masuklah.”

Di dalam ruangan yang dingin dan luas itu, Naina mengutarakan semuanya tentang ibunya, tentang tekadnya tetap sekolah meski tak punya banyak, dan tentang mimpinya menjadi guru suatu hari nanti.

Pak Kepala Sekolah diam sejenak. Lalu beliau tersenyum.

“Naina, kamu anak yang luar biasa. Mulai minggu depan, kamu boleh jualan… tapi hanya di kantin sekolah saat jam istirahat. Tidak boleh mengganggu pelajaran, dan kamu harus tetap jadi juara, setuju?”

Mata Naina berkaca-kaca. Ia mengangguk dengan semangat. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak…”

Sejak hari itu, Naina berjualan di pojok kantin sekolah, berdampingan dengan penjaga kantin yang lama-lama justru menjadi temannya. Ia tetap juara kelas. Ia bahkan menjuarai lomba pidato tingkat kabupaten, membuat namanya tercetak besar di mading sekolah. Ia dikenal bukan hanya sebagai anak penjual jajanan, tapi juga siswi yang gigih dan penuh semangat.

****

Pada hari tasyakuran kelulusan kelas 6, seluruh orang tua murid hadir. Sekolah menggelar acara sederhana dengan doa bersama dan potong tumpeng. Di sela-sela keramaian itu, seorang ibu berkebaya sederhana menghampiri kantin, tertarik pada aroma gurih yang keluar dari bungkusan kecil di meja.

“Ini jualan siapa, ya?” tanyanya pada penjaga kantin.

“Itu buatan ibu Naina, Bu. Anaknya yang selalu juara itu. Dia yang jualan tiap hari.”

Ibu itu menatap ke arah panggung, di mana Naina sedang menerima penghargaan sebagai siswa teladan. Ia menatap lama, lalu tersenyum.

Beberapa hari setelah acara itu, ibu Naina didatangi seorang tamu. Seorang ibu paruh baya dengan senyum hangat.

“Saya Bu Fadilah, orang tua murid dari SD tempat Naina sekolah. Saya punya pesantren kecil di Jember. Saya ingin menawarkan Naina untuk mondok di sana, gratis. Biaya makan, sekolah, semua saya tanggung. Saya terkesan dengan semangat Naina. Anak seperti dia pantas mendapat kesempatan lebih baik.”

Ibu Naina tertegun. Air matanya mengalir pelan. Tak ada kata yang mampu ia ucapkan selain “Alhamdulillah…”

Malam itu, Naina menangis di pangkuan ibunya.

“Bu… Naina bisa terus sekolah.”

“Iya, Nak… Allah Maha Baik. Kamu sabar, kamu kuat… dan lihat, sekarang jalanmu dibuka.”

Di kampung kecil di ujung timur Jawa, cahaya tak harus datang dari listrik yang gemerlap. Ia bisa muncul dari semangat seorang anak perempuan, yang dengan langkah kecil dan hati besar, menyalakan harapan untuk keluarganya. Naina Safitri, anak penjual ote-ote dan tahu isi, telah membuktikan bahwa mimpi tak pernah mengenal batas jika diperjuangkan dengan hati.

“Terima kasih, Ibu. Naina akan terus hidup dengan belajar bertahan seperti yang selalu ibu ajarkan…” mereka ibu dan seorang anak gadis saling memeluk. Di sisi mereka, Santoso, lelaki berkopiah duduk mendampingi, dan menyusul pelukan hangat itu.



Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary