
Pada saat itu, tradisi yang tepatnya di setiap Sya’ban, para guru-guru akan pergi ke Jawa guna menimba lagi ilmu. Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari membuka ta’lim khusus kepada para guru-guru atau kiai sepuh dalam memperdalam ilmu hadis. Sya’ban tahun 1933 terjadi suatu hal yang luar biasa, dan tak terlupakan. Karena memang pada saat diketahui bahwasanya terdapat guru dari kiai Hasyim, yang ternyata ikut dalam kajian yang beliau adakan. Dalam percakapan antara Kiai Hasyim dan gurunya sama-sama saling merendahkan diri, yang satu mengatakan bahwa “saya ini murid anda”, kemudian satunya lagi “anda sekarang adalah guru saya.” Dan begitulah sifat kerendahan hati yang patut kita teladani dari Kiai Hasyim kepada gurunya, meski pada saat itu gurunya juga sekaligus menjadi muridnya.
Bentuk penghormatan tidak berlangsung saat itu saja, Kiai Hasyim pun memberikan sebuah rumah yang sudah dibersihkan sebagai tempat gurunya tersebut istirahat. Selain itu, saat Kiai Hasyim meminta agar baju-baju kotor dari gurunya tersebut dicuci, namun sang guru tidak mau sebab bagi murid tidaklah patut hidup lebih mencolok dan mewah daripada gurunya, akan tetapi Kiai Hasyim mengatakan bahwa “jika anda mengaku menjadi murid kami, maka harus patuh pada perintah kami.” Bahkan setiap kali kalau mempunyai hajat, Kiai Hasyim meminta agar sang guru bilang kepadanya. Dan kerap kali setelah jamaah usai, Kiai Hasyim dan gurunya tersebut saling mendahului kemudian berebut untuk menatakan sandal masing-masing. Dalam konteks di atas pada zaman ini apakah praktik ini masih dilakukan? Atau, masihkah ada?
Kerendahan hati seringkali menjadi suatu hal yang berat dilakukan, entah ke mana saat ini kata “rendah hati” itu dijunjung. Kepada teman pun saling adu kesombongan, kepada orang tua pun terkadang sulit rasanya patuh, bahkan sholat-zakat lalai apalagi kalau bukan tiada rendah hati kepada sang Pencipta, karena berat rasanya mengakui kepada diri sebagai hamba. Atau biasanya hanya kepada pihak tertentu saja, dan pastinya memiliki maksud dan tujuan tertentu pula. Rendah hati bawahan yang mengharap jabatan kepada pihak yang lebih berkuasa, kaum lemah kepada para kapitalis, atau bahkan mereka yang superior memiliki misi tersendiri (siasat pancing) yaitu terkhusus hanya kepada pemudi-pemudi yang sudah dipilih sebelumnya.
Seringkali Kiai Hasyim menegur orang saat salah atau kurang tepat, dengan teguran sopan dan lemah lembut. Entah apa pun respon mereka yang ditegur, meski sudah sopan pun tiada hati yang benar-benar merespon dengan lembut pula. Namun hal tersebut tidak diambil pusing, apa pun responnya beliau hanya berniat menyampaikan kewajiban. Begitulah bentuk keikhlasan dan kesabaran dari soso Kiai Hasyim ini, sungguh teladan yang sangat jarang sekali kita temui apalagi di zaman ini.
Dan suatu ketika karena bentuk dari keikhlasan beliau, ada seseorang yang ingin memberikan penghargaan bahkan kedudukan, namun Kiai Hasyim menolaknya dengan halus, sebab yang dibangun oleh Kiai Hasyim itu bukanlah sebuah kedudukan melainkan semua itu ditujukan karena Tuhan semata bukan karena para makhluk-Nya. Selain hal di atas Kiai Hasyim juga seringkali diminta nasihat dan fatwa, mulai dari rakyat jelata hingga pejabat negara. Dan ketika para pemimpin yang datang, acapkali Kiai Hasyim begitu menekankan terhadap tanggung jawab seorang pemimpin kepada rakyatnya. Bagaimana tidak, fatwa Kiai Hasyim sangat bernilai bahkan Soekarno pun dengan pernyataannya mengatakan “sungguh sangat tinggi, dan di luar dugaan semula.” Hal tersebut sudah menjadi bukti karismatik beliau pada saat itu.
Semua orang ketika hidup pasti pernah mengalami suatu cobaan, entah cobaan itu adalah macam cobaan yang memberikan kesedihan atau yang akan memberikan kebahagiaan. Di suatu waktu Kiai Hasyim dicoba dengan seorang santrinya yang dikatakan kabur setelah berbuat kesalahan, masalah itu ditimpakan kepadanya, kemudian beliau dengan sabar menjalani dan mengurusi kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan keteguhan hati sampai pada akhirnya masalah itu terselesaikan. Beliau yakin apa pun yang dijalani dengan kesabaran Allah SWT pasti akan memberikan pertolongan-Nya.
Sudah berapa puluh kali pemerintah Hindia Belanda menegur dan memberikan peringatan, dikarenakan perlawanan santri yang ada di bawah kepemimpinan beliau. Meski begitu, beliau tidak berhenti karena menyerah, beliau terus melanjutkan perjuangannya terhadap agama dan negara. Pada suatu waktu datanglah utusan dari pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan sebuah pangkat jika sekarang seperti tingkatan jendral kepada Kiai Hasyim. Mulai pangkat dari perak hingga emas. Namun apa? Beliau sengaja tidak menerimanya, hanya karena alasan yang mungkin bagi orang-orang zaman sekarang itu bukan menjadi pilihan utama. Kiai Hasyim menolak itu semua karena beliau takut itu semua mungkin bisa merubah niat tulus beliau dalam berjuang di jalan Allah ini versi yang di buku. Tapi di samping itu, mungkin saja untuk menghindari kepentingan politik dari pemerintah Hindia Belanda, Kiai Hasyim pun enggan menerimanya.
Setelah kejadian tersebut Kiai Hasyim memberikan penjelasan kepada para santrinya, bahwasanya dulu Rasulullah Saw. Akan dijanjikan tiga hal oleh penguasa jahiliyah, yaitu kedudukan, harta, dan wanita. Masing-masing akan mereka berikan dari sisi yang terbaik, namun nyatanya Rasul menolak itu semua. Bahkan Rasul memberikan gambaran yang lebih dahsyat, apabila bumi dan bulan diberikan di tangannya, niscaya ia tidak akan menerima dan lebih memilih mati berjuang di jalan Allah swt. Begitu besar ketulusan dan keikhlasan yang Kiai Hasyim miliki, beliau menerapkan betul apa yang Nabi ajarkan kepada kita semua. Apalagi dalam keilmuan ini sudah bagian dari takhassus keilmuan Kiai Hasyim sendiri yakni hadis.
Baca Juga: KH Hasyim Asy’ari: Ulama Nusantara, Teladan untuk Semua Iman
Penulis: Ziieraki – Amatsil MAHA, anggota Komunitas Kupuireng (Kumpulan Penulis Tebuireng)