Peran pemuda dalam berdakwah di era digital (sumber: monitorday)

Di tengah derasnya perkembangan teknologi, cara orang beragama pun ikut berubah. Jika dulu masyarakat lebih banyak mengandalkan ceramah langsung di masjid, ikut pengajian rutin, membaca buku agama, atau mendengarkan nasihat dari radio dan televisi, kini hampir semua itu berpindah ke layar ponsel. Cukup dengan satu sentuhan, seseorang bisa mengakses berbagai macam konten keislaman kapan saja dan di mana saja.

Namun, apakah media digital akan membawa manusia lebih dekat dengan Tuhan atau justru menjauhkan? Dalam konteks metode dakwah, ajaran keagamaan dapat disampaikan dengan berbagai cara. Qur’an surat An Nahl ayat 125 menjelaskan bahwa seorang pendakwah harus menyampaikan ajaran sesuai kondisi masyarakat atau audiens. Dalam arti seorang da’i harus bisa mengetahui keadaan psikologis mad’unya. Tingkat keberhasilan dakwah baik secara konvensional atau modern (media digital) terjadi ketika ada timbal balik antara da’i dan mad’u.

Di kalangan masyarakat awam, para Da’i sering menyampaikan materi dakwahnya dengan mauidzah bahkan dibarengi dengan hiburan atau kelucuan.Berbeda dengan para cendekiawan, dakwah akan disampaikan dengan kata-kata bijak. Media sosial hingga platform digital lainnya kini menjadi ruang baru tempat banyak orang mencari pencerahan spiritual. Konten-konten dakwah hadir dalam bentuk yang lebih segar dan mudah diikuti ada yang berupa video pendek, kutipan bijak yang dibungkus menarik, sampai sesi live streaming yang interaktif.

Saat ini, banyak para pendakwah yang memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana dakwahnya. Karena media sosial mempunyai peluang besar dalam penyebaran ajaran islam bahkan hasilnya dapat memenuhi kebutuhan finansial mereka. Lebih baik lagi jika para pendakwah tersebut memiliki ilmu yang luas, gaya dakwah yang menarik, dan bahasa dakwah yang dapat diipahami bagi masyarakat terutama masyarakat awam dan generasi muda.

Baca Juga: Muslimah dan Media Digital, Dilema antara Dakwah dan Self Branding

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Hal itu, menjadi sebuah tantangan bagi para pendakwah konvensional atau pendakwah kampung, mereka cenderung monoton dan kurang menarik. Beda lagi jika pendakwah kondang yang melakukan dakwahnya dengan konvensional, tetap media sosial yang menjadi salah satu alasan mereka terkenal. Pendekatan dakwah digital ini terbukti efektif, terutama bagi kalangan muda yang lebih terbiasa dengan teknologi dan mungkin tidak selalu bisa hadir secara fisik dalam pengajian atau majelis taklim.

Dengan adanya platform digital, dakwah bisa lebih mudah diakses oleh siapa pun, kapan pun, tanpa batas ruang dan waktu. Salah satu fenomena yang muncul seiring maraknya konten keagamaan di dunia digital adalah munculnya tren beragama. Banyak orang kini menampilkan sisi religius mereka lewat media sosial entah itu melalui unggahan foto memakai hijab syar’i, kutipan ayat Al-Qur’an dalam caption, atau membagikan aktivitas ibadah ke hadapan publik.

Tren agama ini memicu kekhawatiran, agama yang seharusnya menjadi fondasi keimanan akan berubah menjadi simbol semata. Tidak hanya terjadi pada masyarakat biasa tetapi tren ini terjadi di kalangan influencer. Influencer ini dapat dikatakan sebagai produsen dan dapat dikatakan juga konsumen dari tren agama ini.

Maraknya konten keagamaan yang menarik, bisa saja menyimpan bahaya besar. Salah satu masalah yang agak serius adalah munculnya konten dakwah yang rendah pemahaman atau kurang relevan. Oleh karena faktor kurangnya dasar ilmu, tak jarang informasi yang dibagikan terutama penuh kesalahan, bahkan hoaks. Masalah ini bisa berawal dari konten yang memiliki durasi pendek, gaya yang sensaional, dan dengan alasan mudah dipahami. Informasi keagamaan yang cepat dan instan belum tentu berkualitas, apalagi jika ajaran disampaikan tidak sempurna dan akan menimbulkan konflik, seperti salah penafsiran dan fanatisme buta.

Parahnya lagi, media sosial juga bisa dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan paham radikal dan ekstrem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin. Jika seseorang sudah termakan oleh doktrin tersebut, maka ajaran sesat akan tersebar.

Baca Juga: Memahami Cara Dakwah yang Bijak

Media sosial pada dasarnya adalah alat netral. Manusialah yang menentukan arah penggunaannya, apakah menjadi sarana kebaikan atau sebaliknya. Di satu sisi, media digital menawarkan peluang besar untuk menyebarkan dakwah dan ilmu agama. Tapi di sisi lain, jika tidak dibarengi dengan literasi digital dan pemahaman agama yang kuat, ia bisa menjadi bumerang yang menyesatkan.

Para pendakwah digital harus memberikan ajaran yang benar, yang dapat meluruskan misinformasi, dan menjaga agar agama tidak dijadikan sebagai kepentingan tertentu atau viralitas semu. Lembga-lembaga keagamaan pun harus memiliki inovasi, adaptasi, dan aktif dalam mengikuti zaman agar dakwah tetap menjadi relevan di masyarakat.

Bukan hanya soal konten yang kita lihat atau bagikan, tetapi bagaimana konten tersebut mampu mengubah diri menjadi pribadi yang lebih baik dan istiqamah dalam beribadah. Karena pada akhirnya, yang menjadi tolok ukur keimanan bukanlah seberapa banyak konten agama yang kita konsumsi, melainkan sejauh mana kita mampu memperkuat hubungan dengan Tuhan dan mengaplikasikan ajaran-Nya dalam kehidupan sehari-hari.



Penulis: Bakhit Jauharullaudza
Editor: Rara Zarary