
Refleksi Mendalam atas Pemikiran Prof. Imam Suprayogo tentang Pendidikan, Spiritualitas, dan Multikulturalisme
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh kompetisi, manusia sering kali terjebak dalam rutinitas yang mengikis ketenangan jiwa. Kuliah Prof. Imam Suprayogo memberikan pencerahan tentang bagaimana menyikapi kehidupan dengan bijak, tidak tergesa-gesa, dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah.
Pemikiran beliau tidak hanya berbicara tentang teori keagamaan, tetapi juga menyentuh aspek pendidikan, psikologi, dan sosial budaya. Tulisan ini akan menguraikan secara mendalam poin-poin utama dari kuliah beliau, mulai dari bahaya ketergesa-gesaan, penyakit hati, problematika pendidikan agama, hingga pentingnya multikulturalisme dalam kehidupan berbangsa.
Bahaya Sifat Tergesa-gesa
Allah SWT., berfirman dalam QS. Al-Isra’ ayat 11:
وَيَدْعُ ٱلْإِنسَٰنُ بِٱلشَّرِّ دُعَآءَهُۥ بِٱلْخَيْرِ ۖ وَكَانَ ٱلْإِنسَٰنُ عَجُولًا
Artinya: “Dan manusia mendoa untuk kejahatan sebagaimana ia mendoa untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.”
Baca Juga: Genealogi Manusia, Menilik Hakikat Diri
Ayat ini menggambarkan kecenderungan manusia yang sering kali mengambil keputusan secara impulsif tanpa pertimbangan matang. Prof. Imam Suprayogo mengingatkan bahwa ketergesa-gesaan dapat membawa manusia pada dua hal, yaitu keputusan yang merugikan dan doa yang salah arah. Misalnya, seseorang mungkin berdoa untuk kekayaan tanpa mempertimbangkan apakah harta tersebut akan membawa berkah atau justru menjadi bencana.
Dalam konteks modern, budaya instant dan shortcut telah merasuki berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan. Mahasiswa ingin cepat lulus tanpa benar-benar menguasai ilmu, pejabat ingin cepat kaya tanpa memedulikan halal-haram, dan masyarakat ingin solusi instan tanpa proses perenungan. Padahal, segala sesuatu yang baik membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan keikhlasan.
Penyakit Hati: Musuh Dalam Selimut
Islam menegaskan bahwa jabatan tinggi, gelar akademik, atau kekayaan tidak otomatis menghilangkan penyakit hati. Bahkan, seorang profesor sekalipun bisa hidup dalam kegelisahan jika masih dikuasai oleh sifat sombong, iri, tamak, atau dengki. Prof Imam menyebutkan beberapa penyakit hati yang sering menjangkiti manusia seperti takabur (sombong) merasa diri lebih hebat dari orang lain, hasad (iri dengki) tidak rela melihat orang lain sukses, tamak (rakus), selalu merasa kurang meski sudah banyak memiliki, dan ujub (bangga diri) mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Penyakit-penyakit ini, jika tidak diobati, akan merusak hubungan sosial dan spiritual seseorang. Lalu, bagaimana cara mengatasinya?
Shalat sebagai Terapi Penyakit Hati
Prof. Imam menekankan bahwa shalat yang khusyuk adalah solusi utama. Sholat bukan sekadar ritual gerakan, tetapi pertemuan ruhani dengan Allah. Ketika seseorang benar-benar menghadirkan hati dalam sholat, maka secara perlahan sifat-sifat buruk akan terkikis. Beliau mengutip firman Allah: “Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45). Namun, sayangnya, banyak orang yang shalat hanya sebagai formalitas. Gerakan dan bacaan ada, tetapi hati tidak hadir. Inilah yang menyebabkan shalat tidak memberikan dampak positif dalam kehidupan.
Kritik terhadap Sistem Pendidikan Agama
Salah satu poin menarik dari kuliah Prof. Imam adalah kritiknya terhadap pendidikan agama yang monoton dan tidak aplikatif. Beliau mempertanyakan, “Mengapa dosen agama sering tidak bersemangat mengajar? Jangan-jangan karena materi yang diajarkan dari SD sampai S2 sama saja?”
