
Di tengah dunia kerja yang serba cepat dan penuh tuntutan, ada satu pertanyaan yang terus bergaung di kepala banyak anak muda: “Bagaimana bisa mencintai pekerjaan, jika gajinya bahkan tidak cukup untuk hidup layak?” Ini bukan sekadar keluhan, tapi realita yang dialami oleh banyak orang, terutama Gen Z yang baru menapaki dunia kerja dan hidup di tengah standar ekonomi yang makin tinggi.
Kita hidup di zaman yang menghargai produktivitas, efisiensi, dan kreativitas. Tapi ironisnya, sering kali apresiasi terhadap tenaga dan waktu tidak diikuti dengan gaji yang sepadan. Akibatnya, banyak dari kita merasa terjebak: bekerja demi bertahan hidup, tapi juga dituntut untuk mencintai pekerjaan seolah-olah itu panggilan jiwa. Lalu, bagaimana sebenarnya kita bisa tetap mencintai pekerjaan di tengah ketimpangan itu?
Tidak bisa dipungkiri, uang punya peran besar dalam hidup kita. Apalagi bagi Gen Z, yang tumbuh di tengah media sosial dengan standar hidup yang tinggi. Kita disuguhi gaya hidup estetik, kerja fleksibel dari mana saja, dan penghasilan besar dari profesi yang kadang terlihat “sepele”. Akhirnya, kita terdorong untuk mengukur segalanya dari nilai rupiah.
Bukan salah jika kita menginginkan gaji yang layak. Itu hak. Tapi menjadi masalah ketika kita mengukur nilai diri dan pekerjaan hanya dari uang. Gaji besar belum tentu membuat bahagia, dan gaji kecil bukan berarti kita gagal. Tantangannya adalah bagaimana menyeimbangkan idealisme dengan realita. Mencintai pekerjaan bukan berarti menutup mata terhadap ketidakadilan, tapi juga bukan berarti menyerah tanpa usaha untuk bertumbuh.
Membedakan antara “Cinta” dan “Toleransi” terhadap pekerjaan, salah satu kesalahan umum adalah berpikir bahwa mencintai pekerjaan berarti harus selalu bahagia dan bersemangat. Padahal, mencintai pekerjaan juga berarti siap menerima hari-hari buruk, tetap bertahan saat motivasi hilang, dan berusaha mencari makna di tengah tekanan.
Baca Juga: Takut Resign
Mungkin kita tidak benar-benar mencintai pekerjaannya, tapi kita bisa mencintai dampaknya: bagaimana pekerjaan ini membuat kita belajar hal baru, memberi kesempatan untuk berkembang, atau bahkan sekadar membantu orang lain.
Kadang kita mencintai bukan pekerjaannya, tapi rutinitasnya, lingkungan kerjanya, atau rekan-rekan yang menyenangkan. Itu sah. Mencintai pekerjaan tidak harus utuh, tapi cukup punya alasan untuk bertahan sambil merencanakan langkah selanjutnya.
Salah satu cara untuk bertahan adalah dengan menemukan makna di balik pekerjaan yang kita jalani. Mungkin kamu guru honorer dengan gaji di bawah UMR, tapi kamu tahu bahwa tiap hari kamu sedang membentuk masa depan anak-anak. Atau kamu barista di kafe kecil, tapi kamu belajar soal pelayanan, komunikasi, dan kerja tim.
Makna tidak selalu datang dalam bentuk angka, tapi dalam bentuk pertumbuhan. Apa pun pekerjaannya, selama kita bisa belajar darinya, maka kita sedang membangun nilai yang tidak terlihat sekarang tapi akan terasa nanti. Karena keterampilan, etos kerja, dan pengalaman adalah “aset tak kasat mata” yang nilainya bisa lebih besar dari sekadar gaji.
Banyak yang menilai Gen Z mudah bosan, cepat resign, dan terlalu idealis. Tapi itu tidak sepenuhnya benar. Gen Z sebenarnya punya standar tinggi terhadap pekerjaan karena sadar bahwa waktu dan energi sangat berharga. Tapi memang, kita perlu belajar membedakan mana yang harus diperjuangkan dan mana yang harus dilepaskan.
Kalau kamu merasa pekerjaanmu tidak layak dari segi gaji, tidak apa-apa untuk merasa kecewa. Tapi jangan langsung lari. Tanyakan dulu pada diri sendiri: Apakah aku sudah mengerjakan pekerjaan ini dengan maksimal? Apakah tempat ini bisa jadi batu loncatan untuk kesempatan yang lebih baik? Apakah ada hal yang bisa kupelajari di sini sebelum aku pindah?
Menjadi tahan uji bukan berarti pasrah. Tapi kita perlu proses. Kadang untuk sampai di tempat impian, kita harus melewati tempat yang tidak ideal terlebih dahulu. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita sedang bertumbuh.
Salah satu cara agar kita tidak frustrasi adalah dengan mengelola harapan. Jangan berharap perusahaan kecil bisa menggaji seperti startup besar. Tapi juga jangan menutup kemungkinan bahwa pengalaman di tempat kecil bisa membuka pintu ke tempat yang lebih besar.
Sambil bekerja, kita bisa mulai menyusun strategi. Bangun portofolio, ikut kursus online gratis atau murah, perluas jaringan, dan jangan berhenti belajar. Kita tidak harus langsung punya pekerjaan impian, tapi kita bisa mendekatinya sedikit demi sedikit.
Dan satu hal penting: jangan bandingkan perjalananmu dengan orang lain. Kita semua punya waktu dan jalur masing-masing. Fokuslah pada peningkatan diri, bukan pada pencapaian orang lain yang hanya terlihat di media sosial.
Di tengah gaji yang kecil, kadang kita merasa tidak berharga. Tapi penting untuk dipahami bahwa gaji bukan ukuran nilai diri. Kamu bisa bekerja keras, penuh integritas, dan bertalenta meski perusahaan tempatmu bekerja belum bisa membayar setimpal.
Baca Juga: Mencintai Pekerjaan, Seni Hidup Tanpa Beban
Berikan penghargaan pada dirimu sendiri. Bukan dalam bentuk konsumsi berlebihan, tapi dalam bentuk pengakuan. “Aku hebat karena aku bertahan.” “Aku hebat karena aku terus belajar.” Karena self-worth bukan datang dari orang lain, tapi dari cara kita memandang diri sendiri.
Mencintai pekerjaan dengan gaji kecil adalah bentuk perjuangan emosional yang tidak semua orang bisa pahami. Tapi dari perjuangan itulah lahir karakter, ketangguhan, dan arah hidup. Gen Z bukan generasi yang lemah kita hanya butuh lebih banyak ruang untuk tumbuh, lebih banyak pemahaman, dan lebih banyak kesempatan untuk membuktikan bahwa kita bisa mencintai sesuatu dengan kesadaran, bukan dengan keterpaksaan.
Kalau hari ini kamu belum mencintai pekerjaanmu, tidak apa-apa. Cinta bisa tumbuh pelan-pelan. Sambil terus bekerja, terus belajar, dan terus membuka mata pada kesempatan lain yang mungkin lebih baik. Jangan berhenti percaya, bahwa gaji mungkin kecil hari ini tapi nilai dirimu jauh lebih besar dari itu.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary