
Anak kecil itu berurusan dengan hatinya yang patah sejak usia dini. Namanya Salma Ningsih, usianya baru empat tahun. Di usia yang seharusnya dipenuhi warna-warni krayon, dongeng sebelum tidur, dan pelukan hangat dari dua orang tua, Salma justru lebih sering memeluk boneka kelinci usang yang diberi nama “Beoo”. Beoo tidak pernah menjawab, tapi selalu mendengarkan.
Setiap pagi, Salma duduk diam di pojok ruang kelas TK Pertiwi. Tampak anak-anak lain tertawa, berlari, dan berebut mainan. Salma hanya memperhatikan. Sesekali ia mencoret buku gambar dengan pensil warna biru tua, warna yang entah kenapa selalu membuatnya merasa tenang. Iya, anak kecil itu sangat menyukai biru. Seperti baju yang pernah diberikan oleh Salimah, ibunya.
“Salma, ayo main, yuk!” ajak Lala, teman sekelasnya, sambil menarik tangan kecilnya.
Salma menggeleng. “Aku nggak bisa main. Aku lagi ingat Ibu.”
Lala bingung, tapi tak bertanya lebih lanjut. Anak-anak seusia mereka belum terlalu memahami patah hati. Yang mereka tahu, kalau sedih, biasanya karena permen jatuh atau mainan rusak. Tapi Salma berbeda. Sedihnya seperti hujan yang tidak pernah benar-benar berhenti, hanya reda sebentar lalu turun lagi.
Sudah dua bulan sejak Ibu dan Kakak pergi ke kampung. Waktu itu Salma tidak paham betul kenapa mereka harus berpisah. Ayah bilang, “Ibu dan Ayah sudah tidak cocok.” Tapi bukankah piring juga kadang tidak cocok dengan sendok, tapi tetap bisa berada di satu meja makan?
Setiap malam sebelum tidur, Salma menatap langit-langit kamar yang dihiasi bintang-bintang, indah seperti mimpinya yang ingin menjadi dokter kandungan. Ia berharap, mungkin Ibu juga sedang menatap langit yang sama di kampung. Ia bertanya dalam hati.
“Ibu, malam ini Ibu masak sop atau telor dadar?” ia berbisik lirih sambil memeluk Beoo, karena itu makanan kesukaan mereka berdua. Tapi tak ada jawaban.
****
Di sisi lain, ada lelaki yang duduk di soga, meneguk the hangat sebelum berangkat bekerja, dia ayah Salma. Ayahnya selalu berusaha tersenyum. Menyiapkan sarapan, mengantar Salma ke sekolah, bahkan menyanyikan lagu “Balonku” meski suaranya sering sumbang. Tapi Salma tahu, ayahnya sering menangis diam-diam. Ia pernah melihat ayah terisak sambil menatap foto keluarga mereka yang sudah tak lengkap lagi. Salma diam saja saat itu, hanya meraih tangan ayah dan berkata, “Nanti Ibu pulang, ya?”
Ayah hanya mengangguk. Tapi matanya tidak bisa berbohong.
Di sekolah, Salma mulai merasa tidak nyaman. Beberapa anak menyindirnya.
“Katanya Salma nggak punya Ibu lagi!”
“Hahaha, kasihan!”
Tertawa itu tajam. Lebih tajam dari pisau plastik di kotak makan siangnya. Salma tidak menjawab. Ia hanya berlari ke pojokan taman dan menangis di balik semak, memeluk Bubu yang diam-diam selalu ia bawa di tas kecilnya.
Guru Lilis, wali kelasnya, pernah memeluk Salma dan bertanya pelan, “Kamu sayang Ibu, ya?”
Salma mengangguk, air matanya mengalir. “Ibu wangi. Kalau peluk Ibu, rasanya seperti selimut yang hangat banget.” Guru Lilis tersenyum lembut, tapi hatinya hancur.
Suatu hari, setelah pulang sekolah, Salma tidak langsung masuk ke rumah. Ia duduk di bangku taman depan rumah kecil mereka, membawa kertas gambar dan krayon. Ia menggambar sebuah rumah besar. Di dalamnya ada seorang anak perempuan, seorang Ibu, Ayah, dan Kakak. Mereka sedang makan bersama. Di atasnya, ada matahari tersenyum dan pelangi warna-warni.
Saat Ayah datang menghampiri, Salma menunjukkan gambar itu.
“Ini rumah kita… waktu masih lengkap,” katanya lirih.
Ayah menatap gambar itu lama. Ia kemudian duduk di sebelah Salma dan memeluk putri kecilnya erat. “Maaf ya, Salma…”
Salma menunduk. “Ayah, kenapa nggak bisa bareng Ibu lagi?”
Pertanyaan yang ditakuti semua orang tua dari anak-anak mereka. Ayah terdiam sejenak.
“Kadang, dua orang dewasa bisa sayang, tapi tetap nggak bisa tinggal bareng. Tapi Ayah dan Ibu tetap sayang sama Salma, itu nggak pernah berubah.” Salma mengangguk, walau belum sepenuhnya mengerti.
Malam itu, Ayah mengizinkan Salma menelpon Ibu. Suara di seberang sana langsung membuat hatinya berdebar.
“Assalamualaikum, Salma…”
“Waalaikumussalam, Ibu! Ibu di mana? Aku rindu…”
Ibu tertawa kecil, tapi ada isak yang terselip. “Ibu juga rindu banget. Salma sehat? Nakal nggak?”
“Enggak. Tapi aku sedih terus di sekolah. Ada yang bilang aku nggak punya Ibu…”
“Jangan dengar mereka. Kamu punya Ibu. Ibu di sini, di hati kamu. Selalu.”
Malam itu Salma tidur dengan senyum kecil. Ia memeluk Beoo erat-erat dan bermimpi berada di taman penuh bunga bersama Ibu, Ayah, dan Kakaknya. Mimpi yang terlalu manis untuk anak sekecil itu, yang seharusnya hanya memikirkan mainan dan es krim.
Waktu berlalu. Salma mulai berani bermain dengan teman-teman di sekolah. Ia sudah bisa tertawa, meski kadang-kadang masih diam saat melihat gambar keluarga di buku cerita. Ia tahu, langitnya tidak lagi biru sempurna. Tapi langit kecil itu tetap miliknya. Ia belajar menerima, sedikit demi sedikit.
Pada hari ulang tahunnya yang kelima, Ibu datang mengunjunginya. Hanya sebentar. Tapi pelukan itu menghapus banyak luka.
“Ibu cuma sebentar, ya?” tanya Salma sambil menggenggam tangan ibunya erat.
“Iya, tapi selama Salma bahagia, Ibu juga senang, walaupun jauh.”
Salma memeluk Ibu erat. “Aku janji, aku akan jadi anak kuat. Tapi… boleh nggak aku nangis sekarang?”
Ibu tersenyum dan mengangguk. “Boleh, Nak. Nangis itu nggak apa-apa.” Itulah untuk pertama kalinya, Salma menangis bukan karena kehilangan, tapi karena akhirnya ia merasa dimengerti.
Penulis: Albii
Editor: Rara Zarary