Ini kritik yang menarik, karena terkadang kejenuhan diperoleh dari pengulangan yang terus menerus dan tidak berimplikasi pada pengamalan. Pendidikan agama seharusnya tidak hanya berkutat pada hafalan teks, tetapi juga pemahaman mendalam (deep learning) yang mengubah perilaku. Misalnya, jika mahasiswa belajar tentang kejujuran, maka harus ada praktik nyata dalam kehidupan kampus, bukan sekadar teori. Tapi kira-kira, potensi untuk tidak jujur lebih besar mana anak SD dengan mahasiswa S3 atau profesor?
Baca Juga: Prof. H. Imam Suprayogo: Pendidikan Sesungguhnya Mendidik Ruh Bukan Otak
Prof. Imam juga menyinggung lemahnya penguasaan bahasa asing di kalangan mahasiswa Islam. Beliau mencontohkan seorang mahasiswa dari Banyuwangi yang menulis skripsi dalam sembilan bahasa (Mandarin, Korea, Jepang, Arab, Inggris, Rusia, Indonesia, Jawa, dan Osing). Ini menunjukkan bahwa anak Indonesia sebenarnya pintar, tetapi kurang difasilitasi dengan baik.
Multikulturalisme: Kunci Hidup Damai di Tengah Perbedaan
Sebagai seorang yang aktif berdialog dengan pemeluk agama lain, Prof. Imam menekankan pentingnya memahami multikulturalisme. Beliau bercerita pengalamannya berinteraksi dengan umat Buddha, Katolik, dan Yahudi, serta bagaimana agama-agama tersebut memiliki nilai-nilai universal seperti kebaikan, kesederhanaan, dan kedamaian. Misalnya, beliau menceritakan bahwa umat Buddha sangat disiplin dalam hidup sederhana—hanya memiliki dua stel baju, satu dipakai, satu dicuci. Ini mencerminkan nilai zuhud (tidak berlebihan) yang juga diajarkan dalam Islam.
Pertanyaan kritis beliau adalah, “Jika kita belajar multikulturalisme, tetapi diri kita sendiri tidak bisa menerima perbedaan, lalu apa gunanya?”. Ini menjadi refleksi bagi kita semua: Ilmu harus diamalkan, bukan hanya dihafal. Sebagaimana ungkapan beliau yang berulang kali dikatakan, “Jangan berkata atas kata-kata, tapi berkatalah atas benda”. Kebanyakan pendidikan kita berkutat pada retorika dan teori, tetapi lemah dalam hal praktik dan pengamatan. Kira-kira lebih banyak mana guru yang menerangkan cara menanam pohon kelengkeng, dengan mengajak praktik menanam pohon kelengkang?
Pendekatan Benda dalam Pembelajaran
Prof. Imam menawarkan metode pembelajaran yang unik, yaitu belajar melalui benda konkret, bukan sekadar teori. Misalnya, ketika mempelajari air, jangan hanya menghafal definisinya, tetapi pahami sifat, manfaat, dan keberadaannya dalam Al-Qur’an. Beliau mengkritik kebiasaan banyak orang yang bicara panjang lebar tanpa memahami objek yang dibicarakan. Misalnya, banyak orang berdebat tentang “sapi betina” dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 67), tetapi tidak pernah melihat langsung bagaimana sapi itu hidup.
Dari pemaparan di atas, Prof. Imam mengingatkan bahwa ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Kita harus menjadi manusia yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga hidup dengan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan kerendahan hati. Sebagai penutup, mari kita renungkan pesan beliau, “Orang yang berilmu tapi tidak mengamalkannya, ibarat pohon yang tidak berbuah. Indah dipandang, tetapi tidak memberi manfaat.”
*Catatan: Esai ini merupakan refleksi mendalam dari kuliah Prof. Imam Suprayogo, dengan penekanan pada integrasi ilmu, spiritualitas, dan kehidupan sosial. Semoga memberikan inspirasi untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Penulis: Muhammad Abror Rosyidin, Dosen Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, Mahasiswa S3 PAI Multikultural Universitas Islam Malang
Editor: Rara Zarary